Rangkaian Tradisi Tumpeng Sewu Suku Osing, Dimulai dengan Menjemur Kasur

Tradisi ini bertujuan untuk menghindarkan masyarakat dari marabahaya sekaligus sebagai tolak bala dengan memanjatkan doa bersama.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 17 Nov 2022, 15:00 WIB
Suku Osing merupakan penduduk asli Banyuwangi, karena masyarakatnya hidup pada pemerintahan kerajaan Blambangan.

Liputan6.com, Banyuwangi - Tumpeng sewu merupakan tradisi bersih desa yang dilakukan di Desa Adat Kemiren Banyuwangi. Tradisi ini dilaksanakan sekali dalam setahun, yakni pada 1 Dzulhijjah.

Tradisi ini bertujuan untuk menghindarkan masyarakat dari marabahaya sekaligus sebagai tolak bala dengan memanjatkan doa bersama. Setiap keluarga di desa tersebut harus membuat minimal satu tumpeng untuk tradisi syukuran hidangan ini, sehingga jumlah tumpeng menjadi cukup banyak.

Mengutip dari 'Identifikasi dan Filosofi Hidangan Tradisi Tumpeng Sewu Suku Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi' oleh Titi Mutiara Kiranawati, Budi Wibowotomo, dan Aisyah Dwiazti Jayaningrum, serangkaian tradisi dilaksanakan oleh masyarakat desa sebelum melaksanakan tradisi puncak pada malam hari.

Berikut rangkaian tradisi dalam menyambut tumpeng sewu di Banyuwangi:

1. Mepe Kasur

Mepe kasur atau menjemur kasur merupakan tradisi yang dilakukan sejak matahari terbit. Masyarakat Desa Kemiren akan mengeluarkan kasurnya masing-masing untuk dijemur di depan rumah.

Mereka menjemur kasur sambil berdoa dan memercikan air bunga di halaman mereka dengan tujuan agar dijauhkan dari bencana dan penyakit. Saat tradisi ini berlangsung, sejauh mata memandang di arah barat Desa Kemiren, akan tampak kasur yang berjejer di depan setiap rumah penduduk.

Kasur dianggap sebagai benda yang sangat dekat dengan manusia, sehingga wajib dibersihkan agar kotoran hilang. Warna kasur yang identik dengan hitam dan merah pun memiliki arti, yakni merah berarti berani dan hitam berarti simbol kelanggengan.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Ziarah

2. Ziarah ke Makam Buyut Cili

Pada dasarnya, seluruh upacara dari tradisi ini ditujukan kepada Buyut Cili. Buyut Cili dianggap sebagai penguasa atau dhanyang Desa Kemiren sekaligus sebagai cikal bakal lahirnya Desa Kemiren.

Masyarakat Desa Kemiren percaya bahwa mereka berasal dari satu garis keturunan dengan Buyut Cili, sehingga Buyut Cili dianggap sebagai leluhurnya. Proses ziarah ini bertujuan untuk meminta perlindungan terhadap malapetaka.

Warga setempat juga percaya bahwa roh Buyut Cili dapat meminjam tubuh atau raga seseorang. Melalui raga 'pinjaman' tersebut, Buyut Cili akan memberikan petunjuk dan keinginan yang harus dipenuhi oleh warga, baik secara umum maupun individu.

3. Arak-arakan Barong Kemiren

Barong merupakan sebutan hewan mitologis atau binatang keramat yang dijumpai dalam masyarakat Jawa dan Bali. Keberadaan barong diyakini memiliki kekuatan magis dan dianggap suci oleh masyarakat yang mempercayainya.

Upacara barong ini dipercaya sebagai pembersih desa yang dapat menjauhkan marabahaya. Arak-arakan barong dilakukan sekitar pukul 15.00-17.00 waktu setempat.

4. Tumpeng Sewu

Tradisi tumpeng sewu merupakan tradisi puncak setelah rangkaian tradisi di atas. Dengan diterangi obor bambu yang dipasang pada tempat berkaki empat (oncor ajug-ajug), tumpeng sewu menjadi tradisi yang khas dan tetap sakral.

Tradisi ini juga diwarnai dengan membakar daun kelapa kering di sepanjang jalan. Hal tersebut diyakini dapat menghilangkan marabahaya. Upacara ditutup dengan salat magrib berjamaan dan makan bersama.

 

Penumpang: Resla Aknaita Chak

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya