Soal Gangguan Ginjal Akut, Pakar Hukum: Investigasi Harus Dilakukan dari Hulu ke Hilir

Kasus gangguan ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) masih belum sampai titik final. Kasus ini tak lepas dari pantauan berbagai pihak salah satunya pakar hukum medis Universitas Hang Tuah Surabaya Eko Pujiyono.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 18 Nov 2022, 08:00 WIB
Ilustrasi gangguan ginjal akut misterius atau Acute Kidney Injury (AKI). Foto: Unspalsh.

Liputan6.com, Jakarta Kasus gangguan ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) masih belum sampai titik final. Kasus ini tak lepas dari pantauan berbagai pihak salah satunya pakar hukum medis Universitas Hang Tuah Surabaya Eko Pujiyono.

Menurut Eko, kehadiran saksi ahli dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam kasus gangguan ginjal akut dinilai sangat membantu proses penyelidikan secara signifikan. Saksi ahli dapat diminta keterangannya karena kapasitas keilmuan serta pengalamannya sehingga bisa membuat terang suatu perkara.

“Keterangan saksi ahli itu diatur dalam pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kapasitas saksi ahli BPOM lahir dari keilmuan dan pengalaman yang mereka miliki sehingga tentunya kolaborasi BPOM dengan Bareskrim ini bisa mempercepat proses penyelidikan atas peristiwa gagal ginjal akut,” tutur Eko mengutip keterangan pers yang diterima Health Liputan6.com Kamis (17/11/2022).

Terkait penanggung jawab dari kasus tersebut, Eko mengutip Instruksi Presiden No 3/2017 mengenai Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan.

Menurutnya, pengawasan obat dan makanan tidak hanya dibebankan pada BPOM tapi juga beberapa lembaga atau institusi pemerintah yang lain. Dimulai sejak tahap pengadaan bahan, tahapan produksi, distribusi atau penyaluran hingga pada tahap penggunaan dalam sistem pelayanan. Oleh karena itu, ketika berbicara tentang investigasi dalam suatu kasus, tidak bisa hanya pada satu titik saja tapi harus mulai dari hulu ke hilir, katanya.


Perlu Diberi Kewenangan Tambahan

pakar hukum medis Universitas Hang Tuah Surabaya Eko Pujiyono. Foto: Dok: Isentia.

Eko menambahkan, dalam konteks pengadaan bahan, Presiden menginstruksikan kementerian tertentu untuk melakukan peningkatan dalam hal pengawasan terhadap pengadaan impor.

“Dalam tahapan produksi, kementerian lain dituntut untuk meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan bahan berbahaya yang disalahgunakan dalam proses produksi. Ini juga berkaitan dengan Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.”

Peraih gelar Doktor Hukum Medis di Universitas Airlangga tersebut juga mengatakan, sangat jelas bahwa BPOM perlu diberikan kewenangan tambahan terkait pengawasan obat dan makanan.

“Keberadaan BPOM tidak cukup hanya dari Peraturan Presiden No 80/2017. Artinya, pada masa yang akan datang, harus ada peraturan yang membahas khusus tentang pengawasan obat dan makanan.”

“Hal ini diperlukan agar kewenangan-kewenangan BPOM ditetapkan dalam bentuk Undang-Undang, apakah sejak pengadaan bahan, pada tahap produksi dan distribusi, ini yang harus dirumuskan secara jelas.”


Koordinasi Kuat Antar Departemen

Eko pun menyarankan harus ada koordinasi yang kuat antar departemen yang telah diamanahkan oleh Instruksi Presiden 3/2017 tersebut agar pengawasan lebih efektif.

“Koordinasi yang efektif bisa mengantisipasi dan mencegah hal-hal yang berdampak pada masyarakat.”

Sejak tanggal 7 Oktober, BPOM telah melakukan serangkaian tindak lanjut dari kasus gangguan ginjal akut. Seperti investigasi dan penelusuran obat yang digunakan pasien, intensifikasi surveilans mutu produk, pendalaman hasil pengawasan, analisis kausalitas bersama pakar. Serta pemberian sanksi administrasi kepada industri farmasi atas ketidaksesuaian atau pelanggaran peraturan.

Pada periode 21 Oktober hingga 10 November 2022, BPOM telah menerima 54 laporan gangguan ginjal akut dari 13 provinsi untuk kajian kausalitas kejadian tidak diinginkan (KTD) dengan obat.


Polri Periksa 41 Saksi

Sebelumnya, Penyidik Bareskrim Polri memeriksa 41 saksi terkait penyidikan kasus gagal ginjal akut pada anak yang diduga akibat obat sirup tercemar Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) melebihi ambang batas oleh perusahaan farmasi.

"Bareskrim Polri telah melakukan pemeriksaan terhadap 41 orang, terdiri atas 31 orang saksi dan 10 orang saksi ahli," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan, di Jakarta, Kamis, 16 November 2022 mengutip News Liputan6.com.

Ramadhan menjelaskan, penyidik Polri terus melakukan pendalaman terhadap supplier atau pemasok penyedia bahan baku obat Propilen Glikol (PG) yang mengandung bahan tambahan EG dan DEG kepada PT Afi Farma (AF), produsen obat Parachetamol.

"Karena PT. AF diduga tidak hanya mendapat bahan baku dari satu perusahaan, namun diduga berasal dari beberapa perusahaan. Hal inilah yang sekarang terus didalami oleh penyidik," ucap Ramadhan seperti dilansir dari Antara.

Untuk penetapan tersangka, lanjut Ramadhan, akan dilakukan melalui proses gelar perkara yang akan dilaksanakan secepatnya oleh penyidik.

Infografis BPOM Pidanakan Produsen Farmasi Biang Kerok Gagal Ginjal Akut (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya