Liputan6.com, Jakarta - Bjorka yang mulanya memberikan informasi mengenai kebocoran data pribadi masyarakat Indonesia, kini mulai menjadi penjual data pribadi.
Baru-baru ini, sang hacker mengklaim telah mengantongi 3,2 miliar data pribadi. Data-data pribadi itu kemudian ia jual dengan harga USD 100 ribu dengan pembayaran berupa Bitcoin (BTC).
Advertisement
Ketua Infrastruktur Telematika Nasional (INFRATELNAS) Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL), Sigit Puspito Wigati Jarot, menilai banyaknya aksi peretasan yang saat ini terjadi merupakan fenomena yang tengah marak di sejumlah negara.
Untuk memperkuat keamanan siber di Indonesia, Sigit menyarankan dua kunci utama kepada pemerintah untuk menekan peretasan, yaitu merekrut praktisi atau komunitas keamanan siber dan menjalankan amanah yang tertuang di Undang-undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
"Mungkin pemerintah dapat merangkul dan merekrut praktisi dan komunitas siber yang ada untuk dapat memperkuat keamanan siber di Indonesia. Juga meningkatkan literasi kepada masyarakat mengenai keamanan siber," ujar Sigit melalui keterangannya, Sabtu (19/11/2022).
Ia mengungkapkan, negara seperti Inggris sudah memiliki roadmap yang jelas tentang keamanan siber, sehingga praktisi dan komunitas siber yang sejatinya memiliki talenta khusus tersebut dapat diberdayakan untuk memperkuat keamanan negaranya.
"Kalau di Indonesia belum memiliki roadmap tersebut. Mungkin ke depannya pemerintah dapat merangkul komunitas ini untuk diberdayakan meningkatkan keamanan siber di Indonesia,” ucap Sigit.
Membuat Lembaga Pelindungan Data Pribadi
Para penyelenggara sistem elektronik (PSE) juga harus ada upaya untuk meningkatkan keamanan yang lebih baik. Mereka harus membuktikan dengan standar dan kaidah yang berlaku di industri keamanan siber seperti telah melalui vulnerability assessment, penetration testing, dan lain-lain.
Agar kasus peretasan di Indonesia dapat ditekan, menurut Sigit, aparat penegak hukum wajib mengejar peretasnya segera, bahkan tanpa harus menunggu adanya laporan dari pihak yang dirugikan.
"Analoginya sama seperti ketika ada maling masuk rumah, harus diinvestigasi dan dikejar malingnya," tuturnya.
Ia menyebut pemerintah juga harus segera menjalankan amanah yang tertuang di UU PDP. Mungkin langkah awal pemerintah bisa segera membuat Lembaga Pelindungan Data Pribadi yang berada di bawah Presiden.
Belum adanya lembaga pengawas ini, menurut Sigit, bisa dijadikan alasan untuk tidak menjalankan aturan peretasan data pribadi masyarakat Indonesia.
“Ini yang menjadi momok penegakan hukum enggan untuk menindak peretas data pribadi. Selain itu, kesadaran akan hak perlindungan data pribadi masyarakat perlu ditingkatkan. Jangan sampai data pribadi masyarakat Indonesia dieksloitasi oleh Over The Top/OTT asing,” Sigit memungkaskan.
Advertisement
Bjorka Terancam Penjara 5 Tahun Atau Denda Rp 5 Miliar
Di sisi lain, pembocor dan penjual data seperti hacker Bjorka dapat dikenakan sanksi pidana karena melanggar Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).
Anggota Komisi I DPR-RI, Bobby Adhityo Rizaldi, mengatakan tindakan Bjorka ini bisa dihukum berat karena sudah ada aturannya dalam UU PDP.
"Menjual data pribadi yang bukan miliknya untuk keuntungan sendiri ancamannya hukuman pidana. Apalagi kalau data yang dijual itu palsu, hukumannya bisa lebih berat lagi,” ujar Bobby melalui keterangan resminya, Sabtu (19/11/2022).
Menurut Bobby, penjualan dan pemalsuan data yang telah dilakukan Bjorka masuk ke dalam ranah kejahatan pidana yang di atur dalam UU PDP Pasal 65 dan 66.
Menurut UU PDP, Bjorka diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penjualan data pribadi yang bukan miliknya.
Juga diancam pidana penjara 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atas perbuatan pemalsuan data untuk menguntungkan diri sendiri.
Infografis Kejahatan Siber (Liputan6.com/Abdillah)
Advertisement