BPOM Dinilai Tidak Bisa Lepas Tanggung Jawab Terkait Kasus Gagal Ginjal Anak

BPOM RI dinilai harus bertanggung jawab karena telah lalai menjalankan tugas pengawasan terkait kasus cemaran larutan E) dan DEG pada obat sirup yang mengakibatkan penyakit gagal ginjal akut pada anak.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Nov 2022, 05:32 WIB
IDAI imbau orang tua untuk tidak memberikan obat bebas tanpa rekomendasi nakes pada anak terkait kasus gagal ginjal akut. (unsplash.com/Myriam Zilles)

Liputan6.com, Jakarta - Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta, Azmi Syahputra, mengatakan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI harus bertanggung jawab karena telah lalai dalam menjalankan tugas pengawasan terkait kasus cemaran larutan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada obat sirup yang mengakibatkan penyakit gagal ginjal akut pada anak.

“BPOM juga semestinya ditarik sebagai pihak yang turut bertanggung jawab karena mengacu pada teori sebab akibat (kausalitas), BPOM juga berkontribusi menjadi faktor musabab yang tidak dapat dihilangkan perannya,”ujar Azmi Syahputra, Sabtu 19 November 2022.

Azmi menilai, tanpa kehadiran dan fungsi BPOM, maka obat-obatan tersebut tidak bisa beredar, bahkan bisa berdampak obat tersambung mempunyai kandungan yang membahayakan jiwa bagi anak anak, sehingga BPOM dapat dipersalahakan karena ikut berbuat kelalaian.

Sebab inilah tupoksi BPOM yang seharusnya dijalankan, jadi kalau secara nyata ditemukan ada penyimpangan dalam tugas dan fungsi BPOM, maka lembaga yang dipimpin Penny K. Lukito ini dapat dimintai pertanggung jawaban dan bisa dikenakan pidana.

“Sebab dalam hal ini adalah tupoksi BPOM yang seharusnya dilakukan, jadi kalau nyata ditemukan ada penyimpangan dalam tugas dan fungsi BPOM mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 maka berlaku pulalah pertanggungjawaban dan aturan pidana bagi unit BPOM yang membidangi pengawasan obat, pengawasan produksi, pengawasan distribusi, baik sebelum beredar maupun selama beredar,” terang Azmi.

Sebelumnya, penyidik dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri sudah menetapkan dua perusahaan farmasi sebagai tersangka dalam kasus gagal ginjal akut di Indonesia. Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo menuturkan dua tersangka tersebut adalah PT Afi Farma dan CV Samudera Chemical.

“Kedua korporasi ini diduga melakukan tindak pidana memproduksi obat atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu,” ujar Dedi dalam keterangan resmi, Kamis (17/11/2022).

Bareskrim Polri menjelaskan jika PT Afi Farma disangkakan dengan Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Sedangkan CV Samudera Chemical disangkakan dengan Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dan/atau Pasal 60 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Perubahan Atas Pasal 197 Jo Pasal 106 Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 62 Jo Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Jo Pasal 55 dan/atau Pasal 56 KUHP.


Jangan Berlindung di Balik Kejagung

Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) David Tobing meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tak berlindung di balik Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait cemaran obat yang menyebabkan kasus gagal ginjal akut.

Pernyataan ini disampaikan David menanggapi keterangan BPOM yang mengaku akan menghadapi gugatan KKI dengan pendampingan dari Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung (Kejagung).

"Kepala BPOM seharusnya cukup menggunakan biro hukum di BPOM dalam menghadapi gugatan KKI ke PTUN," ujar David dalam keterangannya, Jumat (18/11/2022).

Diketahui, KKI menggugat BPOM ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan yang dilayangkan pada 11 November 2022 terdaftar dengan nomor perkara 400/G/TF/2022/PTUN JKT.

KKI menduga BPOM melakukan perbuatan melawan hukum penguasa dan pembohongan publik.

David merasa heran dengan tindakan BPOM yang seolah berlindung di balik Kejagung. Pasalnya, David menilai BPOM merupakan pihak yang berpotensi menjadi tersangka karena kesalahannya memberikan izin edar obat sirop yang tercemar hingga memicu kasus gagal ginjal akut.

"Ini tidak elok karena BPOM sendiri berpotensi menjadi pihak yang dimintai pertanggungjawaban dari sisi pidana karena akibat kelalaian BPOM yang mengeluarkan izin edar obat sirup yang tercemar mengakibatkan banyak korban meninggal dan sakit," kata David.

David menegaskan, BPOM memberikan sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) kepada pedagang besar farmasi yang memasok bahan baku ke produsen obat. BPOM juga memberikan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) kepada produsen obat.

Menurut David, BPOM juga mengeluarkan izin edar atas obat yang tercemar dan mengakibatkan banyaknya korban meninggal dan sakit akibat gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) pada anak.

"Jadi BPOM berpotensi menjadi pelaku ataupun pihak yang turut serta melakukan tindak pidana, karena saat ini sudah ada distributor obat yang dicabut sertifikat CDOB, sudah ada produsen obat yang dicabut CPOB-nya dan sudah 73 obat yang dicabut izin edarnya," kata dia.

 

Infografis 9 Anggota Tim Pencari Fakta Kasus Gagal Ginjal Akut Anak (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya