Dolar AS Menguat di Tengah Kenaikan Kasus Covid-19 di Beijing China

Dolar Amerika Serikat menguat 0,412 persen menjadi 107,330, menyentuh level tertinggi sejak 11 November 2022.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 21 Nov 2022, 16:48 WIB
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus menguat, Jakarta, Kamis (23/10/2014) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Dolar Amerika Serikat menguat terhadap mata uang utama dunia lainnya pada Senin (21/11).

Sementara itu, yuan tergelincir karena sentimen memburuk yang didorong oleh meningkatnya kasus Covid-19 di China dan pengetatan pembatasan di beberapa kota negara ekonomi terbesar kedua di dunia.

Dilansir dari Channel News Asia, Senin (21/11/2022) indeks dolar, yang mengukur terhadap enam mata uang utama dunia, naik 0,412 persen menjadi 107,330, menyentuh level tertinggi sejak 11 November 2022. 

Indeks dollar sudah naik 0,5 persen pekan lalu, mencatat kenaikan mingguan terbesar dalam sebulan karena investor berbondong-bondong ke mata uang safe haven.

Meskipun naik pada Senin (21/11), indeks dolar masih berada di kecepatan kinerja bulanan terburuk sejak Juli 2020.

Sedangkan Yuan dibuka pada 7,1451 per dolar dan melemah dari 7,1708, level terlemah sejak 11 November.

Pada Minggu (20/11), ibu kota China Beijing melaporkan dua kematian terkait Covid-19 dengan distrik terpadat di kota itu mendesak warganya untuk tetap berada di rumah.

Meningkatnya kasus dan kematian baru terkait Covid-19 di China menyusutkan harapan pelonggaran pembatasan yang ketat yang telah melumpuhkan ekonomi.

"Prospek pasar dari kebijakan nol-Covid-19 di China akan tetap menjadi sumber utama volatilitas," kata Carol Kong, ahli strategi mata uang di Commonwealth Bank of Australia.

"Jika kita melihat serangkaian langkah lain dalam pembatasan, itu menunjukkan kepada saya bahwa para pejabat China masih waspada terhadap pembukaan kembali yang akhirnya terjadi," ujarnya.


Rupiah Melemah ke 15.691 per Dolar AS di Awal Pekan

Karyawan bank menghitung uang dolar Amerika Serikat (AS) di Jakarta, Senin (2/11/2020). Nilai tukar rupiah pada perdagangan Senin (2/11) sore ditutup melemah 0,1 persen ke level Rp14.640 per dolar AS, dari perdagangan sebelumnya yaitu Rp14.690 per dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Senin pagi ini bergerak melemah. Pelemahan nilai tukar rupiah ini terjadi di tengah ekspektasi perlambatan kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (Fed).

Pada senin (21/11/2022), rupiah pagi ini melemah tujuh poin atau 0,04 persen ke posisi 15.691 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 15.684 per dolar AS.

Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menjelaskan, belakangan ini sentimen pasar terhadap aset berisiko terlihat membaik dengan kenaikan indeks-indeks saham global.

"Membaiknya sentimen pasar ini karena berkembang ekspektasi bahwa bank sentral AS bakal melambatkan kenaikan suku bunga acuannya karena kenaikan inflasi AS mulai menurun," ujar Ariston dikutip dari Antara. 

Ariston menyampaikan di sisi lain beberapa pejabat The Fed pekan lalu memperingatkan bahwa kenaikan suku bunga acuan The Fed masih akan berlanjut karena tingkat inflasi AS masih tinggi.

"Ini yang turut memberikan tekanan ke aset berisiko termasuk rupiah di akhir pekan kemarin," kata Ariston.

Dari dalam negeri, lanjut Ariston, masalah suplai dan permintaan dolar AS disinyalir juga menjadi pemicu pelemahan rupiah terhadap dolar AS.

"Permintaan dolar AS cenderung meningkat menjelang akhir tahun untuk berbagai kebutuhan korporasi," ujar Ariston.

Ariston memperkirakan hari ini rupiah berpotensi melemah ke arah 15.7000-15.730 per dolar AS dengan potensi penguatan di kisaran 15.650 per dolar AS.


4 Hal Ini Pengaruhi Naik Turun Rupiah Terhadap Dolar AS

Teller menghitung mata uang rupiah di bank, Jakarta, Rabu (22/1/2020). Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan penguatan nilai tukar rupiah yang belakangan terjadi terhadap dolar Amerika Serikat sejalan dengan fundamental ekonomi Indonesia dan mekanisme pasar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kepala ekonomi The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip menilai terdapat setidaknya 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS, baik dari sisi eksternal maupun internal.

Suku Bunga The Fed yang Tinggi

Pertama, dari sisi eksternal, pergerakan nilai tukar Rupiah selama 2022 lebih dipengaruhi oleh dinamika yang terkait dengan kebijakan suku bunga acuan yang diambil oleh bank-bank sentral negara lain, terutama The Fed Fund Rate (FFR).

Kenaikan FFR secara agresif telah menyebabkan terjadinya capital outflow secara masif dan memperlemah nilai tukar Rupiah.

“Berdasarkan kalkulasi IEI, selama 9 bulan pertama 2022, Indonesia mengalami capital outflow sekitar Rp 161 triliun dari saham dan surat berharga negara (SBN) dibanding posisi pada akhir 2022," kata Sunarsip dalam sebuah diskusi, Sabtu (19/11/2022).

Interest Rate Indonesia Kurang Menarik

Faktor kedua, masih dari sisi eksternal, IEI menyebut investor portofolio asing masih melihat real interest rate Indonesia kurang menarik, karena beberapa negara emerging market lainnya telah memiliki yang positif seperti Brazil, Meksiko dan China.

"Dengan posisi tersebut, para investor portofolio memiliki lebih banyak opsi dalam menempatkan dananya di luar pasar keuangan Amerika Serikat,” lanjut Sunarsip.


Pengaruh Demand Valas di Indonesia

Karyawan menunjukkan uang rupiah dan dolar AS di Jakarta, Rabu (30/12/2020). Nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup menguat 80 poin atau 0,57 persen ke level Rp 14.050 per dolar AS. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Faktor ketiga, Snarsip memaparkan, dari sisi internal pergerakan nilai tukar Rupiah, dipengaruhi oleh demand valas di Indonesia yang masih tinggi sedangkan sisi pasokannya (supply) cenderung stagnan. 

Tingginya capital outflow dan demand valas di dalam negeri belum diimbangi oleh suplai valas yang cukup. Surplus neraca perdagangan yang tinggi, belum cukup kuat untuk mendorong peningkatan posisi cadangan devisa Indonesia karena tingginya demand valas. Keterbatasan suplai valas antara lain tercermin dari indikator loan to deposit ratio (LDR) valas yang meningkat tajam selama 2022.

Kenaikan LDR valas mencerminkan kebutuhan pembiayaan valas tinggi namun suplai valas dari masyarakat terbatas. Selain itu, demand valas juga diperlukan untuk impor, repatriasi, dan pembayaran utang luar negeri (ULN). 

Perkembangan Penerbitan Emisi di Pasar Modal Indonesia

Faktor keempat, perkembangan penerbitan emisi efek di pasar modal selama 2022 kurang atraktif dibanding tahun lalu. Hal ini antara lain terlihat nilai emisi efek selama 2022, yang menurun dibanding tahun lalu meskipun jumlah korporasi yang menerbitkan efek baru relatif sama banyaknya dibanding tahun lalu. 

"Penurunan nilai emisi efek baru tersebut terutama terjadi pada IPO dan Right Issue. Selain dari sisi nilai, kurangnya emisi dari emiten big player, big name selama 2022 juga berpengaruh dalam menarik modal asing portofolio masuk ke pasar modal Indonesia," pungkas Sunarsip.

Infografis Nilai Tukar Rupiah (Liputan6.com/Trie Yas)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya