Kemenkes Tegaskan Risiko KLB Polio Bisa Terjadi di Seluruh Wilayah RI

Risiko KLB Polio bisa terjadi di seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya di Aceh saja.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 21 Nov 2022, 18:00 WIB
Seorang anak menunggu giliran saat mengikuti program BIAS di Kantor Kelurahan Tamansari, Jakarta, Selasa (24/11/2020). BIAS bertujuan memberi kekebalan terhadap beberapa penyakit yang dapat menyerang saat imunitas anak menurun. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Meski satu kasus KLB Polio ditemukan di Kabupaten Pidie, Aceh, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia menyatakan, risiko temuan kasus bisa terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal ini, seluruh wilayah Indonesia harus tetap waspada dengan kejadian lumpuh layuh.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, risiko Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio yang terjadi juga dilatarbelakangi dengan cakupan imunisasi rutin, yang mana imunisasi Polio rendah.

Apalagi masa pandemi COVID-19 sempat terjadi kendala akses imunisasi. Akibatnya, cakupan imunisasi rutin mengalami penurunan.

"Risiko dan kemungkinan (penambahan kasus Polio) tetap ada dan tidak hanya Aceh (yang berisiko KLB Polio), tetapi juga seluruh wilayah di Indonesia," ujar Nadia saat dikonfirmasi Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Minggu (20/11/2022) malam.

"Ini juga mengingat cakupan imunisasi rutin, termasuk imunisasi Polio beberapa tahun terakhir, utamanya pada masa pandemi COVID-19 mengalami penurunan."

Pandemi COVID-19 mengakibatkan cakupan imunisasi rutin lengkap anak menjadi rendah. Berdasarkan data Kemenkes per 18 April 2022, cakupan imunisasi dasar lengkap telah menurun secara signifikan sejak awal pandemi COVID-19, dari 84,2 persen tahun 2020 menjadi 79,6 persen tahun 2021.

Sekitar 800.000 anak di seluruh Indonesia berisiko lebih besar tertular penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin seperti difteri, tetanus, campak, rubella, dan polio.

Penurunan cakupan imunisasi rutin disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya, gangguan rantai pasokan, aturan pembatasan kegiatan, dan berkurangnya ketersediaan tenaga kesehatan, yang menyebabkan penghentian sebagian layanan vaksinasi pada puncak pandemi COVID-19. 


Cakupan Imunisasi Polio Rendah

Seorang petugas kesehatan memberikan vaksin campak kepada balita di sebuah posyandu di Banda Aceh, Aceh, Rabu (4/10/2020). Pemberian vaksin polio dan vaksin campak secara gratis yang berlanjut di tengah pandemi COVID-19 bertujuan memperkuat imunitas anak. (CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP)

Adapun cakupan imunisasi Polio, baik Polio Tetes (Bivalent Oral Polio Vaccine/bOPV) dan Polio Suntik (Inactivated Polio Vaccine/IPV) terlihat rendah di berbagai wilayah Indonesia. Data ini sebagaimana yang dihimpun Kemenkes per November 2022, 

Pemetaan secara nasional yang dianalisis dari tools Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), cakupan imunisasi Polio yang rendah sudah terlihat sebelum pandemi COVID-19 melanda.

"Cakupan bOPV dan IPV memang di tingkat kabupaten/kota itu rendah. Tapi ini sempat juga sebelum pandemi COVID-19, lumayan lah OPV-nya di angka 86,8 persen, sekalipun ada yang di bawah 50 persen," papar Maxi Rein Rondonuwu saat 'Press Conference: Kejadian Luar Biasa Polio di Indonesia' pada Sabtu, 19 November 2022.

"Yang masih rendah ada di Kalimantan, Sumatera. Kalau lihat Aceh ya sejak tahun 2020 (masuk kategori) merah -- cakupan imunisasi Polio rendah. Di Papua dan Kalimantan paling banyak rendah IPV-nya juga, di bawah 50 persen tahun 2020."

Selanjutnya, tahun 2021, cakupan imunisasi bOPV turun di angka 80,2 persen. Wilayah yang turun cakupan bOPV di Aceh dan di beberapa di wilayah Sumatera dan Papua.

Di sisi lain, Maxi mengungkapkan, cakupan IPV justru naik tahun 2021 di angka 66,2 persen. Walau begitu, wilayah Sumatera dan Papua masih ada yang cakupan IPV rendah, terutama di Aceh.

"Aceh dan Papua masih merah IPV-nya. Tapi ya kenyataannya memang Papua sudah dari tahun 2018 dapat Sertifikat Bebas Polio untuk (virus Polio) Tipe 1. Yang Aceh kasus kita sekarang itu Tipe 2," ungkapnya.


30 Provinsi Risiko Tinggi KLB Polio

Paramedis dari Puskesmas Cinere memeriksa kesehatan murid kelas 1 saat kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di SDI Al-Hidayah, Depok, Jawa Barat, Kamis (18/11/2021). Pemberian imunisasi measles rubella (MR) dan difteri tetanus (DT) berlangsung hingga Desember. (merdeka.com/Arie Basuki)

Pada konferensi pers, Maxi Rein Rondonuwu memaparkan, ada 30 provinsi dan 415 kabupaten/kota risiko tinggi KLB Polio ini terlihat dari cakupan imunisasi rutin Polio yang rendah.

Pemetaan daerah risiko tinggi KLB Polio di atas juga berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan tools Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per November 2022. WHO mencatat, perlu kewaspadaan bersama dan meningkatkan cakupan imunisasi Polio.

"Kalau dilihat 30 provinsi dan 415 kabupaten/kota semua masuk kriteria tinggi, high risk (risiko tinggi) yang cakupan (imunisasi) Polio rendah semua. Jadi, kita, Indonesia ini high risk terjadinya KLB Polio," papar Maxi.

Secara rinci, persentase 30 provinsi dan 415 kabupaten/kota yang masuk kategori risiko tinggi KLB Polio dari data November 2022, antara lain:

Provinsi

  • Risiko tinggi 30,88 persen
  • Risiko sedang 3,9 persen
  • Risiko rendah 1,3 persen

Kabupaten/kota

  • Risiko tinggi 415,81 persen
  • Risiko sedang 54,10 persen
  • Risiko rendah 45,9 persen

Kendala Imunisasi Saat COVID-19

Petugas Puskesmas Kelurahan Rawa Bunga menyuntikkan vaksin Difteri Tetanus (DT) kepada seorang anak di RPTRA Citra Permata, Jakarta, Selasa (28/9/2021). Kegiatan rutin tahunan tersebut dalam rangka program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Berkaitan dengan cakupan imunisasi rutin turun, survei Kementerian Kesehatan dan UNICEF yang dilakukan tahun 2020 juga menemukan, setengah dari orangtua dan pengasuh yang disurvei enggan membawa anaknya ke fasilitas kesehatan.

Ini karena mereka takut anak tertular COVID-19 atau khawatir tidak ada protokol kesehatan yang tepat. Pemerintah berupaya memulihkan cakupan imunisasi yang hilang akibat gangguan kegiatan imunisasi terkait COVID-19 lewat Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN). 

Secara global, vaksinasi menyelamatkan lebih dari lima nyawa setiap menit dan mencegah hingga tiga juta kematian per tahun. Hal ini menjadikan vaksinasi sebagai salah satu kemajuan paling signifikan dalam kesehatan dan pembangunan global.

Perwakilan WHO untuk Indonesia Dr N. Paranietharan menambahkan, anak-anak yang divaksinasi tidak hanya lebih sehat, tapi mereka bisa berprestasi lebih baik di sekolah, dan menghasilkan manfaat ekonomi yang memengaruhi seluruh masyarakat.

“Vaksin yang disetujui WHO aman dan terbukti secara ilmiah efektif mencegah penyakit seperti campak, rubella, polio, difteri, dan tetanus," tutur Paranietharan melalui pernyataan resmi pada 18 April 2022.

"Tanpa adanya semua vaksin ini, anak-anak Anda bisa terkena penyakit-penyakit berbahaya ini dan dapat berakibat kematian."

Infografis TIdur Cukup Untuk Cegah Risiko Penularan Covid-19. Source: Liputan6

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya