Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, menilai nasib akhir kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2023 berada di tangan masing-masing gubernur.
Adapun kenaikan upah minimum 2023 maksimal sebesar 10 persen ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.
Advertisement
Regulasi itu terbit sebagai pengganti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, atau UU Cipta Kerja.
Tadjudin lantas menyoroti tindakan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang melanggar PP Pengupahan, dengan menaikan UMP 2022 melewati ketentuan batas seharusnya, dari 0,8 persen menjadi 5,1 persen.
Meskipun ide Anies kalah dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, namun dirinya seakan lepas dari jeratan sanksi.
"Tapi enggak ada sanksi apa-apa kan. Jadi Pemda melakukan pelanggaran dalam perhitungan, itu enggak ada sanksinya," ujar Tadjudin kepada Liputan6.com, Senin (21/11/2022).
Skema Penentuan Upah Minimum
Dia lantas memaparkan skema penentuan upah minimum, yang bermula dari putusan pemerintah pusat seperti Permenaker 18/2022. Namun, putusan akhirnya tetap ada di masing-masing gubernur.
Contohnya, Tadjudin menyebut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang bernegosiasi terlebih dahulu dengan pengusaha, sebelum menentukan putusan final upah minimum di sana. Meskipun, ia tidak menyebut adanya bentuk pelanggaran yang dilakukan Ganjar melalui langkah tersebut.
"Jadi itu sebetulnya penerapan dari Permenaker itu di tangan gubernur. Masing-masing provinsi melakukan perhitungan kembali. Itu tergantung dengan gubernur dengan Dewan Pengupahan di masing-masing daerah," tuturnya.
Advertisement
Sanksi Pemda
Adapun perubahan formula perhitungan upah minimum yang tertuang dalam Permenaker 18/2022 memang masih menimbulkan pertanyaan, utamanya terkait pemberian sanksi bagi pemerintah daerah (pemda) yang tidak mematuhinya.
Pasalnya, dalam aturan lama yang tertuang pada PP 36/2021, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sempat mengancam bakal memberhentikan secara permanen gubernur atau kepala daerah yang tidak mengikuti formulasi penghitungan upah minimum.
Menaker Ida menyatakan, sanksi itu diambil untuk memastikan program strategis nasional perihal upah minimum dapat ditaati oleh setiap daerah. Sanksi administrasi itu di antaranya teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian permanen.
Adapun landasan hukum dari sanksi itu tertuang dalam Undang Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.