Darurat Literasi Gizi, 4 Perguruan Tinggi Kembangkan Riset Bersama

Rendahnya literasi gizi juga disebabkan rendahnya penyediaan literasi tentang gizi.

oleh Edhie Prayitno IgeLiputan6.com diperbarui 22 Nov 2022, 15:37 WIB
Seminar Sehari "Literasi Gizi: Belajar dari Polemik Kasus Susu Kental Manis"

Liputan6.com, Semarang - Persoalan utama tentang gizi di masyarakat ada dalam tiga pusaran. Pertama, kekurangan gizi, kedua kelebihan berat badan, dan yang ketiga kekurangan zat gizi mikro dengan anemia. 

Tiga kasus itu sangat berkontribusi pada berbagai penyakit kronis di kemudian hari.

Menurut Arif Hidayat, ketua Yayasan Abipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), salah satu penyebab sulitnya mengatasi masalah gizi keluarga adalah tingkat literasi gizi masyarakat yang masih rendah. 

"Ini diperburuk Hal itu minimnya penelitian yang dapat menjadi referensi  peningkatan kesehatan masyarakat di Indonesia," kata Arif.

Ditambahkan dari sisi kuantitas peneliti Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga. Sebagai perbandingan,  jumlah peneliti per 1 juta populasi di Malaysia mencapai angka 7.000, diikuti Singapura dengan angka 2.590. Sementara, Indonesia hanya berada di angka 1.071 dengan populasi penduduk yang cukup besar.

Untuk mendorong perkembangan riset dan penelitian di Indonesia, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) menggandeng 4 perguruan tinggi, mereka adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Airlangga (UNAIR), dan Universitas Negeri Semarang (UNNES). Empat perguruan tinggi ini didorong menggelar penelitian bersama mengenai Konsumsi Susu dan Status Gizi Anak di Indonesia.

Ketua YAICI Arif Hidayat mengatakan pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi era digital dengan perubahannya yang semakin cepat. 

Ilmu pengetahuan dan teknologi saling berpacu. Karena itu, sudah waktunya kita mengambil peran dalam globalisasi, salah satunya melalui dunia pendidikan, memperkaya literatur dengan penelitian-penelitian yang akan bermanfaat bagi masyarakat, kata Arif Hidayat.

Masa depan seorang anak dipengaruhi oleh kecukupan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) anak. Kekurangan gizi dan gangguan-gangguan kesehatan yang terjadi pada masa 1.000 HPK akan berdampak terhadap kemampuan dan produktivitas SDM dimasa mendatang. 

Perlu didorong adalah memastikan asupan protein yang cukup pada anak, terutama protein hewani karena sangat penting untuk meningkatkan ketahanan tubuh dan juga massa otak. Karena itu masyarakat perlu memahami, gizi anak tidak cukup bila hanya dari protein nabati seperti tahu dan tempe, tapi diperlukan asupan protein hewani yang dapat diperoleh dari telur, ikan, daging dan susu, jelas Arif.  

Susu merupakan sumber hewani yang mengandung energi, protein, asam amino dan mikronutrien hanya ditemukan dalam makanan hewani sumber yang dapat merangsang pertumbuhan. Konsumsi susu yang cukup dapat menambah nutrisi penting untuk pencapaian Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk anak Indonesia. Rendahnya konsumsi protein hewani dan susu pada balita menyebabkan tingginya prevalensi stunting dan gangguan gizi lainnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya