Liputan6.com, Jakarta Di era modern sekarang ini, hampir semua jenis pangan dalam kemasan, terutama kemasan plastik, dikonsumsi sehari-hari dan secara intens. Mudah sekali menemukan produk dan brand pangan, termasuk minuman dalam kemasan di pasaran
Di balik itu semua, masyarakat diminta untuk tetap waspada dan hati-hati terhadap produk pangan dalam kemasan yang beredar di pasaran. Pasalnya, bila kemasan pangan tercemar senyawa BPA atau mengandung BPA bisa berdampak buruk bagi kesehatan.
Advertisement
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Anwar Daud, menyampaikan senyawa BPA berbahaya bila digunakan untuk kemasan pangan karena bisa memicu penyakit berbahaya. Apalagi Galon air mineral bekas pakai yang diguna ulang, yang dalam prosesnya lazim dicuci, disikat, dan digunakan berulang kali. Selain itu galon guna ulang ini, juga bisa menjadi sumber mikroplastik yang tak kalah berbahayanya.
"BPA paling banyak digunakan di kemasan makanan dan minuman, padahal berdasarkan hasil riset kesehatan yang ada sekarang, BPA adalah senyawa yang paling berbahaya di kemasan,” kata Anwar Daud di depan peserta “Workshop Penggunaan Bahan BPA pada Makanan dan Minuman” yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan, di Jakarta beberapa waktu lalu.
Hasil Penelitian dan Riset Tentang Bahaya BPA
Kepala Pusat Studi Lingkungan Unhas ini memaparkan hasil penelitiannya dan juga mengangkat sejumlah hasil riset internasional tentang bahaya BPA pada kesehatan manusia dan lingkungan.
BPA adalah bahan kimia sintetis organik yang biasa digunakan dalam produksi industri plastik polikarbonat (PC) dan resin epoksi. “Penggunaan BPA secara global diperkirakan akan mencapai 10,6 juta metrik ton pada 2022,” kata Anwar Daud.
“Beberapa studi biomonitoring manusia menunjukkan bahwa aplikasi BPA yang luas telah menyebabkan meluasnya paparan pada manusia, dan berdampak pula pada kesehatan manusia,” katanya, mengutip salah satu hasil riset di luar negeri.
Lebih lanjut Anwar menyampaikan beberapa studi epidemiologi melaporkan bahwa peningkatan kadar BPA pada urin, berhubungan dengan obesitas, gangguan kesuburan, dan penyakit kardiovaskular
“Paparan BPA juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker,” tambahnya.
Penelitian yang dilakukan timnya juga menyoroti penilaian risiko migrasi BPA ke daging dan produk daging, serta tingkat paparannya pada manusia.
“Manusia terpapar BPA melalui rute dan sumber yang berbeda, tetapi konsumsi telah dikonfirmasi sebagai sumber utama paparan BPA,” kata Anwar Daud.
Potensi Pencemaran Kemasan Galon Bekas Pakai
Anwar Daud juga mengingatkan potensi cemaran dan paparan mikroplastik dan nano plastik, karena penggunaan plastik yang belum tergantikan.
“Berdasarkan proyeksi emisi plastik hingga 2030 untuk 173 negara, mikroplastik dan nano plastik berpotensi mencemari lingkungan perairan berkisar antara 20-53 metrik ton/tahun.” Dikatakannya, setelah memasuki lingkungan, mikroplastik dapat diangkut ke air minum, garam dapur dan makanan, seperti ikan dan sayuran melalui rantai makanan.
Pada air kemasan, ia mengingatkan potensi cemaran kemasan galon bekas pakai polikarbonat sebagai kontaminan lingkungan.
"Tidak ada satu pun air mineral yang tidak mengandung mikroplastik, baik dari sisi kemasan maupun airnya. Terlebih lagi air isi ulang, karena galonnya dicuci dan dipakai ulang sebelum diisi selalu dicuci dengan disikat, sehingga terkelupas,” ujarnya.
BPA Bermigrasi Lewat Berbagai Cara
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Kelompok Substansi Standardisasi Bahan Baku, Kategori, Informasi Produk, dan Harmonisasi Standar Pangan Olahan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Yeni Restiani mengungkapkan bahaya BPA sebagai kemasan pangan.
”BPA dapat bermigrasi dari kemasan ke produk pangan melalui berbagai cara, dari proses pencucian, penggunaan air pada suhu tinggi, residu detergen, dan pembersihan yang mengakibatkan goresan,” kata Yeni.
Bukan itu saja, migrasi BPA juga bisa terjadi karena penyimpanan yang tidak tepat serta paparan sinar matahari langsung.
Menimbang bahaya BPA, BPOM juga telah melakukan pengkajian dengan mencermati regulasi di beberapa negara di dunia.
“Secara garis besar terdapat dua kelompok: Pertama, pelarangan penggunaan BPA pada kemasan pangan. Kedua adalah regulasi tentang pencantuman peringatan label bahaya BPA,” kata Yeni.
Negara yang menerapkan pelarangan penggunaan BPA adalah Perancis, Brazil, negara bagian Vermont (Amerika Serikat) dan Columbia. Sedangkan regulasi Pencantuman Peringatan Label Bahaya BPA diterapkan oleh negara bagian California (Amerika Serikat).
Adapun di Indonesia, kata Yeni menambahkan, melalui peraturan BPOM Nomor 20/2019 tentang Kemasan Pangan, persyaratan batas migrasi BPA pada kemasan plastik polikarbonat adalah 0,6 bagian per juta (bpj).
Advertisement
Temuan BPOM Terbaru Soal BPA Sampel Galon Polikarbonat
Dalam temuan BPOM sepanjang periode 2021-2022, menunjukan fakta peluluhan BPA sampel galon polikarbonat bekas pakai di sarana peredaran yang tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj di Banda Aceh, Aceh Tengah, Medan, Jakarta, Bandung, dan Manado.
BPOM kemudian bergerak lebih maju. Berdasarkan kajian BPOM dengan tim pakar, kemudian disepakati untuk menurunkan batas migrasi BPA menjadi 0,05 ppm.
“Tapi ini masih berupa draft hasil kajian, regulasi yang ada saat ini masih 0,6 bpj,” katanya.
Sebagai upaya melindungi masyarakat, BPOM sudah menginisiasi revisi Peraturan BPOM No. 31/2018 tentang Label Pangan Olahan.
“Poinnya antara lain, air minum dalam kemasan (AMDK) galon polikarbonat wajib mencantumkan label tulisan ”Berpotensi Mengandung BPA,” kata Yeni.