Kacau, Indonesia Ternyata Terjebak Middle Income Trap 29 Tahun

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas, Suharso Monoarfa mengungkapkan, Indonesia telah terjebak di middle income trap selama 29 tahun

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 22 Nov 2022, 15:41 WIB
Anak-anak dengan latar gedung bertingkat menikmati minuman di Jakarta, Sabtu (19/3/2022). Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat lebih tinggi, pada kisaran 4,7 persen hingga 5,5 persen, dari pertumbuhan 3,69 persen pada 2021. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

 

Liputan6.com, Bali Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas, Suharso Monoarfa mengungkapkan, Indonesia telah terjebak di middle income trap selama 29 tahun. 

Ia membandingkan dengan China yang berhasil keluar lebih dulu dari middle income trap dalam waktu sekitar 18 sampai 20 tahun dan Chili yang berhasil keluar dalam waktu 14 tahun.

“Padahal Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah (middle income) lebih dulu dari China pada sekitar 1982-1983. Kemudian kita masuk lagi ke lower income ketika terjadi peristiwa 1997 dan 1998, kita kembali lagi masuk ke middle income kira-kira pada 2002 hingga 2019,” ujar Suharso dalam acara puncak Indonesia Development Forum di Bali, Selasa (22/11/2022). 

Dia menjelaskan, berdasarkan pengalaman dan sejarah dari negara-negara tetangga Indonesia, mereka umumnya tidak terlalu lama untuk berada di posisi middle income trap, yakni sekitar 18-20 tahun saja. 

“Orang sekarang melihat perkembangan luar biasa, ada Korea Selatan menyusul Jepang, dan kemudian Hongkong, lalu Singapura, kemudian Indonesia. Tetapi, kita masih cukup lama di posisi middle income,” jelas Suharso.

Suharso menyebut, middle income itu menarik karena suatu negara seringkali terjebak untuk bisa naik kelas ke tingkat lebih tinggi. 

“Banyak ranjaunya di middle income yang membuat negara terjebak, banyak hal yang harus dilakukan untuk naik lebih tinggi. Butuh pertumbuhan rata-rata 6 persen per tahun agar Indonesia bisa keluar dari middle income trap,” kata Suharso.

Adapun menurut Suharso, penyebab negara-negara tetangga lebih cepat keluar dari middle income trap adalah strategi, instrumen, atau kebijakan mereka yang pas dalam industri. terutama industri manufaktur


Di Depan Pengusaha G20, Sri Mulyani Pamerkan Pertumbuhan Ekonomi RI 5,4 Persen di 2022

Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sependapat dengan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, juga yakin pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2022 bisa sentuh 5,4 persen.

Hal itu disampaikan kepada para pebisnis kelas dunia dalam acara B20 Summit 2022, di Nusa dua Bali, Senin (14/11/2022). B20 Summit 2022 ini merupakan gelaran untuk meramaikan Presidensi G20 Indonesia.

“Pemulihan ekonomi kita terus berlanjut. Seperti yang Anda lihat, kuartal ketiga kami tumbuh 5,72 persen. Ini sedikit lebih tinggi dari ekspektasi pemerintah sendiri. Kami berharap terus tumbuh di atas 5,4 persen tahun 2022,” kata Menkeu.

Menkeu menegaskan, Indonesia terus menjaga optimisme. Tetapi pada saat yang sama, Pemerintah Indonesia juga tetap waspada dengan kondisi global yang sangat dinamis. Kewaspadaan berarti harus bersiap untuk segala kemungkinan.

“Optimisme tetap penting. Sementara pada saat yang sama, kewaspadaan harus. Ini adalah pola pikir kita sebagai pembuat kebijakan ekonomi Indonesia. Kami tidak menakut-nakuti Anda dengan mengatakan bahwa kami harus waspada,” ujarnya.

 


Konsumsi Domestik

Deretan gedung perkantoran di Jakarta, Senin (27/7/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta mengalami penurunan sekitar 5,6 persen akibat wabah Covid-19. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Lanjut Sri Mulyani mengungkapkan, di Indonesia pertumbuhan ekonomi terus didukung oleh permintaan domestik yang kuat, terutama pada konsumsi dan sekarang diikuti oleh pemulihan investasi.

Disisi lain, penanganan pandemi yang efektif, dan berbagai kebijakan mendukung permintaan, terutama dalam bentuk bantuan sosial. Karena subsidi telah melindungi ekonomi masyarakat dari melonjaknya harga pangan dan energi.

“Kami juga menggunakan alat kebijakan kami untuk mendukung sisi penawaran. Ini dalam bentuk keringanan pajak, beberapa insentif dan juga dalam hal ini dukungan pembiayaan. Kombinasi keduanya harus selalu dalam rencana yang tepat,” ujar Menkeu.

Menurutnya, penting untuk mengkolaborasikan kebijakan fiskal dan moneter. Hal itu bertujuan agar kebijakan yang dirumuskan bisa tepat sasaran, dan mampu menopang serta meningkatkan kondisi pasar tenaga kerja.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya