Liputan6.com, Santo Domingo - Pejabat Amerika Serikat (AS) di Republik Dominika memperingatkan orang Amerika darker-skinned (berkulit lebih gelap) bahwa mereka berisiko terdampak dalam tindakan keras negara itu terhadap migran Haiti, dikutip dari The Guardian, Rabu (23/11/2022).
Menurut kedutaan AS di Santo Domingo, Republik Dominika menunjukkan bahwa pihak berwenang di sana 'menggunakan penampilan' seseorang sebagai kriteria untuk menahan mereka yang diduga berada di negara tersebut secara ilegal.
Advertisement
Republik Dominika mengatakan telah mendeportasi 43.900 migran, sebagian besar warga Haiti, antara Juli dan Oktober dalam operasi yang menurutnya diperlukan untuk keamanan nasional di tengah meningkatnya kerusuhan, kejahatan geng, dan blokade bahan bakar di pulau Hispaniola.
'Pengusiran' tersebut termasuk ratusan anak yang dikirim ke Haiti tanpa orang tua mereka, menurut UNICEF.
Beberapa negara dan lembaga hak asasi manusia mengutuk program penangkapan massal dan deportasi, kritik pemerintah Republik Dominika menanggapi "sangat ditolak".
Peringatan kedutaan AS datang dalam buletin tentang "penegakan migrasi Dominika yang sedang berlangsung" yang dikeluarkan pada akhir pekan.
“Agen migrasi Dominika telah melakukan operasi luas yang bertujuan menahan orang-orang yang diyakini sebagai migran tidak berdokumen, terutama orang keturunan Haiti,” katanya.
“Dalam beberapa kasus, pihak berwenang tidak menghormati status hukum atau kebangsaan orang-orang ini di Republik Dominika. Tindakan ini dapat meningkatkan interaksi warga AS dengan otoritas Dominika, terutama bagi warga berkulit gelap dan keturunan Afrika.”
Selanjutnya, menjelaskan laporan tentang warga yang ditahan "tanpa kemampuan untuk menolak penahanan mereka, dan tanpa akses ke fasilitas makanan atau kamar kecil, kadang-kadang selama berhari-hari".
Republik Dominika Sindir Balik AS
Kendati demikian, pendekatan yang diambil oleh pejabat Amerika tidak mencakup seruan untuk mengakhiri program deportasi, tidak seperti yang telah dilakukan oleh instansi lain, termasuk Volker Türk, komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia.
AS mempertahankan programnya sendiri untuk pengusiran migran Haiti, yang juga banyak dikritik.
Mempertahankan posisinya, Republik Dominika menanggapi "Tidak ada bukti pelanggaran hak asasi manusia sistemik seperti yang dikatakan dalam buletin kedutaan AS."
Kementerian hubungan luar negerinya mengatakan dalam sebuah pernyataan: “Pemerintah Dominika tidak pernah membayangkan akan ada sindiran keras yang dibuat tentang negara kita, apalagi dari sekutu (AS) yang telah dikenai tuduhan xenofobia dan perlakuan rasis terhadap para migran, termasuk sebagian dari populasinya sendiri.”
Advertisement
Ketegangan Memburuk di Haiti sejak Pembunuhan Presiden Jovenel
Ketegangan antara Haiti dan Republik Dominika, yang berbagi perbatasan sepanjang 240 mil (390 km) di pulau Hispaniola, telah memburuk sejak pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moïse tahun 2021.
Deportasi dari Republik Dominika sejak itu meningkat. Mereka juga semakin meningkatkan penjagaan militer di perbatasannya, bahkan memulai pembangunan tembok perbatasan.
Presiden Republik Dominika Luis Abinader pekan lalu menyebut komentar kepala hak asasi manusia PBB Türk sebagai "komentar yang tidak dapat diterima dan tidak bertanggung jawab".
Dia mengatakan, negaranya "lebih terpengaruh" oleh masalah Haiti dan migrasi yang stabil dan "lebih mendukung daripada negara mana pun di dunia".
“Anda tidak bisa meminta lebih dari Republik Dominika. Kami akan melanjutkan deportasi dan minggu depan kami akan meningkatkannya, ”katanya.
Haiti Dilanda Kerusuhan Akibat Kekurangan Bahan Pangan, Krisis Kemanusiaan
Apa yang sebenarnya terjadi di Haiti sehingga warganya bermigrasi?
Haiti menghadapi kerusuhan yang meluas atas kekurangan barang-barang pokok dan telah memperingatkan potensi "krisis kemanusiaan." Terlebih, wabah kolera juga menyerang negara itu.
Kedutaan AS telah memperingatkan warganya untuk meninggalkan negara Haiti.
Para pejabat Haiti meminta bantuan keamanan luar negeri pada hari Jumat dalam sebuah dokumen yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Ariel Henry yang memperingatkan "risiko krisis kemanusiaan besar", demikian seperti dikutip dari MSN News, Sabtu (8/10/2022).
Dokumen itu memberi wewenang kepada Henry untuk meminta pasukan internasional untuk membantu memerintah dalam meningkatnya pelanggaran hukum di negara itu.
Henry meminta "pengerahan segera angkatan bersenjata khusus, dalam jumlah yang cukup," untuk mengatasi masalah "tindakan kriminal geng bersenjata.''
Tidak segera jelas apakah permintaan itu telah diajukan secara resmi, atau dari negara mana Haiti meminta bantuan.
Advertisement