Liputan6.com, Jakarta Pemerintah memutuskan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok dengan tujuan untuk meningkatkan edukasi bahaya merokok kepada masyarakat.
Cukai rokok naik tertimbang 10 persen berlaku untuk tahun 2023 dan 2024. Kebijakan kenaikan CHT juga berlaku untuk rokok elektrik, dengan kenaikan rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HPTL, berlaku setiap tahun naik 15 persen selama 5 tahun ke depan.
Advertisement
Kenaikan tarif cukai ini dilakukan untuk menurunkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Benarkah kenaikan tarif cukai rokok memengaruhi kebiasaan merokok masyarakat di Indonesia? Menurut sosiolog, AB. Widyanta, merokok merupakan bentuk dari sosial kultural yang menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Indonesia dan dipakai di dalam kebiasaan kultural masyarakat.
Mengenai persoalan perokok remaja, AB Widyanta mencurigai, jangan-jangan datanya memang sudah tinggi sejak dulu, namun baru terbuka beberapa waktu terakhir karena kemajuan teknologi, dan penyebaran informasi yang semakin mudah, melalui media elektronik.
“Saya sebenarnya sudah bertemu dengan rokok sejak saya kecil, namun saya baru merokok semenjak bergelut di dunia yang penuh pemikiran,” ungkap AB. Widyanta, Rabu (23/11/2023).
“Kita harus menjadi bangsa yang terbiasa membudayakan perencanaan jangka panjang. Jangan kita naikkan cukai rokok hanya karena krisis ekonomi tanpa ada catatan yang memadai. Roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT) sangat diperlukan, supaya terlihat jelas bagaimana arah ke depannya,” kata AB Widyanta menegaskan.
Ia menambahkan, seharusnya orang Indonesia dibuat sedikit lebih pintar. Kalau misalkan cukai hasil tembakau (CHT) dibuat untuk berhenti merokok, seharusnya pemerintah bisa membuka data orang yang berhenti merokok dari CHT atau dana bagi hasil cukai tembakau (DBHCHT). Apakah data penurunannya signifikan atau tidak? Karena ini berkaitan dengan efektif atau tidaknya kenaikan CHT.
Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) menunjukkan dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021.
Menurutnya, kenaikan cukai rokok hanya menguntungkan pemerintah.
“Yang mendapatkan keuntungan adalah pemerintah, namun apakah berkorelasi dengan orang berhenti merokok? Realitasnya tidak. Karena orang yang punya daya beli akan terus membeli, dan orang yang tidak memiliki daya beli akan berpikir taktis, dengan membuat atau melinting sendiri dan mencari alternatif lain,” jelasnya.
Dibayangi Resesi, Kenaikan Tarif Cukai Rokok Bikin Industri Makin Berat
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengumumkan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok untuk tahun 2023 dan tahun 2024 dengan rata-rata tertimbang 10 persen. Sri Mulyani menyampaikan hal itu di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (03/11) lalu.
Menyikapi besaran kenaikan tarif CHT sebesar 10 persen itu, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan berpendapat bahwa kenaikan CHT itu akan semakin memberatkan pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) legal.
Pasalnya, kenaikan tarif menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal yang saat ini menjadi ancaman mematikan pabrikan rokok kretek legal.
"Kenaikan tarif CHT yang eksesif dalam tiga tahun terakhir, pasar rokok legal sudah tergerus oleh rokok ilegal, malah masih ditambah kenaikan kembali sebesar 10 persen di tahun 2023 dan 2024," tegas Henry Najoan, Selasa (8/11/2022).
Henry membeberkan, salah satu pungutan langsung pemerintah berupa cukai kepada IHT, dalam 3 tahun terakhir terus naik eksesif, yaitu tahun 2020, tarif cukai naik sebesar 23,5 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) naik 35 persen, tahun 2021 tarif cukai dan HJE naik sebesar 12,5 persen, dan tahun 2022 cukai dan HJE naik sebesar 12,0 persen, sehingga selama 3 tahun tarif CHT telah naik 48 persen dan HJE naik 60 persen.
"Di lain sisi, IHT legal sedang berjuang untuk tetap beroperasi dengan arus kas yang minim akibat pandemi, yang disambung dengan kenaikan BBM, dan ancaman resesi yang menguras daya beli masyarakat,” ujarnya.
Advertisement
Pungutan
Henry juga menyinggung tambahan beratnya pungutan langsung negara terhadap produk tembakau yang menjadi semakin berat karena kenaikan cukai. Selama ini, kata Henry, IHT legal selain dipungut melalui CHT, juga dibebani Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar 10 persen dari nilai cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9 persen dari harga jual eceran hasil tembakau.
Jika dijumlahkan, pungutan ketiga komponen pungutan langsung tersebut berkisar di 76,3 persen sampai 83,6 persen dari setiap batang rokok yang dijual, bergantung golongan dan jenis rokok yang di produksi. Sisa 16,4 persen sampai 23,7 persen untuk Pabrik membayar bahan baku, tenaga kerja dan overhead serta CSR.
"Artinya harga rokok ilegal sudah menang bersaing walau harganya hanya sekitar 20% atau 1/5 dari harga rokok legal. Kok masih ditambah lagi beban kenaikan tarif untuk 2023 dan 2024. Semakin berat beban IHT legal!," tegas Henry.
Henry Najoan juga menyoroti alasan dibalik kenaikan tarif cukai yang salah satunya karena angka prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun yang berada di angka 9,1 persen di tahun 2018.
Klaim itu, sambung Henry Najoan, seharusnya gugur karena Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis bahwa sejak tahun 2019, prevalensi merokok anak terus menurun. 3,87 persen pada 2019, turun menjadi 3,81 persen pada 2020 dan turun menjadi 3,15 persen di tahun 2021.
"Seharusnya, dengan turunnya prevalensi merokok anak, tak membuat tarif cukai rokok terus dinaikkan apalagi dalam situasi seperti ini," ujar Henry Najoan.