Lewat Kebijakan FPKM, Kementan Ingin Warga Sekitar Perkebunan Sejahtera

Kebijakan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) untuk memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kebun.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Nov 2022, 19:30 WIB
Ilustrasi pertanian. Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan kebijakan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) dimaksudkan untuk memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kebun yang saling bersinergi dengan perusahaan perkebunan (dok. Stephanie Davison/Unsplash.com)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan kebijakan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) dimaksudkan untuk memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kebun yang saling bersinergi dengan perusahaan perkebunan.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan Heru Tri Widarto mengatakan FPKM seluas 20 persen dari kebun yang diusahakan itu merupakan kewajiban perusahaan perkebunan sebagaimana perintah Undang-Undang No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

FPKM sebesar 20 persen, lanjutnya, didasari pada regulasi yang mengalami beberapa kali perubahan yang terakhir, sesuai Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 29 angka 19 dalam Pasal 58 ayat (1).

"Pada intinya, dengan dilakukannya FPKM akan berakibat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kebun yang saling bersinergi dengan perusahaan perkebunan," katanya diikutip dari Antara, Rabu (23/11/2022).

Mekanisme FPKM 20 persen dilakukan oleh perusahaan perkebunan kepada masyarakat sekitar melalui beberapa bentuk, antara lain melalui pola kredit, pola bagi hasil, bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak dan/atau bentuk kemitraan lainnya.

"Serta kegiatan usaha produktif untuk masyarakat sekitar bagi perusahaan dengan kondisi tertentu," katanya.

Heru menegaskan FPKM 20 persen hanya berlaku bagi perusahaan perkebunan yang mendapatkan IUP setelah Februari 2007, yang mana hal ini sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 26 Tahun 2007.

"Yang sebelumnya, jika sudah ada kemitraan dalam usaha produktif atau PIR (perkebunan inti rakyat) maka tidak kena (aturan FPKM 20 persen)," ujar Heru.

Menurut dia, apabila di sekitar kebun milik perusahaan tidak ada lahan yang cukup yakni 20 persen dari kebun yang diusahakan, maka harus dilihat kapan perusahaan tersebut mendapatkan perizinan berusahanya, sesuai dengan regulasi yang berlaku pada saat itu.

 

 


Usaha Produktif

Ilustrasi kebun teh (sumber: iStockphoto)

Untuk kondisi tertentu, FPKM 20 persen dapat dilakukan melalui kegiatan usaha produktif, tambahnya, setelah lahan dan masyarakat sekitar kebun dinyatakan mencukupi, maka langkah selanjutnya dilakukan kesepakatan.

Dengan demikian, menurut Heru, masyarakat tidak dibenarkan mengambil paksa kebun inti tertanam milik perusahaan apabila tidak ada lahan yang akan dimanfaatkan sebagai kebun kemitraan.

"Tidak dibenarkan apabila ada pihak yang memaksa mengambil kebun inti tertanam dalam HGU (hak guna usaha) atau IUP (izin usaha perkebunan) milik perusahaan," katanya.

Saat ini, Ditjen Perkebunan sedang menggodok rancangan peraturan terkait penentuan nilai optimum produksi kebun. Aturan ini mengacu pada Pasal 7 ayat (4) Permentan No 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar.

Nilai optimum produksi kebun tersebut, lanjut Heru, merupakan hasil produksi neto rata-rata kebun dalam 1 tahun yang ditetapkan secara berkala oleh Direktur Jenderal Perkebunan.


Kementan Diminta Perketat Pengawasan Ekspor Beras

Petugas mendata ketersediaan stok beras di Gudang Bulog Divisi Regional DKI Jakarta, Kelapa Gading, Rabu (29/12/2021). Dirut Perum Bulog Budi Waseso mengungkapkan hingga dengan penghujung 2021 Bulog berhasil melakukan penyerapan beras petani mencapai 1,2 juta ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Sutrisno, meminta Kementerian Pertanian melalui Badan Karantina Pertanian (Barantan) perlu memperketat pencegahan ekspor gelap beras.

“Yang dicegah itu jangan sampai ada ekspor gelap, karena semua negara perlu beras khususnya di Asia,” kata Sutrisno dalam RDP dengan Eselon 1 Kementerian Pertanian, Kepala Badan Pangan Nasional, Dirut Perum Bulog, Dirut PT. Rajawali Nusantara Indonesia (Persero), Rabu (23/11/2022).

Menurutnya, jika ekspor gelap beras tidak ditangani dengan baik, dinilai akan membahayakan kondisi pangan dalam negeri. Oleh karena itu, Kementan bersama stakeholder terkait harus memperketat ekspor beras.

“Manakala itu tidak dilakukan maka akan membahayakan kondisi pangan kita," ujarnya.

Lebih lanjut, dia mengingatkan agar Kementerian Pertanian jangan hanya mengandalkan data dari dinas pertanian terkait stok beras.  

"Untuk mengantisipasi beras ini, mutlak diperukan koordinasi Kementan dengan daerah di era otonomi daerah, karena mereka-mereka itu yang punya data, Kementan jangan hanya percaya sama dinas pertanian tidak ada legalitasnya menjdi dasar kita memprediksikan stok pangan kita cukup," ujarnya.


Kritik Rencana Bulog

Petugas mendata ketersediaan stok beras di Gudang Bulog Divisi Regional DKI Jakarta, Kelapa Gading, Rabu (29/12/2021). Dirut Perum Bulog Budi Waseso mengungkapkan hingga dengan penghujung 2021 Bulog berhasil melakukan penyerapan beras petani mencapai 1,2 juta ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Dia  juga menyinggung soal rencana Bulog  yang akan menyimpan stok beras di luar negeri sebanyak 500 ribu ton. Menurutnya, hal itu telah mendapatkan kritikan dari para petani beras. Lebih baik Bulog menyerap kebutuhan dalam negeri.

"Untuk pak Bulog rencana punya beras 500 ribu ton disimpan di luar negeri ini sudah dikritisi oleh petani. Bulog sulit melakukan penyerapan CBP. Sebenarnya sudah ada 11 provinsi untuk menyerap CBP jadi objek kita untuk menyerap kita tidak perlu impor, dan sebenarnya, Januari dan Februari sudah panen raya," ungkapnya.

Sejalan dengan itu, Sutrisno menyampaikan pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam forum KTT G20 beberapa waktu lalu mengenai ancaman krisis pangan dunia. 

Kata Presiden, dalam penanganan krisis pangan diperlukan teknologi produksi beras, integritas kapasitas produksi, dan memperkuat sistem logistik nasional. Semua itu perlu dilakukan untuk mengamankan rantai pasok dan stabilitas harga beras. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya