Liputan6.com, Depok - Pemerintah Indonesia terus berusaha menghentikan tindakan terorisme. Melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), pencegahan dapat dilakukan dengan intervensi fenomena distensi melalui pendekatan Heaven, Home, dan Habit (Tiga H).
Analis pemasyarakatan dan pakar deradikalisasi BNPT, Ardi Putra Prasetya mengatakan, fenomena desistensi terorisme tidak hanya sebatas menjelaskan mantan pelaku teror dapat berhenti menjadi teroris atau kembali terlibat dalam kelompok teroris. Terdapat faktor dan pengaruh lain yang mendukung timbulnya fenomena desistensi dari terorisme.
Advertisement
“Dapat dilakukan dengan intervensi fenomena distensi melalui pendekatan Heaven, Home, dan Habit,” ujar Ardi saat menerima gelar Doktor di Universitas Indonesia, Kamis (24/11/2022).
Ardi menjelaskan, terdapat kemungkinan pembentukan tipologi desistensi dari terorisme serta peramalannya yang dapat memberikan pandangan berbeda, terkait penanganan dan pencegahan tindak pidana terorisme. Peramalan tersebut akan mencakup kondisi mantan pelaku teror atau disebut idling mode lalu faktor pendorong yang menyebabkan mantan pelaku teror melakukan aksinya kembali.
“Teori desistensi menekankan perlunya penjelasan mengenai keterlibatan hingga berhentinya individu dalam kejahatan terorisme,” jelas Ardi.
Kejahatan terorisme memiliki karakteristik yang cenderung langka, terselubung dan kolektif sehingga berbeda dengan kejahatan biasa. Kejahatan terorisme dapat menghasilkan konsekuensi serius sehingga perlu memahami desistensi sebagai proses berkelanjutan.
“Pada disertasi yang saya buat, contoh terkait fenomena desistensi melalui perkembangan kelompok teroris seperti Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS telah mengakibatkan perpecahan ideologi radikal di Indonesia,” ucap Ardi.
Menurutnya, para jihadis di Indonesia merespon kemunculan ISIS dengan cara beragam, seperti membentuk kelompok baru, pergi ke Suriah dan Irak untuk bergabung, atau menanggapinya secara skeptis karena tidak relevan dengan perjuangan Negara Agama di Indonesia. Fenomena desitensi dari kemunculan ISIS dapat dilihat dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) didirikan oleh Santoso yang kurang diminati oleh kelompok radikal di Indonesia.
“Tidak tercapainya tujuan dari program deradikalisasi yang berakibat pada munculnya kasus residivis terorisme di Indonesia,” ucap Ardi.
Hal itu diperkuat dari temuan Polri yang menyatakan dua dari lima pelaku serangan terorisme di Sarinah pada 2016, merupakan residivis kasus terorisme yang bebas pada tahun 2014. Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) mencatat bahwa dari 825 mantan narapidana terorisme yang dibebaskan antara 2002 dan Mei 2020, sebanyak 94 orang di antaranya yang menjadi residivis teroris.
“Faktor munculnya residivis teroris disebabkan oleh penyebaran paham radikal di penjara, hubungan dekat dengan anggota keluarga yang melakukan kontak dengan kelompok teroris, dan penerimaan konsep ideologi radikal yang kuat memungkinkan tindakan fisik kolektif bersama kelompok teroris,” tegas Ardi.
Heaven, Heart, dan Hand
Ardi menuturkan, berdasarkan penelitiannya menggunakan pendekatan triple H untuk mengembangkan kerangka konseptual terkait terorisme secara lebih spesifik. Elemen heaven dapat dijelaskan menggunakan hubungan antara head dan heart, kemudian elemen habit dijelaskan melalui elemen head dan hand, sedangkan home dapat ditemukan melalui elemen heart dan hand.
“Temuan ini didasarkan pada hasil focus group discussion yang dilakukan sebanyak dua kali pertemuan,” tutur Ardi.
Ardi mengatakan, pada konteks heaven bahwa penggunaan doktrin kekerasan berdasarkan ideologi agama dijadikan pembenaran bagi teroris karena dianggap menjamin mereka masuk surga. Doktrin ini menciptakan kader militan yang siap menjadi brides of heaven.
“Bagi para teroris sendiri kematian adalah sesuatu yang diinginkan karena dapat memberikan kebahagian di surga,” kata Ardi.
Pada konteks home sebagai situasi yang dapat membantu mantan pelaku teror melepaskan diri atau terderadikalisasin, namun home dapat menjadi faktor pendorong residivisme pelaku teror. Contoh dari konteks home yaitu keluarga yang menjadi faktor penting dalam desistensi karena berkaitan dengan hubungan prososial dan menunjukkan kepedulian serta empati kepada anggota keluarganya agar tidak lagi berinteraksi dengan kelompok radikal.
Begitupun pada konteks habit, Ardi menjelaskan bahwa kebiasaan, pengaruh lingkungan, dan jaringan dapat mempengaruhi perubahan mantan pelaku teror ke arah desistensi dari terorisme atau residivis. Apabila mantan pelaku teror sudah tidak terlibat dalam tindakan seperti nesting, financing, maupun communication terhadap kelompok teroris, terdapat kemungkinan mereka menuju desistensi dari terorisme.
“Akan tetapi kondisi sebaliknya dapat terjadi ketika para mantan pelaku teror masih terlibat dalam berbagai macam tindakan-tindakan di atas,” kata Ardi.
Ardi menjelaskan, kelompok teroris menggunakan strategi propaganda untuk menyebarkan paham radikalnya kepada calon pengikut. Hal ini membuktikan bahwa elemen head lebih awal dari hand. Penyebaran paham radikal melalui propaganda kelompok teroris semakin tidak bisa dihindari akibat perkembangan internet saat ini.
“Propaganda dari kelompok teroris mengakibatkan mantan teroris rentan kembali terlibat dalam tindakan radikal. Hal ini menunjukan para mantan teroris masih memiliki head yang kuat dengan radikalisme terorisme sehingga mereka tidak ragu untuk kembali ke dalam kelompok teroris,” pungkas Ardi.
Advertisement