Liputan6.com, Jakarta- FIFA membuka investigasi atas chant atau nyanyian yang dilakukan oleh fans Meksiko yang dianggap sebagai diskriminasi saat pertandingan pembuka Piala Dunia 2022, Meksiko melawan Polandia yang berakhir imbang 0-0, pada Rabu kemarin (23/11) waktu setempat. Kabar itu telah dikonfirmasikan oleh badan pemerintah FIFA usai sehari laga Meksiko vs Polandia.
Baca Juga
Advertisement
"Komite Disiplin FIFA telah membuka proses terhadap Asosiasi Sepak Bola Meksiko karena nyanyian pendukung Meksiko selama pertandingan Piala Dunia FIFA Meksiko vs Polandia yang dimainkan pada 22 November. Proses dibuka berdasarkan pasal 13 Kode Disiplin FIFA," tulis badan pemerintah FIFA, dikutip dari ESPN, Kamis (24/11).
Federasi Sepak Bola Meksiko (FMF) sebelumnya telah diberi sanksi oleh FIFA karena nyanyian kiper anti-gay berulang yang terdengar di pertandingan El Tri, yang kadang-kadang dihentikan karena prosedur tiga langkah diberlakukan untuk menghentikan teriakan diskriminasi.
Tahun lalu, FIFA mengurangi hukuman Meksiko untuk nyanyian penggemar yang diskriminatif dari dua pertandingan kualifikasi Piala Dunia menjadi satu setelah FMF berjanji untuk melaksanakan kampanye pendidikan dan penegakan hukum untuk pertandingan di rumah dan di AS, dan mengatakan larangan lima tahun dari stadion akan diberlakukan dan diberikan kepada penggemar yang ditemukan melakukan nyanyian.
Namun, tak jelas dari pernyataan itu apakah proses FIFA terbaru ini karena nyanyian anti-gay atau perilaku lain dari pendukung Meksiko. Selain Meksiko, ternyata penggemar Ekuador sama hal juga seperti fans Meksiko yang melakukan nyanyian bernada diskriminasi selama pertandingan Piala Dunia Qatar vs Ekuador yang dimainkan pada 20 November.
Meski demikian, FIFA tak akan memberikan jadwal untuk menangani kasus-kasus terhadap federasi Meksiko dan Ekuador untuk bertanggung jawab atas perilaku penggemarnya masing-masing di pertandingan dan juga tidak mengatakan hukuman apa yang mungkin diberikan.
Telah Berlakukan Layanan The Social Media Protection Service Untuk Basmi Ujaran Kebencian dan Diskriminasi di Dunia Maya
Badan sepakbola dunia FIFA beberapa hari lalu sudah mengumumkan layanan baru berbasis online untuk menindak tindakan yang berpotensi ujaran kebencian dan tindakan diskriminasi selama Piala Dunia 2022 di Qatar berlangsung.
Layanan itu dinamakan The Social Media Protection Service yang fungsinya untuk meminimalisir untuk seluruh pemain tidak bisa melihat pesan kasar dari orang asing di ponsel mereka setelah pertandingan ajang terbesar di planet bumi tersebut selesai.
Gianni Infantino selaku presiden FIFA berkomitmen memberikan kondisi terbaik bagi seluruh pemain dan panitia dengan memantau 1x24 jam akun media sosial mereka yang nantinya komentar bernada kasar, diskriminasi, dan mengancam keselamatan bakal dilaporkan ke otoritas hukum.
"FIFA berkomitmen untuk memberikan kondisi terbaik bagi para pemain untuk melakukan yang terbaik dari kemampuan mereka," kata Presiden FIFA Gianni Infantino.
"Di Piala Dunia FIFA Qatar 2022 kami dengan senang hati meluncurkan layanan yang akan membantu melindungi pemain dari efek merusak yang dapat ditimbulkan oleh postingan media sosial terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan mereka," dia menambahkan.
Advertisement
Banyak Masalah Hingga Alat Politik Qatar
Para pekerja migran di Qatar menghadapi kondisi yang mengerikan dan banyak yang meninggal saat membangun infrastruktur untuk turnamen itu sendiri. Qatar juga terkenal karena pembatasan kebebasan berekspresi dan diskriminasi yang sedang berlangsung terhadap perempuan dan orang-orang LGBTQ+.
Semua itu sudah diketahui oleh 22 anggota komite eksekutif FIFA yang memberikan suara untuk mendukung negara itu pada 2010. Namun entah bagaimana mereka berhasil mendapatkan suara mayoritas di depan Australia, Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat. Semua negara ini bisa dibilang jauh lebih cocok untuk menjadi tuan rumah turnamen yang sudah berusia 92 tahun ini.
Menurut Ceri Wynne selaku dosen senior bidang Olahraga dan Latihan di Universitas Gloucestershire serta juga mantan pemain rugby profesional, dirinya menganggap semua masalah bermuara pada masalah politik.
"Sudah terlalu lama, olahraga digunakan sebagai alat politik, dengan pemerintah melihatnya sebagai cara untuk memajukan kedudukan mereka di dunia. Itu kembali ke Olimpiade 1936 dan Hitler menggunakannya untuk propaganda," kata Ceri Wynne, dilansir dari Metro.
Dia menambahkan, "Sayangnya, seluruh alasan mengapa pemungutan suara dilakukan oleh Qatar adalah karena politik dan korupsi dan tidak ada hubungannya dengan olahraga."
Inggris, Denmark, Jerman Ancam Tinggalkan FIFA Terkait Kampanye LGBT di Qatar
Inggris, Denmark, dan Jerman mengancam akan meninggalkan FIFA karena melarang kampanye LGBT pada Piala Dunia 2022 di Qatar.Sport Bible melaporkan, Denmark berencana mengadakan pertemuan dengan negara-negara UEFA lainnya mengenai kemungkinan meninggalkan FIFA, menyusul keputusan otoritas sepak bola dunia itu selama Piala Dunia di Qatar.
Menjelang Piala Dunia 2022, tujuh negara tersebut telah menulis surat kepada FIFA untuk menjelaskan alasan mereka ingin menggunakan ban kapten pelangi untuk mendukung hak-hak LGBT.
Seperti diketahui, FIFA mengikuti aturan yang berlaku di Qatar selama Piala Dunia 2022 berlangsung. Pasalnya, Negara Timur Tengah tersebut menerapkan sistem syariat Islam dengan waktu yang lama sehingga berdasarkan sistem itu bahwa LGBTQ+ diharamkan agama Islam maupun agama lainnya. Sebagai umat beragama menghargai pendapat dan perbedaan umat manusia itu wajib, tapi tidak untuk penyimpangan seperti penyuka sesama jenis.
Advertisement