, Jakarta - Kabar mengejutkan terkuak dari data PBB, yang menunjukkan bahwa lebih dari setengah perempuan dan anak perempuan yang terbunuh tahun lalu, dibunuh oleh pasangan atau keluarga dekatnya sendiri.
Data PBB tersebut menyebut bahwa Asia jadi benua yang paling mematikan.
Advertisement
Setidaknya 45.000 perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia dibunuh oleh pasangan atau anggota keluarga mereka pada tahun 2021, demikian diungkap sebuah laporan PBB yang terbit pada Rabu 23 November 2022 seperti dikutip dari DW Indonesia.
Menurut Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) dan UN Women yang menerbitkan laporan itu, angka ini berarti ada lebih dari lima perempuan atau anak perempuan yang dibunuh oleh seseorang dari keluarga mereka setiap jamnya.
Meskipun temuan terkait femisida ini "sangat tinggi”, angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi, kata laporan itu menekankan.
‘Rumah bukan tempat yang aman'Laporan PBB itu memperkirakan 81.100 perempuan dan anak perempuan sengaja dibunuh tahun lalu.
"Dari semua perempuan dan anak perempuan yang sengaja dibunuh tahun lalu, sekitar 56% dibunuh oleh pasangan intim atau anggota keluarganya yang lain… menunjukkan bahwa rumah bukanlah tempat yang aman bagi banyak perempuan dan anak perempuan," kata laporan tersebut.
Laporan itu juga mengakui bahwa secara keseluruhan, laki-laki dan anak laki-laki jauh lebih mungkin untuk dibunuh, yang angkanya mencapai 81% dari seluruh korban. Meski begitu, perempuan dan anak perempuan jadi kelompok yang sangat terdampak oleh kekerasan berbasis gender di rumah mereka sendiri, kata laporan itu.
Laporan PBB itu juga mengungkap bahwa jumlah femisida tertinggi pada 2021 tercatat di Asia, dengan perkiraan jumlah korban mencapai 17.800. Sementara Afrika menjadi benua paling mematikan kedua, dengan 17.200 korban.
Terlalu Sedikit Kemajuan
"Bukti yang ada menunjukkan bahwa kemajuan dalam mencegah pembunuhan berbasis gender atas perempuan dan anak perempuan terlalu sedikit," kata pernyataan dari PBB.
Laporan tersebut mengungkap bahwa di Eropa, pembunuhan perempuan dan anak perempuan oleh keluarganya telah berkurang sebanyak 19% dalam satu dekade terakhir. Sedangkan Amerika mengalami penurunan rata-rata sebesar 6% pada periode yang sama.
Laporan itu juga menyebutkan bahwa lockdown COVID-19 kemungkinan besar menjadi faktor penyebab tahun 2020 menjadi "sangat mematikan” bagi perempuan dan anak perempuan di Amerika Utara.
Laporan itu mencatat bahwa femisida yang terjadi di awal pandemi, "lebih besar dibanding tahun manapun sejak 2015.”
Sementara untuk Afrika, Asia, dan Oseania, PBB mengaku tidak dapat menggambarkan tren-nya dari waktu ke waktu, karena kurangnya data.
"Dengan memastikan setiap korban dihitung, kami dapat memastikan bahwa pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban dan keadilan bisa ditegakkan,” kata kantor PBB tersebut.
PBB pun mendesak adanya komitmen politik dari negara-negara untuk pencegahan kekerasan berbasis gender, termasuk memperkenalkan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, berinvestasi dalam organisasi hak-hak perempuan dan "mengalokasikan sumber daya yang cukup untuk pencegahan.”
Advertisement
Laporan Kekerasan Seksual Naik di Awal Pandemi COVID-19
Sementara itu, kekerasan seksual masih menjadi problematika yang menghantui masyarakat. Tak sedikit korban yang mengalami kesulitan untuk melapor, memilih bungkam, dan berlalu dengan apa yang dialaminya.
Meski tak semua melapor, catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan lembaga pendampingan perempuan korban kekerasan Akara Perempuan masih bisa untuk mewakili rekam jejak korban kekerasan seksual lewat laporan yang masuk.
Siti Hajar Rahmawati, pendamping psikologi di Akara Perempuan mengungkapkan bahwa pada awal pandemi COVID-19, tepatnya pada 2020, laporan kekerasan seksual ke Akara Perempuan justru meningkat.
"Nah, yang menariknya, tahun 2020 kasus kekerasan seksual yang masuk ke kami ada 18 kasus. Tetapi 18 kasus itu hanya dari bulan Juli sampai Desember 2020. Itu sudah banyak banget," ujar Rahma dalam media briefing bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Jumat (28/10/2022).
"Karena di 2021, 18 kasus itu dalam satu tahun. Sedangkan di 2020, 18 kasus itu setengah tahun. Jadi itu lonjakan yang besar padahal telah terjadi COVID-19 yang sedang tinggi-tingginya pada waktu itu."
Menilik data KemenPPPA sendiri, tercatat ada sebanyak 11.952 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2021. Ternyata, 7.004 kasus atau 58,6 persen diantaranya merupakan kekerasan seksual.
Tak berhenti di sana, data KemenPPPA pun menemukan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 8.478 laporan pada 2021, dan 1.272 kasus diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual.
Seperti yang terlihat, ribuan kasus memang telah tercatat. Namun faktanya masih banyak kasus kekerasan seksual lain yang tidak dilaporkan oleh korban.
Cetak Sejarah, Literasi Keuangan Perempuan Kalahkan Laki-Laki
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022. Untuk pertama kalinya, tingkat literasi keuangan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
"Dari sisi gender ini juga berita yang sangat menggembirakan juga. Indeks literasi keuangan untuk perempuan itu meningkat signifikan. Untuk pertama kalinya bahkan lebih tinggi dari indeks literasi laki-laki," kata Anggota Dewan Komisaris OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi dalam sesi konferensi pers, Selasa (22/11/2022).
Kiki, sapaan akrab Friderica menyampaikan, indeks literasi keuangan perempuan menurut SNLIK 2022 naik jadi 50,3 persen, lebih besar dibanding laki-laki sebesar 49,05 persen.
"Ini adalah hasil dari OJK menempatkan perempuan sebagai kelompok prioritas untuk dilakukan edukasi dan literasi keuangan, karena kita melihat pentingnya perempuan dalam hal mengelola keuangan keluarga," imbuhnya.
"Juga peran perempuan yang sangat penting dalam memberikan pendidikan atau edukasi keuangan terhadap anak-anaknya," kata Kiki.
Advertisement