Liputan6.com, Jakarta Kecintaan pada fesyen dan latar belakang pendidikan tata busana menjadi modal Jemi terjun ke dunia mode. Pria berusia 30 ini baru saja menyabet juara satu dalam ajang UNESCO World Heritage 50 2022.
Ia juga bergabung dalam program Kita Muda Kreatif (KMK) yang diinisiasi oleh UNESCO.
Advertisement
Terpilihnya Jemi sebagai juara satu bukan tanpa alasan, karya seni yang ia buat memiliki ciri khas tersendiri dan terbilang ramah lingkungan.
Founder brand fashion Saparo ini memanfaatkan limbah kain untuk dijadikan karya-karya yang memiliki nilai seni. Mulai dari baju, tas, topi, hingga hiasan dinding. Saparo sendiri berdiri pada 2016.
“Nama dulu, dia (Saparo) lahir hanya asal nama saja tapi saya tidak tahu ini mau dikemanain. Selama dua tahun Saparo ini vakum dan 2018 adalah titik baliknya saya,” ujar Jemi saat ditemui di kediamannya di Semarang, Jawa Tengah, Kamis 24 November 2022.
Pria asal Ambon ini pun berkisah soal perjalanannya di dunia busana. Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), ia memilih jurusan tata busana. Dari dulu, mengolah limbah menjadi produk fesyen adalah hal yang membuatnya tertarik tanpa alasan khusus.
“Saya enggak tahu, selama di fesyen saya selalu tertarik mengolah limbah. Kalau ada tugas kampus, teman-teman cenderung pergi ke toko kain yang baru, saya cenderung ke kain-kain second.”
Perjuangan Sekolah Tata Busana
Perjalanan pendidikan Jemi di bidang fesyen tak berjalan dengan mudah. Anggapan bahwa bidang fesyen hanya untuk wanita membuatnya rentan menjadi bahan tertawaan.
“Kita kalau orang timur cowok masuk sekolah itu (tata busana) kita diledekin tuh,” katanya.
Sedangkan, sekolah tersebut memiliki seragam khas yang jika dikenakan maka setiap orang akan tahu Jemi sekolah di mana.
Guna menyiasati hal ini, Jemi pun menyembunyikan seragamnya di dalam tas setiap berangkat sekolah selama dua tahun.
“Jadi selama dua tahun saya sekolah, saya enggak pakai pakaian seragam. Selalu dimasukkan di tas dan sampai sekolah baru dipakai di kamar mandi. Itu rutin dan tetangga-tetangga mengira saya sekolah di STM.”
Selain menyembunyikan seragam, upaya lain yang dilakukan Jemi adalah merakit lampu hias di depan rumah agar benar-benar dikira siswa Sekolah Teknik Menengah (STM).
“Saya menutupi, mereka enggak tahu di kamar saya ada mesin jahit.”
Advertisement
Nongkrong dengan Tukang Sablon
Harus sembunyi-sembunyi, tapi pendekatan belajar di sekolah ia rasa menarik lantaran lebih banyak praktik ketimbang teori.
"Saya lebih gampang terima ilmunya, teori kurang, lebih banyak praktik,” katanya.
Pelajaran fesyen pun ia tekuni hingga bisa mewakili provinsi dalam lomba keterampilan siswa. Sejak saat itulah Jemi mulai percaya diri dan berani mengenakan seragam sekolahnya di depan umum.
Pada 2009, ia mendapat beasiswa pendidikan fesyen di Malang, Jawa Timur. Namun, pola pendidikannya tak cocok dengan Jemi.
"Pola pendidikannya tuh enggak masuk di otakku, teoritis banget.”
Alih-alih mendapat banyak ilmu dari pendidikan formal, Jemi lebih memilih untuk mencari ilmu secara nonformal dengan cara memperluas pergaulan.
“Saya nongkrong sama tukang sablon, tukang buat sepatu, tukang permak, itu ilmu-ilmu yang enggak diajarkan di kampus. Saya belajar banyak di jalan.”
Bikin Alat Tenun Sendiri
Seiring berjalannya waktu, ia pun mulai terjun ke dunia kerja. Dimulai dengan bekerja di konveksi rumahan, distro, garmen.
“Jadi saya menggeluti semua lah, akhir 2018 saya kerja di bridal yang harus rapi banget, quality control-nya gila, tapi dalam pembelajaran fesyen saya rasa di sini puncaknya,” ujar Jemi.
Setelah memutuskan resign, Jemi pun mulai mengolah kain limbah. Berbagai teknik pun dicoba, salah satunya teknik tenun. Kain-kain limbah dibuat memanjang seukuran pita kemudian ditenun menjadi kain yang siap dijadikan berbagai produk.
Sebelum bisa menenun, ia perlu mencari dulu alatnya hingga ke berbagai tempat seperti Jepara. Namun, tak ada pembuatan alat tenun di sana.
“Mereka enggak buat (alat tenun), rata-rata alat tenunnya udah tua banget dan sampai sekarang enggak ada regenerasi alat tenun lagi.”
Mengingat tak ada alat tenun, Jemi dibantu kakaknya membuat alat tenun sendiri dengan berbagai ukuran. Alat tenun dengan ukuran kecil bisa ia bawa ke mana pun.
Berbeda dengan penenun lainnya yang bekerja di kampung dengan suasana sunyi, Jemi lebih suka bekerja di tempat yang cenderung berisik.
“Saya kadang nenun di jalan juga, sambil ngopi. Saya kalau sunyi enggak bisa, justru kalau kerja musiknya harus gede,” katanya.
Advertisement