Liputan6.com, Jakarta - Pernahkah kamu mendengar mengenai kepribadian Big Five? Kepribadian ini sering juga dikenal dengan nama Big Five Personality yang terbagi atas lima dimensi dasar kepribadian.
Kelima sifat kepribadian utama Big Five Personality dideskripsikan dengan sifat OCEAN yang memiliki akronim openness (keterbukaan terhadap pengalaman), conscientiousness (ketekunan), extraversion (ekstroversi), agreeableness (kepersetujuan), dan neuroticism (neuortisme)
Advertisement
Melansir Very Well Mind, Jumat (25/11/2022), dalam sejarahnya, teori- teori sifat kepribadian telah lama berusaha untuk menentukan dengan tepat berapa banyak sifat yang ada. Di antaranya seperti, 16 faktor kepribadian Raymond Cattel atau teori tiga faktor yang ditawarkan oleh Hans Eysenck.
Namun, banyak peneliti merasa bahwa teori Cattell terlalu rumit dan Eysenck terlalu terbatas dalam cakupannya. Hasilnya, munculah teori Big Five Personality atau Kepribadian Lima Besar, yang digunakan untuk mendeskripkan sifat-sifat seseorang.
Perlu diketahui bahwa masing-masing dari lima jenis kepribadian utama mewakili rentang antara dua ekstrem. Sebagai contoh, jenis ekstraversi memiliki rentang antara ekstraversi ekstrim dan introversi ekstrim. Hal ini dikarenakan, di dunia nyata kebanyakan orang berada di antara keduanya.
Ada pun teori lima besar atau “big five” dikategrikan sebagai sifat kepribadian yang umum. Meskipun terdapat banyak literatur yang mendukung sifat-sifat kepribadian utama ini, para peneliti tidak selalu setuju pada label yang tepat untuk setiap dimensi.
Berikut penjelasan mengenai kepribadian Big Five, dilansir dari Truity:
**Liputan6.com bersama BAZNAS bekerja sama membangun solidaritas dengan mengajak masyarakat Indonesia bersedekah untuk korban gempa Cianjur melalui transfer ke rekening:
1. BSI 900.0055.740 atas nama BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)2. BCA 686.073.7777 atas nama BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)
1. Openness (Keterbukaan Terhadap Pengalaman)
Meskipun Openness dapat diartikan sebagai keterbukaan, tetapi jenis satu ini jangan disamakan dengan kecenderungan seseorang untuk terbuka dan mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka.
Openness dalam konteks Big Five merujuk lebih khusus pada keterbukaan terhadap pengalaman, atau keterbukaan untuk mempertimbangkan ide-ide baru.
Openness menggambarkan kecenderungan seseorang untuk berpikir secara abstrak. Mereka yang tinggi dalam openness cenderung kreatif, suka berpetualang, dan intelektual. Seseorang dengan tipe ini senang bermain dengan ide-ide dan menemukan pengalaman baru.
Di sisi lain, seseorang yang rendah dalam openness cenderung praktis, tradisional, dan fokus pada hal yang konkret. Mereka cenderung menghindari hal yang tidak diketahui dan mengikuti cara-cara tradisional.
Adapun bila dikaitkan dengan otak manusia, keterbukaan tampaknya terkait dengan sejauh mana daerah otak tertentu saling berhubungan.
Mereka yang tinggi dalam Openness tampaknya memiliki lebih banyak koneksi antara daerah otak yang berbeda, yang dapat menjelaskan mengapa mereka lebih cenderung melihat koneksi di mana orang lain tidak.
Advertisement
2. Conscientiousness (Ketekunan)
Jenis kepribadian ini menggambarkan tingkat orientasi tujuan dan ketekunan seseorang. Mereka yang memiliki skor tinggi dalam jenis ini memiliki kepribadian yang terorganisir, tekun, dan mampu melepaskan kepuasan langsung demi pencapaian jangka panjang.
Di sisi lain, seseorang yang rendah dalam sifat ini digambarkan dengan orang yang impulsif dan mudah teralihkan.
Di dalam otak, jenis conscientiousness dikaitkan dengan aktivitas lobus frontal. Lobus frontal dapat dianggap sebagai "otak eksekutif," yang memoderasi dan mengatur impuls dari area otak lainnya.
Misalnya, sementara kita mungkin secara naluriah ingin makan sepotong kue yang ada di depan kita, lobus frontal masuk dan berkata "tidak, itu tidak sehat, dan itu tidak sesuai dengan tujuan diet kita."
Ketika orang dengan conscientiousness mengalami peristiwa ini, mereka lebih dapat mengendalikan impuls yang berada di otak, sehingga lebih dapat menahan godaan dan menjaga diri mereka tetap pada jalurnya.
3. Extraversion (Ekstraversi)
Ekstraversi menggambarkan kecenderungan seseorang untuk mencari stimulasi dari dunia luar, terutama dalam bentuk perhatian dari orang lain, seperti layaknya seorang extrovert.
Ekstraversi terlibat secara aktif dengan orang lain untuk mendapatkan persahabatan, kekaguman, kekuasaan, status, kegembiraan, dan romansa.
Introvert, di sisi lain, menghemat energi mereka, dan tidak bekerja keras untuk mendapatkan imbalan sosial ini.
Di otak, extraversion tampaknya terkait dengan aktivitas dopamin. Dopamin dapat dianggap sebagai neurotransmitter menantang dan merupakan bahan kimia utama yang terkait dengan naluri kita untuk mengejar tujuan.
Berkaitan dengan dopamin, seseorang yang memiliki kepribadian jenis ekstraversi cenderung memiliki lebih banyak aktivitas dopamin, yang menunjukkan bahwa mereka lebih responsif terhadap potensi tantangan.
Ada pun introvert memiliki aktivitas dopamin yang lebih sedikit, sehingga kecil kemungkinannya untuk menempatkan diri mereka untuk mengejar tantangan.
Advertisement
4. Agreeableness (Kepersetujuan)
Agreeableness menggambarkan sejauh mana seseorang memprioritaskan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka sendiri.
Orang yang tinggi dengan jenis agreeableness mengalami banyak empati dan cenderung mendapatkan kesenangan dari melayani dan merawat orang lain.
Sementara itu, seseorang yang rendah dalam agreeableness cenderung kurang berempati dan mengutamakan kepentingan mereka sendiri daripada orang lain.
Mengenai penjelasannya di otak, agreeableness yang tinggi telah dikaitkan dengan peningkatan aktivitas di gyrus temporal superior, sebuah wilayah yang bertanggung jawab untuk pemrosesan bahasa dan pengenalan emosi pada orang lain.
5. Neuroticism (Neuortisme)
Neurotisisme menggambarkan kecenderungan seseorang untuk merespons stressor dengan emosi negatif, termasuk rasa takut, sedih, cemas, bersalah, dan malu.
Sifat ini dapat dianggap sebagai sistem alarm, ketika orang yang mengalami emosi negatif menandakan ada yang salah saat suatu peristiwa sedang terjadi. Ketakutan adalah respons terhadap bahaya, rasa bersalah adalah respons karena telah melakukan sesuatu yang salah.
Namun, tidak semua orang memiliki reaksi yang sama terhadap situasi tertentu. Seseorang dengan skor Neuroticism yang tinggi lebih cenderung bereaksi terhadap situasi dengan emosi negatif yang kuat.
Di samping itu, orang dengan skor neuroticism rendah lebih cenderung mengabaikan kemalangan mereka dan melanjutkan hidup.
Bila dikaitkan dengan senyawa yang terdapat di otak, Neuroticism tampaknya berhubungan dengan interkoneksi beberapa daerah, termasuk daerah yang terlibat dalam memproses emosi dan rangsangan negatif, seperti wajah yang tampak marah atau anjing agresif.
Advertisement