Gempa Cianjur, Dalam Islam Apakah Jenazah Korban Wajib Dimandikan, Dikafani dan Disholatkan?

Yang perlu diperhatikan adalah, pada dasarnya muslim manapun yang meninggal harus dimandikan, dikafani dan disholatkan, termasuk jenazah korban gempa Cianjur. Namun demikian, ada sejumlah pengecualian dalam kondisi darurat

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Nov 2022, 16:30 WIB
Saeful (40), pekerja tambang di galian pasir Cikahuripan, Kabupaten Cianjur, ditemukan tewas setelah tertimbun Senin (2/12/2019) lalu. (Dok. Basarnas)

Liputan6.com, Cianjur - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah korban jiwa gempa Cianjur mencapai 310 jiwa.

Dari jumlah itu, sebagian besar sudah dievakuasi dan teridentifikasi. Namun, ada pula yang hingga kini masih dalam pencarian.

Selain evakuasi dan penanganan tanggap darurat bencana gempa Cianjur, tim SAR gabungan juga bertindak dalam pemulasaraan jenazah korban bencana. Mereka membantu keluarga yang tengah berduka dan tak memiliki daya dalam pemakaman jenazah korban gempa.

Yang perlu diperhatikan adalah, pada dasarnya muslim manapun yang meninggal harus dimandikan, dikafani dan disholatkan. Namun demikian, ada sejumlah pengecualian dalam kondisi darurat.

Mengutip laman Muhammadiyah, dalam kondisi bencana yang menelan korban dalam jumlah massif sehingga menyulitkan untuk diperlakukan sesuai dengan hukum asal, maka jenazah tersebut boleh untuk tidak dimandikan dan dikafani.

Namun jenazahnya tetap wajib untuk disholatkan. Jenazah cukup dibungkus dengan pakaian yang ada maupun kain yang ditemukan seadanya sebagai kain kafan.

Terkait dengan penguburan, hal tersebut bisa dilakukan secara massal dan tidak perlu dipisahkan antara pria dan wanita. Dalilnya adalah:

Allah tidak membebankan kepada seseorang (kewajiban) kecuali sesuai dengan kemampuannya [QS. al-Baqarah (2): 286].

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Sholat Gaib untuk Mafqud

Jenazah korban gempa Cianjur dievakuasi dari reruntuhan bangunan. (Liputan6.com/Achmad Sudarno)

Melakukan salat jenazah untuk orang yang jasadnya hilang atau tidak ditemukan adalah ibadah yang masyruk. Syaratnya adalah adanya keyakinan menurut kelaziman alam bahwa orang tersebut sudah benar-benar wafat, seperti terkubur puluhan meter di bawah longsoran atau hanyut di laut selama berhari-hari. Dalilnya adalah keumuman praktik Nabi yang menyalatkan jenazah setiap muslim yang meninggal.

Dalam sebuah hadis disebutkan: “Dari Salamah ibn al-Akwa’ ra. (diriwayatkan bahwa) ia berkata. Kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Tiba-tiba dihadapkan kepada beliau satu jenazah. Mereka mengatakan kepada Rasulullah: wahai Rasulullah, salatkanlah ia. Rasulullah bertanya: apakah orang ini punya hutang? Mereka berkata: Tidak. Kemudian beliau bertanya kembali: apakah dia meninggalkan sesuatu? Mereka menjawab: Tidak. Akhirnya beliau menyalatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada beliau, lalu orang-orang berkata: Wahai Rasulullah, salatilah jenazah ini. Maka beliau bertanya: Apakah orang ini punya hutang? Dijawab: Ya. Kemudian beliau bertanya kembali: Apakah dia meninggalkan sesuatu? Mereka menjawab: Ada, sebanyak tiga dinar. Maka beliau bersabda:. Berkata, Abu Qatadah: Salatilah wahai Rasulullah, nanti hutangnya aku yg menanggungnya. Maka Beliau menyalatkan jenazah itu” [HR. al-Bukhari].

Selain itu ini dapat pula diqiyaskan kepada praktek sholat gaib (salat yang jenazahnya tidak di hadapan). Rasulullah Saw. pernah melakukan sholat gaib untuk wafatnya raja Najasyi Ethiopia. “Dari Abu Hurairah (ia berkata) bahwa Rasulullah Saw. mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat sholat lalu beliau membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali,” [HR. al-Bukhari].

Tim Rembulan

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya