Pakar PBB: Tindakan Taliban Kekang Perempuan adalah Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Sekelompok pakar independen di PBB memperingatkan tindakan Taliban membatasi hak dan kebebasan perempuan di Afghanistan bisa sama dengan "kejahatan terhadap kemanusiaan."

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Nov 2022, 08:03 WIB
Aksi sekelompok wanita saat berunjuk rasa di Herat, Afghanistan, Kamis (2/9/2021). Para pengunjuk rasa mendesak Taliban menghormati hak-hak kaum perempuan, termasuk menempuh pendidikan. (AFP Photo)

Liputan6.com, Kabul - Sekelompok pakar independen di PBB memperingatkan tindakan Taliban membatasi hak dan kebebasan perempuan di Afghanistan bisa sama dengan "kejahatan terhadap kemanusiaan."

Dalam pernyataan bersama Jumat (25/11), para pakar menuntut, tindakan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan “harus diselidiki sebagai penganiayaan berbasis gender” berdasar hukum internasional, dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (27/11/2022).

Juru bicara pemerintah Taliban Zabihullah Mujahid di Twitter segera membantah tuduhan itu, dan menilainya sebagai "tidak menghormati agama Islam yang sacral dan melawan hukum internasional."

Sejak kembali berkuasa pada Agustus 2021, Taliban mewajibkan perempuan menutup wajah di depan umum dan tidak melakukan perjalanan jauh tanpa muhrim. Mereka memerintahkan banyak perempuan anggota staf pemerintah untuk tinggal di rumah. Gadis remaja dilarang bersekolah selepas kelas enam di sebagian besar Afghanistan. Bulan ini Taliban melarang perempuan datang ke taman, taman hiburan, gimnasium, dan kolam renang umum di seluruh negeri.

Para pakar tidak berbicara atas nama PBB, tetapi diamanatkan untuk melaporkan temuan mereka kepada PBB.


Taliban Semakin Represif Terhadap Perempuan

Perempuan Afghanistan berdiri di luar taman hiburan, di Kabul, Afghanistan, Kamis (10/11/2022). Taliban pada hari Kamis telah melarang perempuan Afghanistan menggunakan fasilitas di pusat kebugaran dan taman. (AP Photo/Ebrahim Noroozi)

Amerika Serikat mengumumkan sanksi baru, pada Selasa (11/10), terhadap Taliban sebagai hukuman atas perlakuan represif mereka terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan.

Menteri Luar Negeri Antony Blinken meluncurkan kebijakan pembatasan visa baru untuk anggota dan mantan anggota Taliban serta pihak lainnya yang dianggap terlibat dalam penindasan perempuan melalui kebijakan pembatasan dan tindakan kekerasan.

Blinken menyampaikan pengumuman itu pada Hari Anak Perempuan Internasional PBB, dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (13/10/2022).

“Sebagai contoh suram, selama lebih dari satu tahun, Afghanistan tetap menjadi satu-satunya negara di dunia di mana anak perempuan secara sistematis dilarang bersekolah di atas kelas enam, tanpa penetapan tanggal kembali (kapan mereka bisa bersekolah),” kata Blinken.

Setelah kembali berkuasa pada Agustus 2021 menyusul mundurnya pasukan pimpinan AS, kelompok garis keras Taliban telah melarang anak perempuan bersekolah di sekolah menengah. Tetapi, perempuan diperbolehkan untuk kuliah.

Sebuah insiden bom bunuh diri baru-baru ini terjadi di sebuah kelas di Kabul menewaskan dan melukai puluhan siswa saat mereka menyiapkan diri untuk ujian.

PBB telah menyebutkan jumlah korban tewas mencapai 53, termasuk 46 anak perempuan dan perempuan muda.

Pelaku meledakkan dirinya di sebelah sejumlah perempuan yang tengah berada di ruang belajar yang dipisahkan berdasarkan gender. Ruang itu dipenuhi ratusan siswa yang mengikuti tes praktik untuk penerimaan mahasiswa baru di universitas.


Taliban Kembali Buka Sekolah Coding Bagi Remaja Perempuan Afghanistan

Seorang perempuan Afghanistan menerima jatah makanan yang didistribusikan oleh kelompok bantuan kemanusiaan Korea Selatan, di Kabul, Selasa (10/5/2022). Taliban pada Sabtu pekan lalu memerintahkan semua perempuan Afghanistan menutupi seluruh tubuhnya atau mengenakan burqa tradisional di depan umum. (AP Photo/Ebrahim Noroozi)

Pihak berwenang Taliban telah mengizinkan kembali sebuah sekolah non-pemerintah beroperasi di provinsi Herat, di mana anak-anak perempuan dapat mempelajari sistem pengkodean komputer atau coding.

Sekolah itu sempat ditutup setelah Taliban mengambil alih Afghanistan pada Agustus tahun lalu, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (23/9/2022).

Menurut pendiri dan CEO Code to Inspir, Fereshteh Forough, lebih dari 350 siswa telah mendaftar di sekolah itu, tetapi hanya 200 orang yang akan diterima dalam program desain grafis selama satu tahun yang akan dimulai pada akhir September mendatang.

Code to Inspire adalah lembaga swadaya masyarakat yang mengelola sekolah coding perempuan pertama di Afghanistan.

“Rata-rata siswa kami berusia 18-25 tahun,” ujar Forough pada VOA, seraya menambahkan bahwa biaya bulanan yang mencapai US$ 60 per siswa akan dibayar oleh Code to Inspire.

Meskipun sudah aktif di Afghanistan sejak tahun 2015, lembaga tersebut harus memperbarui pendaftaran LSM itu pada rezim baru Taliban agar dapat terus beroperasi.

Dalam proses pembaruan izin tersebut, Forough mengatakan bahwa lembaganya banyak mengalami hambatan birokrasi, tetapi akhirnya berhasil mendapatkan izin kerja dan lisensi untuk membuka kembali fasilitas tersebut.

Pembukaan kembali sebuah sekolah adalah suatu perkembangan signifikan di negara di mana aksed pendidikan di kalangan anak perempuan mengalami kemunduran besar dalam setahun terakhir ini. Tetapi, pembukaan sekolah coding tersebut tidak menunjukkan perubahan kebijakan Taliban terhadap pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan.


PBB Kecam Setahun Penutupan Sekolah Bagi Anak Perempuan di Afghanistan

Seorang perempuan mengenakan burqa berjalan melalui pasar burung saat dia menggendong anaknya, di pusat kota Kabul, Afghanistan, 8 Mei 2022. Taliban memerintahkan perempuan Afghanistan untuk mengenakan pakaian dari kepala hingga ujung kaki atau burqa tradisional di depan umum. (AP Photo/Ebrahim Noroozi)

PBB, pada Minggu (18/9), kembali menyerukan Taliban Afghanistan untuk segera membuka kembali sekolah-sekolah untuk remaja perempuan. Seruan itu disampaikan setahun setelah Taliban melarang anak-anak perempuan untuk bersekolah. PBB menyebut hal itu sebagai sesuatu yang "tragis, memalukan, dan bisa dihindari."

Sejak merebut kontrol dari negara yang dilanda konflik pada Agustus tahun lalu, kelompok Islamis itu memerintahkan anak perempuan kelas 7 hingga 12 untuk diam di rumah, yang berdampak pada anak perempuan berusia 12 hingga 18 tahun.

"Dilarangnya anak perempuan untuk menempuh pendidikan di SMA tidak bisa dibenarkan dan tidak terjadi di belahan manapun di dunia," kata Markus Potzel, pemimpin Misi Bantuan PBB di Afghanistan dalam sebuah pernyataan, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (20/9/2022).

“Hal itu sangat merugikan generasi anak perempuan dan masa depan Afghanistan itu sendiri,” katanya.

Taliban membuka kembali SMA bagi anak laki-laki pada 18 September tahun lalu, tapi mengabaikan seruan internasional untuk mengizinkan siswa perempuan kembali ke sekolah.

Kelompok penguasa garis keras itu juga telah memerintahkan perempuan untuk menutupi wajah di tempat umum dan memberitahu staf perempuan di banyak sektor publik agar diam di rumah, mengatakan peraturan itu sesuai dengan budaya Afghanistan dan hukum Islam.

Infografis Penangkapan Terduga Teroris dan Waspada Euforia Kemenangan Taliban. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya