Bank Mayapada Beli Gedung Ex Plaza Bali Rp 1 Triliun

PT Bank Mayapada Internasional Tbk membeli gedung ex Plaza Bali tersebut dari PT Gatsu Griya Megatama (GGM).

oleh Agustina Melani diperbarui 27 Nov 2022, 15:58 WIB
Pejalan kaki melintas dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kawasan Jakarta, Senin (13/1/2020). IHSG sore ini ditutup di zona hijau pada level 6.296 naik 21,62 poin atau 0,34 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Mayapada Internasional Tbk (MAYA) membeli gedung ex Plaza Bali senilai Rp 1 triliun pada 23 November 2022. Gedung ex Plaza Bali tersebut berada di Jalan By Pass I Gusti Ngurah Rai, Kelurahan Kuta, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, Bali.

PT Bank Mayapada Internasional Tbk membeli gedung ex Plaza Bali tersebut dari PT Gatsu Griya Megatama (GGM). Transaksi tersebut merupakan transaksi afiliasi  sesuai ketentuan Peraturan POJK 42/2020 seiring Dato’ Sri Prof Dr Tahir menjabat sebagai pemegang saham pengendali terakhir di perseroan merupakan pemegang saham dalam GGM.  

"Selain itu, terdapat hubungan keluarga di dalam struktur pemegang saham dan pengurus GGM, yaitu Jonathan Tahir yang merupakan anak kandung dari Dato’Sri Prof Dr Tahir yang menjabat sebagai komisaris dan salah satu pemegang saham dalam GGM,” demikian mengutip dari keterbukaan informasi BEI, ditulis Minggu (27/11/2022).

Meski transaksi afiliasi, tetapi bukan merupakan transaksi material yang diatur dalam Peraturan PJK Nomor 17/POJK.04/2020 tentang transaksi material dan perubahan kegiatan usaha. Hal ini karena nilai transaksi afiliasi kurang dari 20 persen ekuitas perseroan berdasarkan laporan keuangan perseroan per 30 Juni 2022 sebesar Rp 13,85 triliun.

PT Bank Mayapada Tbk menyatakan pembelian aset yang selama disewa tersebut dengan harga ekonomis dan digunakan sebagai kantor cabang.

“Seluruh dana hasil penjualan gedung ini kemudian disetor kembali kepada perseroan sebagai penambahan modal. Dalam hal ini, perseroan mempunyai keuntungan atas transaksi afiliasi,” demikian mengutip dari keterbukaan informasi BEI.

Adapun transaksi tersebut telah mendapatkan penilaian wajar dari penilai independent pada KJPP Wawat Jatmika dan Rekan (KJPP-WJR).


Marak Bank Digital, Begini Strategi Bank Mayapada

Pekerja mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di salah satu perusahaan Sekuritas, Jakarta, Rabu (14/11). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bertahan di zona hijau pada penutupan perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, pandemic COVID-19 turut andil dalam mengakselerasi digitalisasi di dalam negeri. Lantaran, hampir segala aktivitas kini dapat dilakukan secara daring.  Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari hari lewat layanan pesan antar, belanja daring, hingga transaksi perbankan yang juga bisa dilakukan secara online.

Hal itu menyusul pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah untuk meminimalkan mobilitas masyarakat selama pandemi. maka tak ayal, kini bank-bank mulai berlomba untuk mengembangkan layanan digital. Baik melakukan transformasi total sebagai bank digital, atau pengembangan layanan digital tetapi tetap pada bisnisnya sebagai bank konvensional.

"Dengan pandemi ini mengubah kebiasaan nasabah yang harus diakomodir oleh bank. Jadi digital banking adalah suatu keniscayaan. Kita arahnya ke sana,” ujar Direktur Utama PT Bank Mayapada Internasional Tbk (MAYA), Haryono Tjahjarijadi dalam paparan publik usai RUPS, Rabu (21/7/2021).

"Kita arah bisnisnya mendigitalisasi,” ia menambahkan.

Sehubungan dengan itu, Bank Mayapada menyiapkan belanja modal (capital expenditure/capex) sekitar Rp 200 miliar, utamanya untuk IT. IT tersebut termasuk untuk pengembangan layanan digital perbankan yang dimiliki Bank Mayapada.

"Capex itu ada dua. Pertama unutk pengembanan produk baru dan kedua untuk kita punya digital banking. Ini infrastrukturnya dan sistem keamanan butuh biaya yang besar yang tiap tahun kita tingkatkan," kata Haryono.

Ia menuturkan, belanja modal yang disiapkan Bank Mayapada cukup besar di tengah pandemi COVID-19.

"Walaupun masa sulit pandemi ini, belanja modal cukup besar. Hampir Rp 200 miliar. Sekitar Rp 170 - 180 miliar,” pungkas dia.


Kinerja IHSG pada 21-25 November 2022

Pekerja mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di salah satu perusahaan Sekuritas, Jakarta, Rabu (14/11). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bertahan di zona hijau pada penutupan perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melanjutkan koreksi pada 21-25 November 2022. Analis menilai, koreksi IHSG yang terjadi selama sepekan ini masih didominasi sentimen global terutama kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed).

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Sabtu (26/11/2022), IHSG melemah 0,41 persen ke posisi 7.053,15 pada 21-25 November 2022. Pada pekan lalu, IHSG turun terbatas 0,10 persen ke posisi 7.082,18.

Sementara itu, kapitalisasi pasar bursa naik terbatas 0,12 persen menjadi Rp 9.484,63 triliun dari Rp 9.473,06 triliun pada pekan sebelumnya. Rata-rata volume transaksi bursa merosot 1,58 persen menjadi 17,985 miliar saham dari 18,274 miliar saham.

Rata-rata frekuensi transaksi harian bursa susut 13,88 persen menjadi 1.063.305 transaksi dari 1.234.632 transaksi pada pekan sebelumnya. Sementara itu, rata-rata nilai transaksi harian bursa terpangkas 16,25 persen menjadi Rp 10,40 triliun dari Rp 12,41 triliun pada pekan sebelumnya.

Pada Jumat, 25 November 2022, investor asing membukukan aksi jual Rp 1,07 miliar. Selama sepekan, investor asing melakukan aksi beli bersih Rp 1,98 triliun. Sepanjang 2022, investor asing membukukan aksi beli bersih Rp 79,47 triliun.

Mengutip Antara, Analis PT MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana menuturkan, pergerakan IHSG masih didominasi sentimen global selama sepekan. “Ada sinyal perlambatan kenaikan suku bunga the Fed yang nampaknya menjadi katalis positif bagi para pelaku pasar,” ujar Herditya.

Ia menambahkan, di sisi lain, dengan ada kenaikan kasus COVID-19 di China menyusul ada kasus meninggal membuat kekhawatiran ada potensi lockdown di China dan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya