Studi: Anak-Anak Dibesarkan dengan Pola Asuh Ketat Lebih Berpotensi Depresi

Selain pola asuh, tingkat stres juga memengaruhi potensi anak depresi.

oleh Asnida Riani diperbarui 28 Nov 2022, 07:01 WIB
ilustrasi depresi/unsplash

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi yang dilakukan di University of Leuven, Belgia mencatat bahwa anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh ketat dapat mengembangkan depresi di kemudian hari.

Dipresentasikan pada Kongres European College of Neuropsychopharmacology (ECNP) ke-35 di Wina, Austria oleh psikiater dan peneliti utama, Dr Evelien Van Assche, dilaporkan bahwa pengasuhan yang ketat dapat mengubah cara tubuh membaca DNA anak-anak.

"Kami menemukan bahwa pola asuh yang keras, dengan hukuman fisik dan manipulasi psikologis, dapat memperkenalkan serangkaian instruksi tambahan tentang bagaimana gen dibaca untuk jadi terprogram ke dalam DNA," paparnya, dilansir dari Says, Minggu, 27 November 2022.

Ia menyambung, "Kami memiliki beberapa indikasi bahwa perubahan ini sendiri dapat memengaruhi anak mengembangkan depresi. Ini tidak terjadi pada tingkat yang sama jika anak-anak memiliki pendidikan yang mendukung."

Demi melakukan tes, peneliti memilih 21 remaja yang berasal dari rumah tangga dengan "pengasuhan yang baik." Itu mereka bandingkan dengan 23 remaja yang dibesarkan dengan "pengasuhan yang keras."

Sebagai contoh untuk penelitian mereka, dilaporkan bahwa remaja yang berasal dari kategori "pengasuhan yang baik" memiliki orangtua yang mendukung dan memberi otonomi pada anak-anaknya. Di sisi lain, kelompok "pengasuhan yang keras" diduga menunjukkan tanda-tanda perilaku manipulatif, hukuman fisik, dan aturan ketat yang berlebihan.

Semua remaja berusia antara 12 dan 16, dengan usia rata-rata 14 tahun untuk kedua kelompok. Seperti yang ditemukan, mereka yang mengalami pola asuh anak yang keras menunjukkan tanda-tanda depresi awal dan subklinis.


Menggunakan Teknik Ilmiah

Ilustrasi Depresi. Credit: pexels.com/Ivan

Menggunakan teknik ilmiah pemetaan genom, ditemukan bahwa mereka yang dibesarkan oleh "orangtua yang keras" menunjukkan peningkatan tingkat metilasi. Itu merupakan suatu proses biokimia dalam DNA yang terkait dengan depresi.

Para peneliti mengukur berbagai metilasi di lebih dari 450 ribu tempat di DNA setiap remaja, menemukan jumlah yang lebih tinggi pada mereka yang dibesarkan dengan orangtua yang keras. Menurut Dr Van Assche, sementara DNA tetap sama, kelompok kimia tambahan dari metilasi memengaruhi bagaimana instruksi DNA dibaca, sehingga berdampak pada kecenderungan depresi.

"Mereka yang melaporkan pengasuhan yang lebih keras menunjukkan kecenderungan depresi, dan kami percaya bahwa kecenderungan ini telah dimasukkan ke dalam DNA mereka melalui peningkatan variasi dalam metilasi," ia mengungkap.

Ia menyambung, "Kami sekarang melihat apakah kami dapat menutup lingkaran dengan menghubungkannya dengan diagnosis depresi selanjutnya dan mungkin menggunakan variasi metilasi yang meningkat ini sebagai penanda, untuk memberikan peringatan awal tentang siapa yang mungkin berisiko lebih besar terkena depresi sebagai akibat dari pola asuh orangtua mereka."


3 Pola Asuh Anak

Ilustrasi Depresi Credit: freepik.com

Meski penelitian dilakukan sehubungan dengan pola asuh yang ketat, Dr Van Assche menyatakan bahwa segala bentuk stres yang signifikan juga dapat berkontribusi pada anak-anak yang mengalami depresi di kemudian hari.

Mengomentari temuan ini, Profesor Christiaan Vinkers dari Departemen Psikiatri di Pusat Medis Universitas Amsterdam mencatat bahwa pentingnya memahami kejadian masa kanak-kanak yang dapat membawa kerusakan permanen pada orang dewasa di masa depan.

"Ini adalah pekerjaan yang sangat penting untuk memahami mekanisme bagaimana pengalaman buruk selama masa kanak-kanak memiliki konsekuensi seumur hidup bagi kesehatan mental dan kesehatan fisik," tuturnya. "Ada banyak keuntungan jika kita dapat memahami siapa yang berisiko, tapi juga mengapa ada efek yang berbeda dari pengasuhan yang ketat."

Tidak ada buku manual untuk jadi orangtua, ditambah pola asuh tercatat berkembang seiring zaman, maka ilmunya harus terus diperbaharui.

Dokter spesialis anak, dr. Citra Amelinda, Sp.A, M.Kes, IBCLC, menyebut bahwa setidaknya ada tiga pola asuh anak. Pertama, otoriter. "Ini kebanyakan manut pada apa kata orangtua. Apa yang boleh dan tidak boleh (dilakukan dalam mengasuh anak)," katanya dalam acara virtual "Hari Anak Nasional 2022, Tokopedia Gandeng Dokter Anak Bagi Tips Tingkatkan Kualitas Pola Asuh," 22 Juli 2022.

 


Meningkatkan Kualitas Pengasuhan Anak

Ilustrasi Orangtua dan Anak Credit: pexels.com/KetutS

Kedua, neglect. Ini, dr. Citra menjelaskan, merupakan kebalikan dari otoriter, yang mana orangtua mengikuti semua mau anak. Ia berkata, "Ini biasanya diterapkan orangtua yang merasa bersalah pada anak. Misalnya, bekerja seharian, merasa bersalah karena tidak menemani dan memberikan yang terbaik untuk anak."

Terakhir, ini merupakan pola asuh terbaik menurut dr. Citra: responsive parenting. "Karena sudah banyak keluarga kecil yang keluar rumah (tidak tinggal bersama orangtua atau mertua), setiap orangtua sekarang punya cara masing-masing dalam mengasuh anak mereka," ia mengatakan.

"Responsive parenting adalah pola asuh terbaik, karena orangtua responsif terhadap apa yang anak butuhkan, bukan apa yang mereka mau. Dalam prosesnya, anak akan diajak berdiskusi," tuturnya. "Mengasuh tanpa berdiskusi akan membuat anak berkembang tidak sesuai kompetensi mereka."

Selain menerapkan pola asuh responsif, dr. Citra juga berbagi tips meningkatkan kualitas pengasuhan anak. Pertama, terlibat di kegiatan anak. Kemudian, dampingi anak saat ia menghadapi masalah. Terakhir, pastikan asupan anak berimbang.

Infografis peranan penting orang tua dalam pengasuhan anak (parenting) Source: Kementerian Sosial Reublik Indonesia

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya