BTN Catatkan Laba Bersih Rp 2,49 Triliun hingga Oktober 2022

PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) atau Bank BTN mencatatkan laba bersih Rp2,49 triliun pada akhir Oktober 2022

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Nov 2022, 11:30 WIB
Kantor Bank BTN (dok: BTN)

Liputan6.com, Jakarta PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) atau Bank BTN mencatatkan laba bersih Rp2,49 triliun pada akhir Oktober 2022, melesat 44,43 persen dibandingkan Oktober 2021 yang tercatat Rp1,72 triliun.

Dari Laporan Keuangan Bulanan Bank BTN yang dikutip Selasa (29/11/2022), pencapaian tersebut ditopang oleh pertumbuhan pendapatan. Pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) BBTN melesat 29,81 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp12,66 triliun.

Hal ini didukung oleh penurunan beban bunga sebesar 22,14 persen yoy menjadi Rp8,39 triliun, dibandingkan setahun sebelumnya Rp10,78 triliun. Padahal, pada periode yang sama DPK BTN meningkat 1,92 persen yoy menjadi Rp314,65 triliun. Hal ini mencerminkan adanya perbaikan struktur DPK sehingga biaya dana bisa ditekan.

Sementara itu pendapatan bunga naik sebesar 2,54 persen yoy menjadi Rp21,05 triliun. Kenaikan pendapatan bunga ditopang peningkatan kredit dan pembiayaan syariah sebesar 8,04 persen yoy menjadi Rp293,66 triliun.

Secara keseluruhan, bank yang dipimpin oleh Direktur Utama Haru Koesmahargyo ini mencatatkan total aset sebesar Rp391,58 triliun per Oktober 2022 atau meningkat 1,35 persen yoy dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

BTN saat ini sedang memproses Penambahan Modal Dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMHMETD) atau right issue dengan jadwal selesai pada Desember 2022 mendatang. Target dana untuk rights issue sebesar Rp4,13 triliun, termasuk Rp2,48 triliun penyertaan modal negara (PMN).

 


Komentar Analis

Nasabah menunggu di lobby untuk bertransaksi di Kantor Bank BTN Cabang Harmoni, Jakarta, Kamis (17/6/2021). Bank BTN tengah berfokus pada penyaluran dana PEN dalam bentuk subsidi bunga KPR dan UMKM kurang lebih mencapai 1,15 juta debitur dengan nilai sekitar Rp2,49 triliun. (Liputan6.com/HO/BTN)

Analis MNC Sekuritas Tirta Gilang Widi Citradi menilai rights issue BBTN menarik karena didukung fundametal perusahaan yang semakin membaik. Perbaikan yang jelas terlihat pada perbaikan biaya dana.

“BBTN punya kinerja yang solid sebagai salah satu bekal untuk mensukseskan right issue," ujar Tirta dalam riset MNC Sekuritas.

Kombinasi penguatan struktur dana murah atau CASA yang dilakukan oleh BBTN dan alokasi aset dengan imbal hasil yang menarik serta manajemen risiko yang prudent akan menjadi pendorong peningkatan NIM BBTN.

Selain kinerja yang solid serta strategi bisnis yang menitikberatkan pada risk adjusted return yang baik, Tirta juga menilai yang tak kalah penting dari aksi korporasi BBTN adalah dana right issue akan memperkuat permodalan BBTN.

“Setelah right issue dilakukan, maka tier-1 capital BBTN bisa mencapai lebih dari 15 persen dan CAR BBTN bisa mencapai 20,6 persen. Ini akan membawa BBTN dari sisi permodalan bisa setara dengan bank-bank KBMI IV” ujar Tirta.

“Jangan lupa juga suntikan dana segar ini bisa semakin menyehatkan BBTN dari sisi likuiditas. Dengan kenaikan GWM serta suku bunga acuan, maka bank-bank akan cenderung berkompetisi untuk mendapatkan funding dengan cara menaikkan suku bunga deposito. Namun kalau right issue berhasil kan BBTN tidak perlu sampai harus agresif menaikkan suku bunga dan dananya bisa digunakan untuk ekspansi di core bisnis BBTN yakni KPR jadi NIM BBTN bisa semakin naik,” katanya.

Dampak positif setelah right issue nantinya diharapkan membuat kinerja BBTN akan semakin mirip dengan bank-bank KBMI IV. Melihat harga saham bank-bank KBMI IV yang menguat sepanjang tahun ini, Tirta memandang saham BBTN sudah masuk kategori saham undervalued alias salah harga.

Tirta mematok Target Price untuk BBTN di 2.300/saham. Dengan target price tersebut artinya ada potensi upside sebesar 50 persen dari harga penutupan kemarin Rp 1.530/saham.

 


Rekomendasi Beli Saham

Nasabah mengakses layanan mobile banking Bank BTN di Jakarta, Senin (19/7/2021). Bank BTN menambah fitur Cardless Withdrawal yang bisa melakukan transaksi tarik tunai tanpa kartu di ATM, serta QRIS dengan memindai QR Code melalui aplikasi mobile banking BTN. (Liputan6.com)

Sementara itu, Analis Bahana Sekuritas Yusuf Ade Winoto dan Nathania Giovanna memberikan rekomendasi beli untuk saham BBTN dengan target harga 12 bulan pada Rp 1.950. Target harga dari Bahana tersebut setara dengan 0,75x nilai buku (price to book value) atau di bawah 1x nilai buku.

Menurut Yusuf dan Nathania permintaan KPR BTN akan tetap kuat, yang didorong oleh fokus pemerintah dalam penyaluran subsidi perumahan. Ini kemudian akan tetap menjaga tingkat pertumbuhan pendapatan perusahaan.

Pada periode 2016 sampai 2021, subsidi pemerintah ke sektor perumahan terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (compounded annual growth rate/CAGR) sebesar 41,2 persen. Untuk 2022, anggaran subsidi meningkat 13,1 persen menjadi Rp 25,53 triliun, dan untuk 2023 indikatif anggaran subsidi perumahan meningkat 16,8 persen menjadi Rp 29,53 triliun.

"BBTN menjadi penerima manfaat utama dari pertumbuhan anggaran perumahan subsidi karena porsi KPR subsidi mencapai 48 persen dari total KPR BBTN," tulisnya dalam risetnya pekan lalu.

Selain itu, BBTN juga bisa mengamankan porsi terbesar dari KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) karena memiliki hubungan yang kuat dengan pengembang, khususnya pengembang perumahan murah. Faktor lainnya adalah pengalaman panjang di bisnis KPR, proses bisnis yang mapan dan mencapai skala ekonomi yang tinggi serta nasabah yang besar dan setia.

Riset Bahana juga menyatakan, BBTN juga diuntungkan oleh tren yang kuat dari permintaan KPR.  Ini tercermin dari rasio KPR terhadap produk domestik bruto (PDB) meningkat secara bertahap, dari 2,5 persen pada 2011 menjadi 3,5 persen pada 2021. Di industri perbankan KPR juga terus meningkat secara konsisten dengan CAGR 11,6 persen pada periode 2011-2021.  Selain itu, BTN berhasil mendongkrak pangsa pasar di industri KPR, dari 24,6 persen di tahun 2011 menjadi 37,4 persen di tahun 2021.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya