WHO Bakal Ubah Nama Virus Cacar Monyet dari Monkeypox Jadi Mpox

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin 28 November 2022 merekomendasikan agar nama virus cacar monyet (monkeypox) diganti menjadi "mpox".

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Nov 2022, 11:51 WIB
Ilustrasi penyakit cacar monyet atau monkeypox. Credits: pixabay.com by TheDigitalArtist

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin 28 November 2022 merekomendasikan agar nama virus cacar monyet (monkeypox) diganti menjadi "mpox". Rekomendasi tersebut dilakukan untuk menghindari stereotipe dan stigmatisasi yang rasis. 

"Kedua nama itu, baik mpox maupun monkeypox, akan digunakan secara bersamaan selama satu tahun, sementara nama monkeypox nantinya akan dihapus secara bertahap," kata WHO dalam sebuah rilis pers seperti dikutip dari Xinhua, Selasa (29/11/2022). 

Perubahan itu dibuat setelah sejumlah individu dan negara menyampaikan keresahan mereka dalam beberapa pertemuan dan meminta WHO untuk mengusulkan sebuah cara guna mengubah nama itu ke depannya.

Periode transisi selama satu tahun itu berfungsi untuk mengurangi kekhawatiran para pakar terkait kebingungan yang ditimbulkan oleh perubahan nama di tengah merebaknya wabah secara global. Ini juga bertujuan untuk memberikan waktu dalam penyelesaian proses pembaruan Klasifikasi Penyakit Internasional (International Classification of Diseases/ICD) dan membarui publikasi WHO.

Sudah menjadi tanggung jawab WHO untuk menetapkan nama penyakit baru dan yang sudah ada melalui proses konsultatif, yang melibatkan negara-negara anggota WHO.

Konsultasi terkait penamaan cacar monyet telah melibatkan para perwakilan dari otoritas pemerintah di 45 negara berbeda, urai WHO.

 

 


Kasus Cacar Monyet Tembus 81.107

Ilustrasi Monkeypox atau cacar monyet (brgfx/Frepik)

Menurut WHO, hingga Sabtu 26 November, sebanyak 110 negara anggota telah melaporkan 81.107 kasus cacar monyet yang dikonfirmasi oleh laboratorium dan 1.526 kasus dugaan, termasuk 55 kematian.

Mayoritas kasus yang dilaporkan dalam empat pekan terakhir berasal dari kawasan Benua Amerika (92,3 persen) dan Benua Eropa (5,8 persen).

Jumlah kasus baru mingguan yang dilaporkan secara global mengalami penurunan sebesar 46,1 persen pada periode 21-27 November.

 


TRUMP-22 Jadi Salah Satu yang Diajukan ke WHO untuk Nama Baru Cacar Monyet

Ilustrasi virus cacar monyet. Credits: pixabay.com by Alexandra_Koch

Wacana penggantian nama monkeypox atau cacar monyet telah digaungkan oleh WHO sebelumnya. Organisasi Kesehatan Dunia itu pun meminta masukan publik untuk nama baru virus tersebut.

Seringkali nama penyakit dipilih secara tertutup oleh komite teknis, tetapi WHO kali ini memutuskan untuk membuka prosesnya kepada publik.

Puluhan usulan yang diajukan lewat internet dikirim oleh sejumlah pihak, termasuk akademisi, dokter, dan aktivis komunitas gay.

Usulan nama baru untuk cacar monyet sangat beragam, mulai dari nama yang teknis seperti OPOXID-22, yang diajukan oleh dokter Harvard Medical School Jeremy Faust, hingga Poxy McPoxface, yang diajukan oleh Andrew Yi merujuk pada Boaty McBoatface, nama pilihan publik untuk kapal penelitian kutub buatan Inggris.

Mengutip ABC Australia, Minggu (21/8/2022), ada tiga usulan yang dikirim sejauh ini ke WHO. Di antaranya Poxy McPoxface, TRUMP-22 atau Mpox.

Kenapa WHO Minta Pendapat Publik?

Perubahan nama ini adalah tanggapan dari WHO setelah menerima tekanan dan kritikan bahwa monyet bukanlah hewan inang asli dalam wabah ini.

Mereka juga khawatir nama tersebut dapat digunakan dengan cara yang rasis.

Sekelompok ilmuwan terkemuka menulis sebuah makalah pada bulan Juni menyerukan nama yang "netral, non-diskriminatif dan non-stigmatisasi.”

Sampai tahun ini, cacar monyet hanya menyebar di sekelompok negara di Afrika barat dan tengah.

Mengapa Penting Mengganti Nama Cacar Monyet? Klik di sini...

 

 


WHO Ubah Nama Varian COVID-19 Pakai Huruf Yunani

Ilustrasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Credits: pexels.com by Ann H

Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengumumkan sistem penamaan baru untuk varian COVID-19.

Mulai saat ini, WHO akan menggunakan huruf Yunani untuk merujuk pada varian yang pertama kali terdeteksi di negara-negara seperti Inggris, Afrika Selatan, dan India.

Varian Inggris misalnya diberi label sebagai Alfa, Beta Afrika Selatan, dan India sebagai Delta.

WHO mengatakan, ini untuk menyederhanakan diskusi tetapi juga untuk membantu menghilangkan beberapa stigma dari nama-nama tersebut, demikian dikutip dari laman BBC, Selasa (1/6/2021).

Awal bulan ini, pemerintah India mengkritik penamaan varian B.1.617.2 -- yang pertama kali terdeteksi di negara itu Oktober lalu -- sebagai "varian India", meskipun WHO tidak pernah secara resmi melabeli hal itu.

"Tidak ada negara yang harus distigmatisasi untuk mendeteksi dan melaporkan varian," kata pemimpin teknis COVID-19 WHO, Maria Van Kerkhove lewat akun Twitter-nya.

Dia juga menyerukan "pengawasan ketat" varian, dan berbagi data ilmiah untuk membantu menghentikan penyebaran.

Daftar nama lengkap telah dipublikasikan di situs web WHO.

Huruf Yunani ini tidak akan menggantikan nama ilmiah yang ada. Jika lebih dari 24 varian diidentifikasi secara resmi, sistem akan kehabisan huruf Yunani, dan program penamaan baru akan diumumkan, kata Van Kerkhove kepada STAT News dalam sebuah wawancara.

"Kami tidak mengatakan, mengganti B.1.1.7, tetapi benar-benar hanya untuk mencoba membantu beberapa dialog dengan orang kebanyakan," katanya kepada situs web yang berbasis di AS.

"Sehingga dalam wacana publik, kita bisa membahas beberapa varian tersebut dalam bahasa yang lebih mudah digunakan."

Infografis Gejala dan Pencegahan Cacar Monyet (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya