Liputan6.com, Jakarta - Para pelaku koperasi menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, meminta agar Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri/ Kepala Lembaga terkait untuk mencabut pasal-pasal tentang koperasi dari Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK), untuk kemudian dibahas tersendiri dalam RUU Perkoperasian sebagai pengganti UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Menurut mereka, menempatkan koperasi ke dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dimasukkan ke dalam sistem di sektor keuangan dalam RUU PPSK adalah tindakan yang ceroboh, ahistoris atau berlawanan dengan sejarah, dan tidak bertanggung jawab. Sebab bukan hanya sekadar mengalihkan pengawasan koperasi ke OJK, tapi telah mengubah jatidiri koperasi itu sendiri sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (gotong royong) sesuai pasal 33 UUD 1945.
Advertisement
Surat terbuka tersebut disampaikan para pelaku yang tergabung dalam Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) yang ditanda tangani Presidium Forum Koperasi Indonesia (Forkopi) HM Andy Arslan Djunaid, SE dan Ketua Umum Generasi Peduli Koperasi Indonesia Dr Iqbal Alan Abdullah, Selasa (29/11/2022). Pada Rabu (30/11/2022) forum ini juga melakukan RDPU dengan Komisi VI DPR RI membahas permasalahan yang sama.
“Kami meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak membiarkan koperasi dibawa ke individualisme dan kapitalisme, dan tercerabut dari asas, nilai-nilai, prinsip-prinsip dan jati dirinya seperti tercantum dalam UUD 1945, dan meminta agar urusan koperasi seluruhnya diatur dalam RUU Perkoperasian bukan dalam RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK),” bunyi salah satu pokok pikiran dalam surat terbuka itu.
Surat terbuka ini mewakili 2.204 Gerakan Koperasi di Indonesia dan melayani rakyat Indonesia sebanyak 30 juta orang, yang terlibat aktif dalam pergerakan koperasi di Indonesia, yang mengaku prihatin dengan pembahasan RUU PPSK yang berdalih sebagai solusi atas masalah 8-9 koperasi bermasalah dengan jalan yang justru akan mengkerdilkan koperasi itu sendiri.
“Namun penyelesaiannya bukan dengan mencabut ruh konstitusionalnya, tapi membenahi sisi pengawasannya di jalan yang diperuntukkan bagi Koperasi, bukan di OJK,” sambungnya.
Bangun Sistem
Dalam membenahi pengawasan ini, para pelaku koperasi ini mengusulkan perlu dibangun sistem yang khas antara lain dengan melahirkan Lembaga atau Komisi Pengawas Koperasi dan menginisiasi pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi (LPS Koperasi) yang diatur lebih rinci di dalam RUU Perkoperasian, dan berada di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM.
Lembaga atau Komisi Pengawas Koperasi akan berperan sebagai pemegang otoritas pengawasan jasa koperasi sebagaimana OJK dalam perbankan, sedangkan LPS Koperasi sebagai lembaga penjaminsimpanan sebagaimana LPS dalam industri perbankan. Begitu juga RUU Perkoperasian yang akan dibahas di Komisi VI DPR RI bersama pemerintah memuat pencegahan dan penanganan krisis koperasi atau ketentuan seperti UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan versi koperasi.
Lembaga atau Komisi Pengawas Koperasi terdiri dari unsur: a. Pemerintah / Pemerintah Daerah b. Dewan Koperasi dan/atau Asosiasi KSP yang sah. c. Akademisi dan/atau Praktisi bidang Perkoperasian . Lembaga Pengawas Koperasi atau Komisi Pengawas Koperasi ini ada di tingkat Nasional, tingkat Provinsi, dan tingkat Kabupaten/Kota, dimana ketentuan lebih lanjut tentang pembentukan Komisi Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut Iqbal Alan Abdullah, Lembaga atau Komisi Pengawas Koperasi dan LPS Koperasi ini merupakan satu paket dalam usulan untuk memperkuat koperasi yang harus dimasukkan ke dalam RUU Perkoperasian. Ini adalah bentuk dari internalisasi penyelesaian persoalan yang terkait koperasi oleh koperasi itu sendiri di dalam rumah Kementerian Koperasi dan UKM.
“Kita ingin semua ini diatur bukan dalam RUU PPKS sebab RUU PPKS ini adalah lebih kepada rezim perbankan dan sektor keuangan lainnya, bukan koperasi. Ini bukan sekadar suka atau tidak suka dengan OJK tapi ini sangat prinsipil menyangkut tadi apa yang kita sebut asas, prinsip, jadi diri,” ucap Iqbal Alan Abdullah.
Iqbal mengaku tidak sepakat dengan sentralisasi pengawasan di OJK. Pertama, kita tahu OJK itu sudah sangat kelebihan beban, sehingga yang terjadi harapan Presiden Jokowi agar mempermudah perizinan justru tidak terjadi. Apabila dipaksakan ke OJK, pengawasan tidak akan berjalan efektif. Kedua, di banyak negara, pengawasan antara perbankan dengan koperasi itu memang berbeda. Sebagai contoh di Amerika Serikat dan sejumlah negara.
“Jadi kami meminta kepada Bapak Presiden Jokowi untuk dapat mencegah terjadinya penyimpangan memasukkan koperasi ke rezim pengawasan OJK. Karena hal itu salah, dan kita semua akan malu dengan para founding fathers kita yang mewariskan koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat yang sesuai pasal 33 UUD 1945 sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan kepada kita, dan kita tidak bisa mempertahankannya,” sambung Iqbal.
Advertisement