Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan upah minimum atau UMP 2023 kian menuai kecaman. Sejumlah pihak seperti kelompok buruh mengecam perhitungannya belum sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat.
Dosen Hukum Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, penetapan Upah Minimum Provinsi 2023 naik maksimal 10 persen ini memang meninggalkan sejumlah catatan dalam aturannya.
Advertisement
Khususnya terkait penerbitan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023, yang terkesan tumpang tindih dengan aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 soal Pengupahan.
"Secara aturan kan pemerintah mengeluarkan Permenaker 18/2022. Sebenarnya pemerintah itu tidak perlu Permenaker dulu, seharusnya sesuai dengan PP 36 saja, karena itu turunan dari UU Cipta Kerja," ujar Trubus kepada Liputan6.com, Selasa (29/11/2022).
Menurut dia, penerbitan Permenaker 18/2021 terkesan cenderung dipaksakan, karena ada unsur kepentingan politik.
"Jadi permasalahannya itu dari Permenaker 18/2022 itu. Yang ideal harusnya, dasarnya PP 36/2021. Tinggal disesuaikan masing-masing daerah sesuai tingkat inflasi dan daya beli masyarakat, dan perluasan lapangan pekerjaan. Jadi itu saja harusnya," tegasnya.
Trubus menyebut, Permenaker 18/2022 juga tak bisa membaca situasi di lapangan. Terlebih kenaikan BBM pada September 2022 lalu juga masih terasa dampaknya kepada dunia usaha.
"Masalahnya, pemerintah sendiri inkosisten. Dia naikan BBM 30 persen, tapi terkait dengan upah dia tidak mau menyesuaikan," kata Trubus.
UMP 2023 Disebut Belum Menjawab Tuntutan Kebutuhan Rakyat Kecil
Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2023 sudah diketok. Meski belum semua provinsi, namun sejumlah provinsi besar di Indonesia sudah terlihat angka kenaikan terbarunya.
Menanggapi hal itu, Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menilai, kenaikan yang diketok belum cukup untuk menjangkau harga-harga kebutuhan rumah tangga yang semakin tinggi.
Sebab kenaikan UMP 2023 masih berada di dibawah nilai inflasi Januari-Desember 2022 yaitu sebesar 6,5% plus pertumbuhan ekonomi Januari -Desember yang diperkirakan sebesar 5%.
"Kenaikan UMP dan UMK di seluruh Indonesia seharusnya adalah sebesar inflasi dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi atau kab/kota di tahun berjalan, bukan menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahunan atau Year on Year," tulis Said dalam keterangan diterima, Selasa (29/11/2022).
Said menambahkan, jika menggunakan data September 2021 ke September 2022, maka hal itu tidak memotret dampak kenaikan BBM yang mengakibatkan harga barang melambung tinggi, Sebab, kenaikan BBM terjadi pada Oktober 2022.
Said mengambil contoh kenaikan UMP DKI tahun 2023 yang diketok sebesar 5,6%. Menurut dia, angka itu tidak relevan karena ada di dibawah angka inflasi sebesar 6,5%.
"Kenaikan UMP DKI 5,6% tidak akan bisa memenuhi kebutuhan buruh dan rakyat kecil di DKI," tegas Said.
Said meyakini, seharusnya kenaikan UMP DKI tahun 2023 bisa mencapai 10,55%. Hal itu sesuai dengan yang diusulkan Dewan Pengupahan Provinsi DKI unsur serikat buruh.
Advertisement
Hitungan Buruh
Said berhitung praktis, biaya sewa rumah sebesar Rp 900 ribu, transportasi dari rumah ke pabrik (PP) dan pada hari libur dibutuhkan anggaran Rp 900 ribu.
Kemudian makan di Warteg 3 kali sehari dengan anggaran sehari Rp 40 ribu, biaya listrik Rp 400 ribu, biaya pulsa Rp 300 ribu, maka untuk kebutuhan primer satu orang akan menghabiskan Rp 3,7 juta per bulan.
"Jika upah buruh DKI Rp 4,9 juta dikurangi 3,7 juta hanya tersisa Rp 1,2 juta. Apakah cukup membeli pakaian, air minum, iuran warga, dan berbagai kebutuhan yang lain? Jadi dengan kenaikan 5,6%, maka buruh DKI akan tetap miskin," ungkap Said.