Liputan6.com, Beijing - Kota-kota besar China di Beijing dan Shanghai dipenuhi pasukan keamanan pada Selasa 29 November 2022 setelah demonstrasi mendesak kebebasan politik dan diakhirinya lockdown COVID-19 berlangsung secara nasional.
Dilansir Channel News Asia, Rabu (30/11/2022), China menghadapi protes akhir pekan yang tidak terlihat dalam beberapa dekade, karena kemarahan atas lockdown berkepanjangan yang memicu frustrasi hingga mengakar pada sistem politik negara itu secara keseluruhan.
Advertisement
Kebakaran mematikan pekan lalu di Urumqi, ibu kota wilayah Xinjiang, China barat laut, menjadi pemicu gelombang kemarahan, dengan pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan kota di seluruh negeri.
Para demonstran mengatakan, pembatasan COVID-19 harus disalahkan karena menghambat upaya penyelamatan --klaim yang dibantah pemerintah karena menuduh "pasukan dengan motif tersembunyi" menghubungkan kematian akibat kebakaran dengan kontrol ketat COVID-19.
Kemarahan atas lockdown telah meluas menjadi seruan untuk perubahan politik, dengan pengunjuk rasa memegang lembaran kertas kosong untuk melambangkan sensor yang menjadi sasaran negara terpadat di dunia itu.
Pengamanan Makin Ketat
Orang-orang yang menghadiri aksi unjuk rasa akhir pekan mengatakan kepada AFP bahwa mereka telah menerima panggilan telepon dari petugas penegak hukum yang meminta informasi tentang pergerakan mereka.
Di Shanghai, dekat lokasi di mana protes akhir pekan menampilkan seruan berani untuk pengunduran diri Presiden Xi Jinping, staf bar mengatakan kepada AFP bahwa mereka telah diperintahkan untuk tutup pada pukul 22:00 untuk "pengendalian penyakit".
Sekelompok petugas pun dikerahkan ke pintu keluar metro di dekat lokasi protes.
Advertisement
Polisi Menangkap Demonstran
Menurut pengamatan media, petugas menahan empat orang, kemudian membebaskan satu orang, dengan seorang reporter menghitung 12 mobil polisi dalam jarak 100m di sepanjang jalan Wulumuqi di Shanghai, yang menjadi titik fokus unjuk rasa pada hari Minggu.
Terlepas dari pengerahan polisi yang luar biasa, rasa frustrasi terhadap aturan nol-COVID tetap terasa.
"Kebijakan (nol-COVID) sekarang? Mereka terlalu ketat. Mereka membunuh lebih banyak orang daripada COVID," kata seorang pejalan kaki berusia 17 tahun yang tidak mau disebutkan namanya kepada AFP, mengatakan dia dikelilingi oleh polisi saat melewati kawasan tersebut.
Unjuk Rasa Berlanjut
Di tempat lain, aksi unjuk rasa terus berlanjut.
Di Hong Kong, tempat protes demokrasi massal meletus pada 2019, puluhan orang berkumpul di Universitas China untuk membela para korban kebakaran Urumqi.
"Jangan berpaling. Jangan lupa," teriak pengunjuk rasa.
Di Hangzhou, lebih dari 170 km barat daya Shanghai, terjadi pengamanan ketat dan protes sporadis di pusat kota, dengan seorang peserta mengatakan kepada AFP bahwa 10 orang ditahan.
Advertisement