Liputan6.com, Abu Dhabi - Seorang pejabat top Qatar yang terlibat penyelenggaraan Piala Dunia 2022 menyebutkan jumlah kematian pekerja dalam membangun infrastruktur untuk turnamen akbar itu sekitar 400 dan 500 korban jiwa.
Komentar ini disampaikan oleh Hassan al-Thawadi, sekretaris jenderal Komite Tertinggi Qatar.
Advertisement
Pernyataan itu muncul begitu saja selama wawancara dengan jurnalis Inggris Piers Morgan, dikutip daari laman AP, Rabu (30/11/2022).
Pernyataan ini lantas menghidupkan kembali kritik dari kelompok hak asasi manusia atas kerugian menjadi tuan rumah Piala Dunia pertama di Timur Tengah bagi buruh migran yang membangun stadion, jalur metro, dan infrastruktur baru senilai lebih dari US$ 200 miliar.
Dalam wawancara yang sebagian diposting Morgan secara online, jurnalis Inggris itu bertanya kepada al-Thawadi: “Menurut Anda, berapa jumlah total yang sebenarnya terkait pekerja migran yang meninggal karena pekerjaan untuk Piala Dunia secara total?”
“Perkiraannya sekitar 400, antara 400 dan 500,” jawab al-Thawadi.
“Saya tidak punya angka pastinya. Itu adalah sesuatu yang telah didiskusikan.”
Namun angka itu belum pernah didiskusikan secara terbuka oleh pejabat Qatar sebelumnya. Laporan dari Komite penyelenggara sejak 2014 hingga akhir 2021 hanya mencakup jumlah kematian pekerja yang terlibat dalam pembangunan dan perbaikan stadion yang sekarang menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Angka-angka yang dirilis tersebut menyatakan bahwa jumlah kematiannya adalah 40 jiwa.
Dalam pernyataan selanjutnya, Komite Tertinggi menyebut bahwa pengakuan al-Thawadi mengacu pada "statistik nasional yang mencakup periode 2014-2020 untuk semua kematian terkait para pekerjaan (414) secara nasional di Qatar."
Sejak FIFA memberikan turnamen tersebut kepada Qatar pada tahun 2010, negara tersebut telah mengambil beberapa langkah untuk merombak praktik ketenagakerjaan.
Itu termasuk menghilangkan apa yang disebut sistem ketenagakerjaan kafala -- aturan mengikat pekerja dengan majikan.
“Satu kematian itu terlalu banyak,” tambah al-Thawadi dalam wawancara.
Aktivis telah meminta Doha untuk berbuat lebih banyak, terutama dalam hal memastikan pekerja menerima gaji mereka tepat waktu dan dilindungi dari majikan yang kejam.
Piala Dunia Qatar 2022 Jadi yang Termahal Sepanjang Sejarah
Keputusan FIFA pada 2010 dianggap mengejutkan dan kontroversial setelah memberikan hak tuan rumah Piala Dunia 2022 kepada Qatar. Setelah 12 tahun berlalu, turnamen sepak bola kasta tertinggi itu segera dimulai pada 20 November hingga 18 Desember 2022.
Untuk menggelar Piala Dunia 2022, Qatar telah menginvestasikan uang yang banyak. Bahkan menjadikannya sebagai tuan rumah Piala Dunia dengan biaya termahal sepanjang sejarah, sejak pertama kali digelar pada 1930.
Meski Negara Teluk itu tidak mengeluarkan angka pasti, biayanya bahkan diperkirakan melebihi jumlah yang dikeluarkan dari gabungan 21 penyelenggaraan Piala Dunia sebelumnya. Menurut berbagai ahli dan laporan, biayanya melebihi 200 miliar dolar atau 199 miliar euro, bahkan bisa lebih tinggi lagi.
Sebagai perbandingan, Piala Dunia termahal sebelumnya, yaitu turnamen 2014 di Brasil dan edisi 2018 di Rusia, keduanya menelan biaya kurang dari 15 miliar dolar.
Dan Plumley, dosen bidang keuangan olahraga di Universitas Sheffield Hallam mengatakan, ketika Qatar terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2010, perkiraan awal menyebutkan potensi biaya sebesar 65 miliar dolar. Namun, "beberapa perkiraan baru-baru ini mengatakan bahwa itu berpotensi mencapai 200 miliar dolar. Ini akan menjadi yang terbesar dalam hal biaya yang pernah tercatat hingga saat ini," katanya kepada DW, dikutip Jumat (18/11/2022).
"Meskipun kita belum tahu seberapa tepatnya.
Advertisement
Visi Nasional Qatar 2030
Konsultan keuangan olahraga AS, Front Office Sports memperkirakan biaya sebesar 220 miliar dolar, sementara Hassan Al Thawadi, kepala badan Qatar yang ditugaskan untuk menyelenggarakan turnamen tersebut, mengatakan bahwa biaya infrastruktur sejak negara tersebut menang sebagai tuan rumah akan melebihi 200 miliar dolar.
Ketidakpastian jumlah biaya ini muncul karena sebagian besar dari miliaran yang telah dihabiskan pemerintah Qatar sebelum turnamen adalah untuk infrastruktur nonsepak bola, seperti sistem metro baru, bandara internasional, jalan baru, sekitar 100 hotel baru, dan fasilitas rekreasi.
Sebagian besar investasi ini merupakan bagian dari proyek investasi publik Negara Teluk yang lebih luas, yang dikenal sebagai Visi Nasional Qatar 2030.
"Piala Dunia menjadi katalis bagi pemerintah Qatar yang ingin mengatasi masalah infrastruktur negara," kata Kieran Maguire, spesialis keuangan sepak bola di Universitas Liverpool, kepada DW.
"Ini memberi mereka titik fokus. Dibandingkan dengan Piala Dunia lainnya, ini jauh lebih mahal," imbuhnya
Ini menjadi semacam "taruhan kekuatan halus" sangat besar bagi Qatar yang sebenarnya akan berakhir dengan kerugian dalam hal komersial, menurut Plumley. Tapi ini sesuatu yang tidak terlalu menjadi perhatian Doha karena mereka memiliki kekayaan energi sangat besar.
Keuntungan utama yang dicari Qatar, lanjutnya, adalah nonkomersial. "Hubungan internasional adalah motivasi utama Qatar sebagai tuan rumah turnamen dan ini juga tentang kekuatan halus terkait strategi pertahanan dan keamanan. Uang jelas bukan masalah bagi Qatar. Negara ini jelas mampu menjadi tuan rumah Piala Dunia dan mereka bersedia menanggung kerugian. Dalam banyak hal, Piala Dunia 2022 adalah sebuah anomali keuangan."
Sebuah Warisan Gelap
Sekalipun merupakan sebuah anomali keuangan, Qatar 2022 masih harus bergulat dengan pertanyaan tentang "warisan" apa yang ingin mereka tinggalkan. Bahwa turnamen ini harus meninggalkan jejak yang berarti bagi masyarakat luas di negara yang membenarkan pemborosan keuangan hanya dalam empat minggu sepak bola.
Hal ini menjadi perjuangan besar bagi Piala Dunia kebanyakan, tetapi dalam kasus Qatar, ada keraguan serius.
Salah satu masalah yang paling jelas adalah stadion. Dari delapan tempat, tujuh telah dibangun dari nol untuk Qatar 2022. Pemerintah mengatakan biaya pembangunannya mencapai 6,5 miliar dolar. Setelah Piala Dunia selesai, negara berpenduduk hanya 2,8 juta orang itu tampaknya tidak akan membutuhkan begitu banyak stadion-stadion besar.
Fenomena yang dikenal dengan nama "gajah putih" kerap menjadi masalah bagi tuan rumah Piala Dunia, dan Qatar bermaksud untuk memutus siklus itu. Disebutkan, tiga stadion nantinya akan terus dipakai untuk lokasi pertandingan, sementara lima lainnya akan dibongkar, diubah untuk tujuan alternatif, atau kapasitasnya dikurangi secara signifikan.
Kieran Maguire percaya Qatar tetap akan menggunakan infrastruktur baru untuk mengajukan penawaran menjadi tuan rumah final Eropa di masa depan, seperti di Liga Europa atau Liga Champions.
Advertisement