Liputan6.com, Jakarta - Ungkapan bahwa ibu bahagia menciptakan anak yang sehat dan hebat bukan isapan jempol semata. Sebab, banyak masalah kesehatan mengintai jika ibu tak bahagia selama masa kehamilan.
dr Ardiansjah Dara Sjahruddin SpOG, mengatakan, meski kebanyakan terjadi di trimester pertama, kondisi psikis yang naik turun juga bisa berlanjut hingga trimester kedua, bahkan trimester ketiga.
Advertisement
Menurut Dara, hal paling mengganggu di trimester kedua biasanya berkaitan dengan perubahan bentuk fisik. Sementara di trimester ketiga, stres muncul lantaran membayangkan proses persalinan yang akan dilakukan.
Walau hormon berperan besar, lanjut Dara, kesedihan pada ibu hamil tidak boleh dibiarkan berlaru-larut.
"Dampak secara tidak langsung itu ada. Contohnya, ibu yang bersedih berkepanjangan berpotensi mengalami persalinan prematur. Bisa juga anaknya kecil. Kita istilahkan bayi berat lahir rendah," kata Dara.
Penjelasan ini disampaikannya saat menghadiri HUT 'Teman Bumil' yang kelima pada Selasa, 29 November 2022. Acara ini didukung Folamil dan Herba ASIMOR.
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa ketika ibu hamil banyak pikiran, membuat mereka jadi malas makan atau makan tak teratur. Akibatnya, janin kekurangan nutrisi dan berisiko BBLR (bayi berat lahir rendah).
Bahkan, ada yang saking stresnya, sampai-sampai tidak menjaga kebersihan diri yang berisiko tubuh terpapar banyak materi.
"Bakteri pun bisa masuk dari vagina ke dalam rahim, lalu menginfeksi selaput ketuban yang memperbesar potensi mengalami ketuban pecah dini dan persalinan prematur," kata Dara.
Psikis Berubah Drastis Selama Kehamilan
Selama masa kehamilan, banyak perubahan yang terjadi pada wanita. Mulai dari fisik hingga psikis, serta yang tidak tampak seperti perubahan hormonal.
Pada trimester pertama, hormon yang meningkat adalah hormon estrogen dan progesteron. Ditambah lagi, ada pula hormon kehamilan yang muncul, yaitu hormon beta chorionic gonadotropin (beta hCG), yang kerap mengakibatkan mual dan muntah.
"Makanya enggak heran trimester pertama sekitar 75 hingga 80 persen ibu hamil pasti mual. Nah, yang 20 persen enggak mual atau istilahnya hamil kebo," ujar Dara.
Ketiga hormon tersebut sangat berpengaruh terhadap perubahan psikis ibu hamil, sehingga jadi lebih sedih, menangis, dan gampang marah-marah.
Ini selaras dengan survei yang dilakukan oleh Teman Bumil terhadap 1.504 ibu hamil, 64,6 persen mengaku lebih mellow dan sering sedih, sementara 38,4 persen mengaku jadi lebih stres selama hamil.
Selain masalah hormonal, ada beberapa faktor eksternal yang menjadi pemicu ibu hamil tidak bahagia atau stres.
Saat ditanyakan oleh Teman Bumil, kondisi finansial yang belum stabil (44,3 persen) berada di urutan pertama.
Kemudian, disusul dengan masalah kehamilan yang cukup mengganggu (35,8 persen), belum atau sulit menyiapkan biaya persalinan (23,9 persen), masih harus bekerja atau mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga sendirian (21,5 persen), dan menjalani kehamilan sambil mengurus anak (20,7 persen).
Advertisement
Ibu pun Masih Berisiko Baby Blues
Setelah melahirkan pun, kata Dara, kondisi psikis ibu tidak boleh diabaikan. Jika selama hamil hormon ibu mendadak meningkat, seusai bersalin hormon mendadak menurun, yang membuat perasaan jadi tidak menentu.
"Kondisi ini kita kenal dengan baby blues," katanya.
Dari 1.259 partisipan survei Teman Bumil yang memiliki anak berumur nol hingga 5 tahun, sebanyak 44,3 persen mengatakan mereka mengalami baby blues.
Dara, menjelaskan, baby blues bisa terjadi dua hingga tiga hari setelah melahirkan lalu berlanjut hingga kurang lebih dua minggu. Normalnya ini akan hilang.
"Namun bila diabaikan, dapat berlanjut menjadi depresi postpartum. Ini cukup berbahaya karena ibu dapat melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya sendiri maupun si Kecil," ujarnya.
Butuh Hamil Butuh DUkungan
Berdasarkan survei yang dihimpun Teman Bumil, sebesar 92,8 persen ibu hamil butuh dukungan suami dan orang terdekat agar bahagia selama menjalani kandungannya.
Sementara kelompok ibu yang memiliki anak berumur nol hingga 5 tahun butuh curhat ke suami atau orang terdekat (24,7 persen) dan minta tolong menjaga anak mereka sebentar (31,4 persen) ketika kewalahan dan stres.
Dan, sebanyak 98,1 persen bahkan merasa perlu me time. Itu tandanya, sejak kehamilan hingga merawat anak, ibu butuh support system yang baik.
Advertisement