Liputan6.com, Aceh - Lembaga antirasuah Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyoroti alokasi anggaran sebesar Rp13 miliar pada Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang menurut lembaga itu layak untuk diaudit. Hal ini agar publik tahu apakah peruntukkan duit tersebut benar-benar untuk korban konflik atau tidak.
Dalam rilisnya, Koordinator MaTA, Alfian, menjelaskan bahwa anggaran tersebut memiliki nomenklatur Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Korban Konflik Provinsi Aceh I dan II. Anggaran ini dialokasikan oleh Pemerintah Aceh pada 2022.
Advertisement
"Berdasarkan penelusuran kami, Pemerintah Aceh pada tahun 2022 di APBA murni mengalokasikan anggaran sebesar Rp13 miliar dalam rangka merespons gelombang protes relawannya kepada Nova Iriansyah selaku Gubernur saat itu," jelas Alfian dalam keterangan resmi yang diterima Liputan6.com, Rabu sore (30/11/2022).
Menurut Alfian, Kepala BRA saat itu, Azhari Cage, menyatakan kepada publik bahwa dirinya tidak memegang data penerima untuk bantuan tersebut. Pada waktu yang bersamaan, Azhari juga tidak mau mengambil tangung jawab karena pengelolaan anggaran ini berada di bawah Deputi I BRA, kata dia lagi.
"Bagi MaTA, penyampaian tersebut adalah serius dan perlu ada perhatian para semua pihak, terutama bagi penyidik dan BPKP Aceh untuk melakukan penyelidikan dan audit investigasi," tegasnya.
Berdasarkan penelusuran pada situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), MaTA menemukan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan korban Konflik Provinsi Aceh I memiliki pagu anggaran sebesar Rp1.000.000.000 dengan nilai kontrak Rp950.600.000 yang dimenangkan oleh CV TAP, Pidie.
Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Korban Konflik Provinsi Aceh II memiliki pagu anggaran sebesar Rp12.550.000.000 dengan nilai kontrak sebesar Rp11.840.585.760 yang dimenangkan oleh CV DDP, Lhokseumawe.
"MaTA sangat menaruh harapan, BRA perlu segera membangun sistem transparansi dan akuntabilitas yang lurus dan selurus penggaris karena mareka mengelola dana publik dan bukan anggaran warisan keluarga, maka siapa pun berhak mengetahui!" tegas Alfian.
Dia juga menggarisbawahi bahwa uang sebanyak Rp13 miliar bukanlah jumlah yang kecil. Karena itu, apabila dikelola dengan cara yang salah maka akan berdampak buruk dan meluas, terutama bagi keberlangsungan hidup para korban konflik.
"Kalau salah dikelola maka kejahatan luar biasa telah terjadi dan publik sangat patut untuk meminta penyidik dan BPKP Aceh untuk melakukan langkah-langkah yang patut sehingga korban konflik tidak dijadikan sebagai objek para pihak yang tidak bertangung jawab," tegas Alfian.
Eks Ketua BRA, Azhari Cage, yang dihubungi via WhatsApp belum menjawab tentang hal ini. Ia dihubungi melalui nomor telepon seluler yang selama ini biasa digunakan olehnya.
Badan Reintegrasi Aceh atau BRA sendiri merupakan lembaga yang lahir setelah penandatanganan nota kesepahaman RI-GAM tujuh belas tahun yang lalu. Lembaga ini bertugas menjalankan amanah program reintegrasi terutama pemberdayaan ekonomi untuk mantan kombatan GAM, korban konflik, serta mantan tapol/napol sesuai Qanun Nomor 6 tahun 2015 tentang BRA.