Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan cukai rokok acap kali dibarengi dengan narasi yang menyebut bahwa petani dan buruh tembakau akan terdampak buruk.
Namun, menurut Project Lead Tobacco Control Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI) Iman Zein, hal ini berbanding terbalik dengan temuan lapangan.
Advertisement
“Di lapangan, para petani mengeluhkan tentang tata niaga yang belum baik. Mereka tidak memiliki kemerdekaan menentukan harga. Belum lagi faktor cuaca yang kadang membuat petani gagal panen,” kata Iman dalam keterangan pers belum lama ini.
“Jadi, kerugian mereka tidak ada hubungannya dengan cukai. Malah jika dialokasikan dengan tepat, Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT) justru berdampak baik untuk petani,” tambahnya.
Hal ini dikonfirmasi Sukiman dan Istanto yang dulunya bekerja sebagai petani tembakau. Kini keduanya memilih menanam secara multikultur.
“Harga rokok naik terus, tapi harga daun tembakaunya segitu saja. Ini membingungkan para petani. Kami juga ingin sejahtera. Tapi realitanya, kesejahteraan petani dan industri terasa sekali kesenjangannya,” tutur Sukiman dalam keterangan yang sama.
Istanto juga menerangkan tentang kesejahteraan petani yang meningkat setelah melakukan diversifikasi pertanian.
“Dulu sempat ada kemarau panjang. Banyak petani tembakau merugi karena alami gagal panen, bahkan sampai ada yang menjual tanah pertaniannya.”
Keresahan ini berakhir ketika kami sudah beralih tanam. Di luar dugaan, tanaman seperti buncis, cabe yang ditanam penduduk lokal sudah bisa ekspor. Proses alih tanam ini dibantu dari DBHCT setelah kita bersurat ke presiden,” jelas Istanto.
Harusnya Bikin Petani Bahagia
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Komnas Pengendalian Tembakau Prof Hasbullah Thabrany.
Menurutnya, kenaikan cukai rokok sepatutnya menjadi kabar baik bagi petani. Seharusnya, kenaikan harga rokok yang lebih mahal membuat petani tembakau mendapatkan lebih banyak untung.
“Seharusnya petani dapat duit lebih banyak dong. Kalau harga rokok lebih mahal, petani tembakau bisa lebih banyak dong dapat duitnya,” ujar Hasbullah kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Jumat (4/11/2022).
Dasar pemikiran Hasbullah ini berkaca pada petani lain misalnya petani cabai, bawang, dan hasil bumi lainnya. Petani-petani ini akan cenderung senang ketika musim panen bertepatan dengan harga jual sayur yang sedang tinggi. Namun, hal itu tidak berlaku bagi petani tembakau kalau ada kenaikan harga rokok.
“Kebanyakannya diplintir ini informasi, ‘digoreng’, ‘nanti harga rokok mahal orang enggak beli rokok lho, tembakau enggak laku loh’ ya yang begitu-begitu lah. Justru seharusnya petani bahagia dan mendukung kenaikan cukai rokok.”
Menurutnya, hal yang terjadi pada petani tembakau di Indonesia bukanlah kesalahpahaman melainkan sengaja dibuat salah paham.
“Bukan kesalahpahaman, ada yang membuat para petani tembakau salah paham untuk kepentingan para cukong. Bisa jadi tengkulaknya, bisa jadi industri rokoknya.”
Advertisement
Pro Kontra Kenaikan Cukai Rokok
Pro-kontra kenaikan cukai selalu terjadi setiap tahun. Kesejahteraan petani dan pekerja industri tembakau selalu dibenturkan dalam perdebatan cukai rokok.
Chief Strategist CISDI Yurdhina Meilissa juga turut mempertanyakan kebenaran narasi tersebut. Menurutnya, hampir setiap tahun Kementerian Keuangan konsisten menaikkan cukai tembakau, tapi produksi rokok tidak mengalami penurunan, malah cenderung meningkat.
“Tahun lalu, produksi rokok di Indonesia meningkat sampai 7,27 persen. Tahun 2020, Indonesia memproduksi 298,4 miliar batang, tapi tahun 2021 produksi rokok naik hingga 320,1 miliar batang. Padahal, di tahun itu cukai rokok naik rata-rata 12,5 persen. Jadi mana buktinya industri akan merugi jika cukai rokok dinaikan?” tutur Yurdhina.
Di Balik Satu Batang
Setuju dengan Yurdhina, Founder and CEO CISDI, Diah Satyani Saminarsih juga berharap agar narasi terkait buruh dan petani tembakau tidak hanya jadi slogan untuk membendung kenaikan cukai tembakau.
“Berdasarkan hasil kajian CISDI tahun 2021, kenaikan cukai rokok hingga 45 persen, tetap dapat berdampak nett positif pada kondisi perekenomian Indonesia. Baik itu meningkatnya pendapatan negara maupun bertambahnya lapangan pekerjaan,” katanya.
“Tujuan melandaikan prevalensi perokok juga akan tercapai. Jadi, seharusnya tidak perlu ada keraguan lagi dalam menaikkan cukai tembakau,” tutur Diah.
CISDI pun meluncurkan film dokumenter “Di Balik Satu Batang” yang menunjukkan potret realita buruh dan petani tembakau dalam ekosistem bisnis rokok.
Diah menyatakan bahwa film dokumenter ini membuka mata untuk melihat sisi lain dari para pekerja di sektor pertembakauan. Film ini dapat ditonton di kanal Youtube CISDI.
“Ternyata di balik satu batang rokok terdapat realita kehidupan petani tembakau yang sesungguhnya. Masih banyak PR, terutama dalam kebijakan pengendalian tembakau, yang harus diselesaikan. Keterlibatan multisektor sangat diharapkan agar tidak ada lagi kesalahan dalam pengambilan kebijakan,” tutup Diah.
Advertisement