Liputan6.com, Jakarta Pada awal November 2022, ditemukan satu kasus polio di Kabupaten Pidie, Aceh. Menyusul kasus tersebut, ditemukan lagi tiga anak yang fesesnya positif mengandung virus polio dari hasil pemeriksaan laboratorium.
Ketiganya tidak mengalami gejala lumpuh layu. Sehingga tidak termasuk dalam kriteria kasus polio positif bila merujuk pada standar Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
Advertisement
Lalu, bagaimanakah nasib lanjutan virus polio yang ada dalam feses seperti yang terjadi pada tiga anak tersebut? Apakah ada kemungkinan fesesnya bisa menularkan pada anak lainnya?
Anggota Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr dr Raihan, SpA(K) mengungkapkan bahwa ada beberapa cara yang bisa dilakukan jika dihadapkan pada feses yang mengandung virus polio. Cara ini masih berkaitan dengan Perilaku Bersih dan Hidup Sehat (PHBS).
"Satu, dia harus buang air besar di jamban. Tidak boleh sembarangan. Kedua, virusnya bisa mati dengan cara sederhana saja, menggunakan cairan pembersih," ujar Raihan dalam media group interview bersama IDAI, Jumat (2/12/2022).
"Jadi disirami saja (di area jamban), itu bisa yang penting dia ada septic tank. Sehingga dia tidak mencemari lingkungan karena dia terlokalisir," tambahnya.
Terlebih, Raihan menjelaskan, virus polio dalam feses bisa mati dengan sendirinya dalam waktu 100 hari. Sehingga lingkungan akan tetap aman jika feses tidak mengalir ke sungai. Air yang ada di sungai pun bisa dibersihkan lewat proses pemanasan saat memasak.
"Dia (virus polio) di dalam feses itu ada waktunya. 100 hari. Jadi kalau dia tidak ke aliran sungai, maka dalam tiga bulan dia bisa mati sendiri," kata Raihan.
Bisa Dihadang dengan Imunisasi
Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropik IDAI, Dr dr Anggraini Alam, SpA(K). Ia menjelaskan, selain PHBS, salah satu upaya paling efektif untuk menghadang polio adalah dengan melakukan imunisasi.
"Tetap itu (PHBS) tidak tergantikan dengan imunisasi. Jangan 'Oh, airnya sudah bersih kok, MCK-nya ada, memasaknya dengan mendidihkan. Tapi saya enggak divaksin'. Tetap saja, berisiko untuk terinfeksi," kata Anggraini.
Seperti diketahui, kasus polio di Aceh bisa muncul lantaran cakupan imunisasi yang rendah di sana. Anggraini menjelaskan, banyak orang tua, masyarakat, maupun pemerintah yang kurang aware terhadap bakteri atau virus mikroorganisme yang masih ada di lingkungan.
"Saat daya tahan tubuh kita utamanya anak tidak terus tinggi, tidak mencapai proteksi yang baik, tidak heran kalau mereka akan terinfeksi. Dan cakupan imunisasi di Indonesia memang semua turun," ujar Anggraini.
"Sudah ada Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN). Tapi tetap masih ada potensi," tambahnya.
Advertisement
Kondisi Sebelum Muncul Kasus Polio di Aceh
Sebagai dokter yang bertugas di Aceh, Raihan mengungkapkan bahwa ada beberapa kondisi yang terjadi di Aceh sebelum muncul kasus polio baru. Salah satunya orangtua yang tidak mau membawa anaknya untuk imunisasi.
"Dilakukan survei oleh Dinas Kesehatan kabupaten Pidie, kalau untuk (imunisasi) oral, mereka merasa itu tidak perlu. Jadi lumayan, sampai hampir 40 persen orangtua merasa tidak perlu," kata Raihan.
"Mungkin karena pemahaman terhadap penyakit yang akan diderita oleh anaknya tidak begitu baik. Mereka khawatir kalau anaknya demam, rewel terus, sakit-sakitan," tambahnya.
Selanjutnya, ada pula yang belum paham terkait proses pemberian imunisasi tetes. Raihan menjelaskan, ada yang ketakutan disuntik saat hendak diberikan imunisasi polio tetes.
"Masih ada yang kurang paham. Sampai polio tetes saja, mereka takut disuntik. Padahal imunisasi polio ini diteteskan. Itu masih ada," ujar Raihan.
Ketakutan Orangtua pada Imunisasi Suntik
Lebih lanjut Raihan mengungkapkan bahwa dalam hal imunisasi suntik, banyak orangtua yang takut pada efek samping setelahnya. Serta, masih pula ada anggapan tidak perlu.
"Untuk polio suntik, tetap alasan pertama dan kedua itu karena takut anaknya sakit setelah diimunisasi dan menganggap tidak perlu," kata Raihan.
Raihan menjelaskan, baru pada saat kasus polio muncul di Pidie, pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akhirnya melakukan penelusuran. Saat itu, dari 26 rumah yang dikunjungi, hanya 8 anak yang sudah diimunisasi polio tetes. Sedangkan tidak ada satupun yang sudah diimunisasi suntik polio.
Belum lagi pada ketakutan akibat testimoni dari masyarakat yang sudah pernah melakukan imunisasi. Dari sanalah, menurut Raihan, muncul ketakutan yang kuat di Aceh terkait imunisasi.
Advertisement