Cerita Akhir Pekan: Memasyarakatkan Kembali Permainan Tradisional

Digitalisasi membuat permainan tradisional kalah populer dibanding gadget sebagai sarana anak-anak bermain. Padahal anak membutuhkan media bermain yang lebih eksploratif untuk tumbuh kembangnya.

oleh Dyah Ayu Pamela diperbarui 11 Des 2022, 13:20 WIB
Ilustrasi anak bermain. (dok. Unsplash.com/Phil Hearing)

Liputan6.com, Jakarta - Digitalisasi membuat permainan tradisional kalah populer dibanding gadget sebagai sarana anak-anak bermain. Hampir jarang kita melihat anak-anak era modern memainkan lagi petak umpet, maupun berkeliaran di lapangan sekolah dan taman komplek dekat rumah sedang bermain gundu.

Berbeda dengan masa anak-anak generasi orangtua sebelumnya, tawa riang, berteriak dan bersorak saat berinteraksi dengan teman sebaya adalah pemandangan yang umum ditemukan di keseharian. Anak-anak di masa sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di layar gadget.

Sementara dunia anak-anak yang merupakan dunia bermain sangat memerlukan dukungan dari orang di sekitarnya untuk memiliki lebih banyak waktu mengeksplorasi gerak tubuh dan kemampuan konitifnya di masa tumbuh kembang. Hal yang tak didapat anak ketika memainkan gadgetnya. 

Apalagi untuk balita yang kebutuhan geraknya sangat tinggi. Psikolog Anak dari Klinik PION Clinician, Astrid WEN. M. Psi, mengungkapkan anak-anak sejak usia balita memiliki tujuan terhadap perkembangan sosial dan emosi yang akan berpengaruh terhadap kemampuan untuk membangun kepercayaan diri, otonomi dan inisiatif. 

"Di usia balita sensor motorik sedang berkembang tinggi, maka ada kebutuhan eksplorasi atau gerak. Sementara di kota besar lapangan makin minin kadang-kadang kebutuhan gerak kurang terfasilitasi, lalu ada godaan gadget," papar Astrid saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 2 Desember 2022.

Sepuluh tahun yang lalu, gagdet disebut sebagai smartphone yang di dalamnya terdapat permainan edukasi. Para orangtua pun menyikapinya dengan positif, untuk membantu anak agar duduk diam dan tidak rewel lagi. "Kalau gadget bukan tidak boleh, tapi sesuaikan porsinya. Penggunaan gadget ada panduannya dari WHO berapa jam yang disarankan. Lepas itu harus dijadwalkan kegiatan lainnya," ungkap Astrid.

Sementara anak perlu waktu untuk bermain di luar atau berinteraksi dengan teman sebayanya. Dengan bermain, anak mengembangkan kemampuan mengontrol, fungsi eksekutif termasuk kemampuan memprioitaskan. 

Lebih jauh Astrid mengatakan permainan tradisional mampu memberikan anak kegiatan untuk bergerak dan hal itu baik sekali. Ia pun mengingatkan orangtua saat memperkenalkan permainan tradisional harus tetap ada pendampingan. "Titik penting bukan hanya di permainannya tapi juga monitoringnya, bagaimana permainan tetap berjalan sportif," tambahnya lagi.


Anak Butuh Interaksi Berbalas

Ilustrasi gambar anak bermain lompat tali (dok Monstera/pexels.com)

Lebih jauh Astrid mengatakan, dalam permainan tradisional anak-anak akan mendapatkan banyak manfaat seperti congklak yang sekaligus melatih kemampuan berhitung. Permainan gundu dan benteng yang membuat anak-anak bisa berinteraksi dan mengeksplorasi dirinya. 

"Tantangannya anak-anak tetap harus didampingi agar kalau ada konflik atau kecurangan orangtua bisa mengawasi dan ini jadi ajang perkembangan karakter. Jadi selain bergerak anak belajar untuk memiliki empati dan menyelesaikan konflik pertemanan yang ini tidak didapat dari gadget," sebutnya lagi.

Anak-anak sebenarnya meski diberikan waktu bermain, tetap harus ditemani agar mendapatkan interaksi berbalas. Terkadang bukan cuma tentang gilir menggilir bola saja, tapi ikut memunculkan kemampuan imajinatif.

Astrid pun mengingatkan saat bermain anak tetap membutuhkan teman agar mendapatkan interaksi berbalas, sehinga beda sekali ketika bermain gadget. "kalau orangtua berpikir teman bermain adalah kakak atau adik, sebenarnya orangtua juga bisa jadi teman yang merupakan sumber aman dan penghargaan bagi anak," tukasnya.

Saat orangtua bermain dengan anak, maka ia sedang mengembangkan relasi aman dengan cara bermain. Orangtua disarankan untuk memberikan waktu sekiranya setengah jam per hari bersama anak. Mengacu pada pendapat  Harvard pada 2018, bahan perkembangan utama dalam tumbuh kembang anak adalah interaksi berbalas. "Jika tidak terpenuhi maka maka arsitektur otak tidak berkembang dengan baik, nanti bisa ada masalah emosi," tutupnya.

 


Pentingnya Bermain Bagi Anak

Ilustrasi Anak Bermain dan Belajar Credit: pexels.com/pixabay

Hal senada diungkapkan Therapeutic Play and Creative Arts, Certified Filial Play Coach, Yudi Hartanto. Ada dampak yang membahayakan dari anak-anak yang kurang diberi waktu bermain. Salah satunya jika anak tidak diberikan kesempatan bermain akan ada gangguan sensori yang memengaruhi perilaku dan emosi anak.

Mengenai permainan tradisional, Yudi mengatakan anak bisa belajar mengenai aturan, melatih cara bersosialisasi, berekspresi, melatih emosi, dan imajinasi. "Agar bisa bermain anak-anak juga tidak harus diberikan mainan yang mahal-mahal, tapi bisa membuatnya sendiri dari bahan-bahan bekas, bahkan kulit jeruk yang bisa dijadikan mobil-mobilan," kata Yudi melalui sambungan telepon, Jumat, 2 Desember 2022.

Dengan cara itu orangtua pun dapat melibatkan diri, setidaknya sediakan waktu 15 menit sehari untuk menemani anak. "Orangtua harus punya sisi playfull sehingga anak juga dekat dengan orangtua, memiliki secure dari orangtua," sebutnya Yudi yang merupakan lulusan dari Academy of Play and Child Psychotherapy (APAC) UK.

Lantaran menjadikan bermain sebagai terapi untuk anak-anak yang memiliki gangguan emosi dan perilaku, pria yang telah berkecimpung di dunia Kesehatan mental sebagai Certified Play and Creative Arts Therapist untuk klien anak, remaja hingga dewasa, selama lebih dari 7 tahun itu ikut aktif memberikan pendampingan untuk orang tua dalam meningkatkan relasi positif dengan anak. "Bantuan anak diberikan secara holistik dan terintegrasi, sebelumnya ada konsultasi awal dulu dengan psikolog lalu terapi bermain diberikan untuk mengatasi berbagai gangguan," papar Yudi.

Beberapa gangguan yang dihadapi anak datang ke klinik biasanya dengan kasus anak trauma, anak mendapati perundungan, anak dengan kecemasan, hingga yang tidak memiliki rasa kepercayaan diri. Semuanya dibantu menggunakan terapi bermain, di mana permasalahan anak bisa terjadi karena kurangnya waktu bermain yang memunculkan perilaku agresif, kurang dekat ke orangtua yang akan berpengaruh kepada penurunan akademis.

 


Seni Jadi Sarana Bermain

Anak-anak di Eko Nugroho Class usai mengikuti kelas. (Dok: Instagram Eko Nugroho Class)

Sementara itu sebagai sarana bermain anak-anak, Eko Nugroho Class yang berpusat di Yogyakarta menjadi salah satu tempat alternatif para orangtua untuk memberikan waktu anak bermain. "Salah satu project kita ingin membuat seni rupa sebagai sarana media tumbuh kembang dan menumbuhkan potensi,"ujar Manager Marketing Eko Nugroho Class, Asriel Azis saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 1 Desember 2022.

Beberapa bulan lalu Eko Nugroho Class pun sempat membuat workshop Ramesan Art Hompimpa Alaium Gambreng dengan judul Fantastic Toys, spesial live mentoring dengan Eko Nugroho, seniman terkenal asal Yogyakarta yang telah menelurkan karyanya hingga mancanegara. "Tajuk itu ingin merepresentasikan dunia anak-anak sebagai dunia bermain. Konteks dalam seni rupa bermain dengan cat dan ide kreatifitas," jelas Asriel. 

Dalam workshop tersebut peserta anak-anak diajak untuk membuat mainan sendiri dari barang-barang bekas seperti konsep yang pernah dipakai oleh Eko Nugroho dalam membuat karya seninya. "Kita mengambil referensi dari salah satu bentuk karya berasal dari bahan recycle atau bekas yang ditemukan untuk dijadikan figur atau mainan," sebut Asriel.

Workshop lainnya yang sempat digelar melibatkan anak-anak dalam bermain dengan media seni adalah membuat kinciran dan layang-layang yang merupakan mainan tradisional. Layang-layang putih dihias dan dilukis, dalam kelasnya ada juga workshop kerajinan memanfaatkan piring kertas, gelas kertas dan kardus sebagai media anak berekspresi dengan seni. 

Kelas yang diadakan biasanya hanya merupakan grup kecil sekitar sepuluh hingga lima belas anak. Untuk mengikuti workshop peserta membayar biaya yang tergantung dengan jenis kelas seninya. Menjadikan kelas seni sebgai media bermain, anak-anak juga tampak lebih antusias karena mereka bisa betah bermain dengan mainan yang dibuatnya sendiri. "Animo cukup besar, banyak orangtua yang menanyakan aktivitas seni untuk melatih kreatifitas anak-anak," tambahnya. 

Infografis Macam-Macam Permainan Tradisional. (Dok: Liputan6.com)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya