Angka Pernikahan di China Anjlok di 2021

Setelah Jepang dan Korea Selatan, minat menikah di China juga menurun.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 09 Des 2022, 22:29 WIB
Para komuter yang mengenakan masker menunggu di persimpangan kawasan pusat bisnis di Beijing, China, Selasa (31/5/2022). Otoritas Shanghai mengatakan mereka akan mengambil beberapa langkah besar pada Rabu untuk membuka kembali kota terbesar di China setelah dua bulan penguncian COVID-19. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Liputan6.com, Beijing - Angka pernikahan di China merosot dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, angka pernikahan hanya 11,8 juta di China yang memiliki populasi lebih dari 1 miliar.

Berdasarkan laporan Global Times, Sabtu (3/12/2022), angka pernikahan pada 2021 adalah yang terendah dalam 37 tahun terakhir.

Turunnya minat menikah ini mengingatkan pada hal serupa di Jepang dan Korea Selatan.

Angka 11,8 juta itu menghitung warga yang baru pernah pertama kali menikah. Data itu dikutip situs berita bisnis Yicai.com dari Biro Statistik Nasional di China. Orang-orang yang mendaftarkan pernikahan pertama mereka turun 708 ribu dari tahun sebelumnya.

Angka pernikahan pertama yang tertinggi dengan angka 987 ribu orang ada di Provinsi Guangdong, kemudian diikuti Provinsi Henan dengan 921 ribu.

Angka tertinggi pernikahan pertama terjadi di tahun 2013 ketika ada 23,86 juta orang menikah. Selama delapan tahun terakhir, angka pernikahan pertama jatuh hingga 51,5 persen.

Sejumlah faktor yang dianggap memicu hal ini adalah usia pernikahan, terlambat menikah, tekanan ekonomi, dan adanya perubahan sikap terkait pernikahan.

Data resmi menunjukkan rata-rata pernikahan pertama di tahun 2020 adalah 28,67 tahun. Itu lebih tua dari tahun 2010, yakni 24,89 tahun.

Ahli demografi Song Jian dari Universitas Renmin menyebut penundaan pernikahan terjadi karena anak muda ingin sekolah lebih tinggi dan berusaha mencapai stabilitas profesional sebelum menikah.

Faktor lainnya adalah pandemi COVID-19 yang membuat orang sulit bertemu, serta naiknya ongkos mengurus anak, sehingga generasi muda di China khawatir.

Song berkata sejumlah solusinya adalah membolehkan warga memiliki tiga anak dan mengizinkan mahasiswa untuk menikah. Ia juga menyarankan pembangunan rumah sewa biaya rendah dan meninggalkan budaya hadiah pernikahan yang mahal.


China Bujuk Warganya Agar Mau Punya Banyak Anak

Pemandangan unit perumahan saat lockdown akibat virus corona COVID-19 di Distrik Jing'an, Shanghai, China, 21 April 2022. (HECTOR RETAMAL/AFP)

Akses kredit perumahan dengan bunga rendah dan rumah bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Penitipan untuk anak usia 2 tahun, tidak hanya usia 3 tahun ke atas. Kerja remote. Jam kerja yang fleksibel.

Sederet hal tersebut bukanlah tawaran tunjangan bagi pelamar kerja melainkan tawaran pemerintah China bagi calon orang tua agar mau memiliki banyak anak. Data statistik menunjukkan tingkat kelahiran di negara itu terus turun meskipun pemerintah telah mendorong para pasangan untuk memiliki tiga anak sejak 2021 lalu, dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (24/10). 

Pergeseran itu membuat pemerintah mengubah strateginya dengan merangkul "dividen bakat." Pemerintah kini berfokus pada lebih sedikit orang muda untuk dididik terampil dalam bidang yang dibutuhkan. Pemerintah China meninggalkan startegi dahulu yang mengandalkan "dividen demografis," sebuah kondisi di mana jumlah pekerja muda terus muncul dan tampaknya tidak akan habis.

Menurut informasi yang dirilis pada bulan ini dari "Buku Tahunan Statistik China 2022" yang diterbitkan Biro Statistik Nasional China, 13 dari 31 provinsi dan kota-kota di negara itu yang secara administratif setara dengan provinsi, mengalami pertumbuhan populasi alami negatif pada 2021. Pada 2020, tercatat 11 pusat pertumbuhan negatif di kota-kota dan provinsi di China.

Jumlah total kelahiran di China pada 2021 adalah 10,62 juta, rekor terendah dalam beberapa tahun ini, menurut biro statistik yang dirilis pada Januari. Peningkatan bersih populasi sebanyak 480.000 orang yang tercatat di negara berpenduduk 1,4 miliar adalah yang terendah sejak 1962 ketika China mulai mencatat rekor ini.


Generasi Muda Korea Selatan Jadi Lebih Apatis Terhadap Pernikahan

Seorang pria berjalan di depan dekorasi Natal dan pajangan logo ibu kota Korea Selatan di Seoul, Rabu (1/12/2021). Jumlah kasus baru COVID-19 harian di Korea Selatan tercatat di angka 5.000-an untuk pertama kalinya sejak kasus pertama dilaporkan di Negeri Ginseng itu. (AP Photo/Lee Jin-man)

 

Enam dari 10 orang Korea Selatan berusia 20-an dan 30-an berpikir bahwa menikah bukan lagi suatu keharusan. Faktor utama lainnya adalah keterbatasan uang yang mempengaruhi keputusan generasi muda untuk menghindari pernikahan.

Mengutip dari The Korean Times, Kamis (17/11), pernyataan tersebut merupakan hasil survei sosial terbaru Statistics Korea, yang diumumkan pada Rabu, 15 November 2022. Separuh dari responden dari segala usia mengatakan bahwa menurut mereka menikah adalah suatu keharusan, di mana persentasenya 1,2 poin lebih rendah dari dua tahun lalu. 

Angka tersebut ternyata lebih rendah lagi di antara mereka yang berusia 20-an dan 30-an. Hanya sebanyak 35,1 persen dari generasi muda Korea berusia 20-an mengatakan setuju bahwa menikah adalah suatu keharusan, dan 40,6 persen dari mereka yang berusia 30-an juga mengatakan hal yang senada.

Adapun 53,5 persen responden berusia 20-an dan 52,8 persen dari mereka yang berusia 30-an menjawab tidak masalah apakah mereka menikah atau tidak. Selanjutnya 6,4 persen dari mereka yang berusia 20-an dan 3,5 persen dari mereka yang berusia 30-an mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah menikah.

Dalam kasus generasi muda Korea yang berusia antara 13 hingga 19 tahun, hanya 29,1 persen yang menjawab bahwa menikah adalah suatu keharusan. Jumlah tersebut meningkat seiring bertambahnya usia responden, karena 42,3 persen dari mereka yang berusia 40-an dan 52,8 persen dari mereka yang berusia 50-an mengatakan hal yang sama. 


Pernikahan di Jepang

Warga yang mengenakan masker untuk melindungi diri dari penyebaran COVID-19 berdiri di persimpangan di Tokyo, Jepang, Selasa (27/7/2021). Tokyo melaporkan jumlah kasus harian COVID-19 tertinggi beberapa hari setelah Olimpiade dimulai. (AP Photo/Koji Sasahara)

Sebelumnya turut dilaporkan, jumlah orang Jepang yang menikah di tahun 2022 diprediki berkurang karena dampak COVID-19. Faktor-faktor yang menjadi sorotan adalah kurang waktu sosialisasi dan urusan keuangan. 

Dilansir Kyodo, Selasa (9/8), jumlah pernikahan tahun ini diperkirakan akan 150 ribu lebih sedikit dalam tiga tahun terakhir. Hal ini bisa membuat jumlah bayi yang lahir berkurang 234 ribu jika tingkat pernikahan tidak pulih. 

Temuan itu berasal dari studi oleh Asako Chiba, postdoctoral fellow di Tokyo Foundation for Policy Research dan Taisuke Nakata, associate professor di University of Tokyo. 

Stres finansial yang bertambah disebut berpengaruh pada rendahnya angka pernikahan di Jepang. 

Mereka menyebut angka pernikahan di tahun 2020 adalah sekitar 526 ribu, sekitar 50 ribu lebih rendah dari proyeksi. Sementara, angka tahun 2021 adalah 501 ribu. Angka itu 63 ribu lebih rendah dari perkiraan.

Turunnya angka pernikahan tersebut diprediksi berlanjut di 2022, meski ada tanda-tanda pemulihan. Total pernikahan diperkirakan mencapai 515 ribu, sekitar 38 ribu lebih rendah dari perkiraan.

"Dampak sosial dan ekonomi dari virus corona butuh waktu untuk bermanifestasi," ujar Chiba. "Pembuat kebijakan perlu mengenali krisis yang secara tegas mendekat." 

Angka pernikahan tahunan di Jepang terus turun sejak memuncak pada 1 juta pernikahan di awal 1970-an. Angka kelahiran juga terus menurun. Pada 2021, angka kelahiran baru adalah 810 ribu dibanding 2 juta kelahiran pada tahun 1973.

Infografis Vaksin Covid-19 Booster, Butuh atau Enggak? (Liputan6.com/Niman)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya