Liputan6.com, Bogor - Krisis pangan merupakan ancaman paling meresahkan dunia saat ini. Di tengah perang Ukraina dan Rusia yang telah berlangsung sejak Februari tahun ini serta diperparah dengan ancaman krisis ekonomi pada 2023.
Sementara pada 14 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo mendapatkan penghargaan dari IRRI (Internationale Research Rice Institute) atas keberhasilannya mencapai swa sembada beras. Namun demikian ada pihak yang sebenarnya menangis pilu terhadap kondisi yang dialaminya, di tengah kebanggaan dan kebahagiaan bangsa Indonesia memperoleh penghargaan tersebut. Mereka adalah petani
Advertisement
Kondisi yang menyulitkan dan penderitaan yang dialami petani saat ini bertambah parah setelah pada 3 September 2022 Pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak, di mana harga bahan bakar termurah dan subsidi, yaitu Pertalite naik dari Rp. 7.650,- menjadi Rp. 10.000,- dan solar dari Rp. 5.150,- menjadi Rp. 6.800,- per liter.
Tentu saja, otomatis seperti pengalaman yang sudah-sudah, kenaikan harga bahan bakar minyak tersebut menyulut kenaikan harga barang dan pangan lainnya. Harga pupuk semakin meroket. Rakyat kecil dan petani merupakan korban terparah, meskipun sudah dialokasikan bantuan melalui Bantuan Langsung Tunai Rp. 600 per orang per 4 bulan..
Menaikkan harga dasar (ceiling price) gabah merupakan salah satu alternatif yang secara sederhana dapat membantu menaikkan pendapatan petani. Namun resiko yang diambil jika hal tersebut dilakukan pemerintah justru dapat menimbulkan efek lainnya yang menyeramkan; kenaikan harga beras, dan kenaikan harga lainnya, meroketnya inflasi, serta dapat menganggu stabilitas keamanan.
Akhirnya petani kembali yang harus menanggung derita atas rentetan peristiwa yang semakin mempersulit kehidupannya tersebut.
Penelitian Petani di Cianjur
Tim LPPM IPB baru baru ini melakukan studi di Desa Kertamukti, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat untuk mengkaji sejauh mana tingkat kesulitan ekonomi petani saat ini berkaitan dengan harga dasar gabah kering panen yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp. 4.200,-, untuk mengupasnya secara cukup detil, berapa pendapatan yang diperoleh petani.
Tingkat keberhasilan produksi padi petani di Desa Kertamukti pada dasarnya dapat dikelaskan menjadi gagal (produksi 2,5 ton/ha sampai kurang dari 4 ton/ha), sedang (4 – 4,5 ton/ha) atau level yang paling banyak atau biasa dicapai petani,, dan agak luar biasa (6 ton/ha). Disebut agak luar biasa, karena hal ini jarang dicapai oleh petani.
Dengan harga dasar gabah kering panen Rp. 4.200,-/kg, maka pendapatan petani per ha pada tiap level dari hasil penjualan gabah kering panen adalah sebagai berikut, gagal Rp10,25 juta untuk panen 2,5 ton/ha; sedang atau biasa Rp 16,80 juta untuk panen 4,0 ton/ha, dan Rp 18,90 juta untuk panen 4, 5 ton/ha; dan agak luar biasa Rp 25,2 juta untuk panen 6 ton/ha.
Petani penggarap menderita kerugian ketika panennya hanya 2,5 ton/ha. Namun demikian, petani penggarap sudah mendapat keuntungan sekitar Rp 2 juta ketika panennya mencapai 4 ton/ha dalam semusim (durasi 4 bulan) atau sekitar Rp 500.000,- per bulan; dan akhirnya memperoleh keuntungan Rp. 3.5 juta ketika panennya agak luar biasa (panen 6 ton/ha) atau sekitar Rp 900.000,- per bulan.
Dengan demikian, ketika petani berhasil panen dengan kondisi normal (di atas 4 ton/ha), pendapatan petani secara rata-rata berkisar antara Rp 500.000,- dan Rp 900.000,- per bulan. Suatu perolehan yang sangat memprihatinkan.
Rendahnya pendapatan petani penggarap tersebut menjadi salah satu penyebab petani tidak mempunyai kemampuan untuk membeli pupuk lebih banyak agar dapat menjaga kualitas tanah dari degradasi tanah. Kebiasaan kerjasama sewa lahan sistem paron menjadi salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani penggarap.
Bahkan nasib buruh tani yang upahnya Rp 60.000,- per hari masih lebih enak dan tidak berisiko menderita kerugian. Hal ini tentunya meninggalkan tangisan petani penggarap di tengah euforia penghargaan swasembada beras dari IRRI.
Advertisement
Menanti Kebijakan Pro-Petani
Sementara itu pendapatan petani pemilik tanah sawah dinilai masih cukup layak usaha, dalam semusim mereka masih mendapatkan keuntungan sekitar Rp 5 juta atau Rp 1.250.000 per bulan ketika produksinya hanya mencapai 2,5 ton/ha.
Namun jika produksinya mencapai 4 ton/ha maka keuntungan meningkat menjadi sekitar Rp. 3 juta per bulan. Keuntungan tersebut akan meningkat menjadi sekitar Rp 16 juta atau Rp 4 juta per bulan ketika panennya mencapai 6 ton/ha.
Dengan demikian usaha tani padi saat ini hanya dapat dinikmati oleh petani pemilik tanah dan menyisakan keprihatinan bagi petani penggarap. Terlebih jika terjadi serangan hama penyakit, terutama tikus, burung, penggerek batang dan sundep dan bencana alam seperti puting beliung, tentunya akan menambah berkurangnya produksi gabah dan pendapatan petani.
Semoga ke depan angin segar kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang pro petani dan desa dapat merubah tangisan dan nasib petani penggarap di Desa Kertamukti dan desa-desa lainnya di Indonesia..
Penulis: Dr. Latief Mahir Rachman, M.Sc. MBA, Dosen dan peneliti masalah pertanian dan pedesaan, IPB University