Teh Indonesia Harus Dilestarikan agar Petani Rakyat Tetap Bertahan di Kondisi Pasar yang Dinamis

Di tengah tren konsumsi teh global yang terus meningkat, kondisi sektor teh Indonesia justru butuh perhatian lebih.

oleh Surya Hadiansyah diperbarui 05 Des 2022, 21:11 WIB
Ilustrasi Petani Teh Indonesia. (Dok. IST/Teh nDeso)

Liputan6.com, Jakarta Produk teh Indonesia sejatinya menjadi salah satu aset yang memiliki kualitas terbaik di dunia. Bagi Indonesia, teh berperan penting sebagai penyumbang devisa negara, pengentasan kemiskinan masyarakat desa, dan pelestarian lingkungan.

Menurut data Kemenko Perekonomian pada tahun 2020, Indonesia menduduki peringkat ketiga belas eksportir teh terbesar dunia yang memasok 45.265 ton teh atau senilai US$96,326 ribu.

Namun di tengah tren konsumsi teh global yang terus meningkat, kondisi sektor teh tanah air justru sedang lesu dan butuh perhatian lebih. Penurunan kinerja ini sama-sama dihadapi oleh ketiga pelaku utamanya, yaitu Perkebunan Besar Negara, Perkebunan Besar Swasta, dan Perkebunan Rakyat.

Kendati demikian, petani kecil yang mengelola kebun secara mandiri merupakan pihak yang paling rentan namun harus bisa bertahan. Petani dengan sederet keterbatasan modal, kemampuan, dan teknologi umumnya kurang luwes dalam menghadapi kondisi pasar yang dinamis. Sehingga secepatnya harus ada perubahan.

 


Mulai Ditinggalkan

Ilustrasi Teh Indonesia. (Dok. IST/Teh nDeso)

Hampir separuh (46 persen) perkebunan teh Indonesia digarap oleh petani, sedangkan 34 persen dikelola oleh negara dan 20 persen dikelola oleh swasta. Meskipun mempunyai area perkebunan terluas, produktivitas kebun teh rakyat justru yang paling kecil.

Dari 144.064 ton produksi teh kering Indonesia pada 2020, 40 persen dihasilkan oleh Perkebunan Besar Negara, 35 persen oleh Perkebunan Rakyat, dan 25 persen oleh Perkebunan Besar Swasta (BPS 2021).

Hal ini dikarenakan mayoritas petani teh masih menjual pucuk basah, sehingga belum ada nilai tambah produk dan harga masih bergantung pada pengepul di daerah masing-masing.

Akibatnya, petani sering kali menerima berapapun harga yang ditentukan pengumpul atau pabrik pengolahan. Sehingga terbentuk relasi kuasa yang tidak seimbang karena jumlah pengumpul jauh lebih sedikit dari jumlah petani di satu wilayah.

Maka tak heran bila sejumlah petani mulai meninggalkan kebun teh dan mencari alternatif pekerjaan lain, seperti buruh, karyawan, atau pedagang. Generasi muda saat ini pun tidak tertarik melanjutkan teh yang sudah menjadi warisan turun-temurun, kebanyakan dari mereka memilih merantau untuk mendapat upah lebih baik.

 


Membangun Brand

Ilustrasi Teh Indonesia. (Dok. IST/Teh nDeso)

Kondisi ini makin memprihatinkan dengan laju penurunan areal perkebunan teh, di mana selama dua dasawarsa terakhir mengalami penurunan rata-rata sebesar 1000 hektar per tahun. Secara nasional, areal perkebunan teh telah banyak berkurang, dari 166.867 hektar pada 2001 menjadi 144.064 hektar pada 2020 (BPS 2021).

Teh tidak lagi dipandang menguntungkan bagi petani, sehingga banyak yang melakukan alih fungsi lahan menjadi komoditas lainnya.

Di sisi lain, pengolahan mandiri untuk memotong rantai pasok belum banyak dilakukan oleh kelompok dan koperasi tani. Alasannya beragam, mulai dari akses modal susah, manajemen kurang, hingga dependensi pada bantuan pemerintah dan lembaga pendamping.

Menurut Ketua Paguyuban Tani Lestari Waras Paliant, “Posisi petani berada di paling ujung rantai pasok dengan segala keterbatasannya. Ketergantungan yang besar dengan pelaku lain juga semakin menempatkan mereka pada posisi tawar yang rendah, sehingga harus ada solusi inovatif untuk mengubah kondisi tersebut. Salah satunya adalah seperti yang kami (paguyuban) lakukan bersama para petani dengan membangun produk teh rakyat yang telah kami beri nama brand ‘Teh nDeso’.”

 

 


Bergantung pada Perkebunan Rakyat

Di samping itu, membanjirnya impor teh di pasaran Indonesia juga disebabkan konsumen Indonesia yang lebih menghendaki produk teh dengan harga murah. Hal itu membuat para pengusaha minuman dengan bahan baku teh, lebih memilih mengimpor teh berkualitas rendah dengan harga yang lebih murah. Jika kondisi ini berlanjut, tentu dapat merugikan sektor teh Indonesia dan pastinya akan memberikan dampak negatif bagi seluruh petani teh.

Ratri Kustanti Direktur ITMA (Indonesian Tea Marketing Asisociation) mengungkapkan, “ITMA akan selalu memberikan support pada produk teh rakyat, karena masa depan industri teh Indonesia sangat bergantung pada Perkebunan Rakyat, mengingat dominasi kepemilikan lahan ada pada mereka. Maka dari itu, kami mengajak generasi muda terutama yang bergerak di sektor F&B, Kafe, dan UKM pangan untuk ikut membantu mempromosikan dan menggunakan produk yang dihasilkan dari teh rakyat.”

Sedikit demi sedikit, para petani kini mulai menyadari peran pentingnya di rantai pasok dan melakukan upaya perbaikan kolektif melalui kelompok atau koperasi tani. Di antaranya dengan mendayagunakan koperasi sebagai pengumpul untuk memangkas rantai pasok, mengimplementasikan Good Agricultural Practice, hingga diversifikasi produk untuk meningkatkan nilai tambah hasil panen.

Bahkan, sejumlah sentra teh Indonesia telah mengembangkan merek teh daerahnya masing-masing yang diproduksi secara mandiri sebagai aktualisasi keterlibatan petani di ranah industri agribisnis. Salah satunya Teh nDeso, sebuah brand teh yang dibangun Paguyuban Tani Lestari dan diproduksi langsung dari perkebunan teh rakyat di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

 


Pemilik dan Pelaku Bisnis

Melalui unit usaha ini, petani tidak hanya menjadi produsen bahan baku saja, tetapi juga sebagai pemilik brand dan pelaku bisnis di industri teh. Dengan demikian, kehidupan keluarga petani dapat menjadi lebih baik seiring dengan peningkatan kapasitas SDM, perbaikan kebun teh rakyat, dan daya saing produknya.

Menurut Nanang Christianto selaku pengelola brand Teh nDeso, produk teh ini diproduksi dari pucuk teh berkualitas yang hanya diambil dari perkebunan teh rakyat dengan sortasi dan manajemen mutu yang terjamin agar mempunyai cita rasa dan aroma khas. Teh nDeso juga sudah mendapatkan standar LESTARI yang memastikan bahwa praktik budidaya dan pengolahan teh sudah memperhatikan aspek sosial dan lingkungan berdasarkan prinsip berkelanjutan.

“Kami memberikan harga yang adil untuk petani-petani kami karena mereka sudah melakukan proses budidaya sesuai dengan standar LESTARI. Sehingga Teh nDeso ikut mempertahankan eksistensi perkebunan teh rakyat juga memberikan kualitas teh terbaik untuk konsumen Indonesia. Teh nDeso juga menjadi salah satu ujung tombak teh rakyat yang membantu dan mendukung perkebunan teh rakyat mulai dari hulu hingga ke hilir.” pungkas Nanang Christianto.

Peningkatan minat konsumen domestik terhadap teh kini mulai terlihat dari maraknya kafe-kafe yang menawarkan sajian teh yang digemari kaum muda. Marilah kita sebagai masyarakat Indonesia berpartisipasi dalam transformasi sektor teh Indonesia dan memaksimalkan momentum ini, demi menjaga keberlangsungan teh Indonesia agar tidak punah.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya