Terancam Setop Produksi, Industri Makanan Minuman Minta Impor Gula Rafinasi Dibuka

Industri makanan dan minuman kekurangan pasokan gula kristal rafinasi (GKR) untuk memproduksi berbagai macam produk dan terancam berhenti berproduksi.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Des 2022, 18:30 WIB
Mengenal Plus dan Minus Gula Rafinasi.Industri makanan dan minuman kekurangan pasokan gula kristal rafinasi (GKR) untuk memproduksi berbagai macam produk dan terancam berhenti berproduksi.

Liputan6.com, Jakarta Industri makanan dan minuman (mamin) kekurangan pasokan gula kristal rafinasi (GKR) untuk memproduksi berbagai macam produk dan terancam berhenti berproduksi apabila tidak ada kebijakan untuk menambah stok gula dari pemerintah.

Head of Corporate Communication & Relation PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk (GOOD) Dian Astriana mengatakan pihaknya berharap pemerintah dapat membuka keran impor bahan baku untuk gula rafinasi agar dapat memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman.

"Tentu kami berharap pemerintah dapat menambah kuota sehingga dapat memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman," kata Dian dikutip dari Antara, Senin (5/12/2022).

Menurut Dian, gula kristal rafinasi merupakan salah satu bahan baku utama yang harus terpenuhi dalam memproduksi mayoritas produk Garudafood. Apabila pasokan gula terkendala, maka bisa berdampak pada penghentian kegiatan produksi.

"Garudafood menggunakan GKR sebagai bahan baku produksinya. Terkait ketersediaan pasokan GKR, apabila terkendala maka tentu berpotensi mempengaruhi kelancaran produksi kami" kata dia.

Seretnya pasokan gula kristal rafinasi untuk industri makanan dan minuman juga dialami produsen makanan ringan atau snack, PT Arnott's Indonesia, yang saat ini mengalami kesulitan pasokan gula.

"Arnott's juga mengalami kesulitan pasokan gula," kata Oktaviana Quinta Dewi dari Arnott’s.

Menurut Oktaviana, seretnya pasokan gula ini berisiko mengganggu kegiatan produksi di saat stok gula di gudang sudah sangat menipis.

"Betul terancam stop produksi, shortage gula ini memberikan risk diproses produksi kami. Kami berharap pemerintah bisa segera mengeluarkan kebijakan," katanya.

 

 


Kirim Surat ke Pemerintah

Perwakilan petani tebu menuliskan kata kata saat berunjuk rasa di sekitar depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/10). Puluhan perwakilan petani tebu berunjuk rasa menuntut pemerintah menyetop impor gula. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Para pelaku industri makanan dan minuman disebutkan sudah mengirimkan surat ke pemerintah terkait berkurangnya pasokan gula kristal rafinasi menjelang akhir tahun.

Proyeksi pertumbuhan bisnis makanan dan minuman tahun 2023 minimal 5 persen juga diyakini bisa terganggu jika terkendala pasokan bahan baku yang terhambat. Terganggunya pasokan GKR akan berdampak pada berhentinya produksi.

Industri makanan dan minuman di Indonesia memiliki peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Pada triwulan III-2022 industri makanan dan minuman tumbuh 3,57 persen atau lebih tinggi dibanding periode sebelumnya 3,49 persen. Meskipun terdampak pandemi Covid-19, subsektor makanan dan minuman masih mampu tumbuh dan berkontribusi pada pertumbuhan industri nonmigas yang mencapai 4,88 persen.

Kinerja ekspor produk makanan dan minuman juga mencatatkan nilai 36 miliar dollar AS (termasuk kelapa sawit) pada Januari-September 2022. Sedangkan impor produk makanan dan minuman pada periode yang sama sebesar USD 12,77 miliar.


Gap Kebutuhan Gula Konsumsi 850 Ribu Ton dan Rafinasi 3,27 Juta Ton

Aktivitas petani tebu di Desa Betet, Jatim September lalu. Rembesan gula rafinasi tahun 2018 sebesar 800 ribu ton, produksi gula konsumsi tahun 2018 sebesar 2,1 juta ton, impor gula konsumsi tahun 2018 sebanyak 1,2 juta ton. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong peningkatan produktivitas industri gula melalui pola intensifikasi dan ekstensifikasi hingga pemanfaatan digitalisasi. Langkah ini dalam rangka mengakselerasi pemenuhan kebutuhan gula yang kian meningkat, terutama di pasar domestik.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan, industri gula merupakan salah satu sektor strategis, karena komoditasnya berperan penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan sebagai bahan baku bagi sejumlah sektor industri penggunanya.

"Hal ini membuat industri gula punya nilai strategis bagi ketahanan pangan nasional dan peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat,” kata Agus dalam keterangan tertulis, Minggu (7/8/2022).

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula Sebagai Barang Dalam Pengawasan, gula dibagi menjadi tiga jenis, yaitu Gula Kristal Mentah (GKM) yang dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi, Gula Kristal Putih (GKP) merupakan gula kebutuhan konsumsi langsung atau rumah tangga, dan Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang merupakan bahan baku industri.

“Kemenperin sedang berupaya untuk meminimalkan gap jumlah produksi gula kristal putih. Oleh karenanya, untuk memenuhi jumlah kebutuhan yang meningkat, diperlukan produktivitas yang tinggi. Hal ini sesuai arahan Bapak Presiden agar produksi gula konsumsi bisa memenuhi kebutuhan masyarakat,” paparnya.

Pada tahun 2021, produksi gula nasional sebesar 2,35 juta ton yang terdiri dari produksi pabrik gula BUMN sebesar 1,06 juta ton dan pabrik gula swasta sebesar 1,29 juta ton. Sementara itu, kebutuhan gula tahun 2022 mencapai sekitar 6,48 juta ton, terdiri dari 3,21 juta ton GKP dan 3,27 juta ton GKR.


Gap Kebutuhan Gula

Petani tebu melakukan aksi menebar gula rafinasi saat unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Senin (28/8). Aksi itu bentuk ungkapan kekecewaan terhadap sikap pemerintah yang masih membiarkan gula impor merembes di pasaran (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika mengatakan, saat ini masih terdapat gap kebutuhan gula sekitar 850 ribu ton untuk gula konsumsi dan 3,27 juta ton untuk gula rafinasi. Lonjakan kebutuhan tersebut disebabkan oleh peningkatan konsumsi rumah tangga seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan tumbuhnya industri makanan dan minuman yang diproyeksi meningkat 5-7 persen per tahunnya.

Beberapa waktu lalu, Dirjen Industri Agro meninjau PT Rejoso Manis Indo (RMI) di Biltar, Jawa Timur.

“Untuk mewujudkan swasembada gula nasional, kami dari pemerintah sangat mengapresiasi atas upaya yang dilakukan oleh PT RMI dalam mengembangkan industri gula nasional dengan mendirikan pabrik gula yang terintegrasi dengan perkebunan tebu melalui kemitraan dengan petani tebu,” tuturnya.

Pada tahun 2022, PT RMI mendapat pasokan tebu dengan luasan panen seluas 15.080 hektare (ha) dengan potensi produksi sebesar 93.661 ton atau meningkat cukup signikan dibandingkan tahun 2021 dengan luas areal panen seluas 13.721 ha dan produksi GKP sebesar 67.677 ton.

PT RMI saat ini memiliki kapasitas giling 10.000 ton tebu per hari (TCD) dan dapat diperluas menjadi 20.000 TCD dan kapasitas produksi sebesar 1.500 ton per hari (TPD) dengan menggunakan teknologi Defekasi Remelt Karbonatasi (DRK). Total investasi PT RMI sebesar Rp3,4 triliun, keberadaannya mendorong tumbuhnya berbagai lapangan pekerjaan baru lainnya yang menyerap lebih dari 40.000 orang tenaga kerja baik di tingkat on farm maupun off farm.

“PT RMI memiliki potensi untuk bisa dikembangkan lagi produksinya hingga 2,5 kali. Apalagi, nanti kalau didukung dengan infrastruktur jalan yang lebih bagus. Saat ini, per hari ada 1.200 truk, dan kalau kualitas jalan lebih baik lagi, truk bisa mengangkut dua kali lebih banyak ,” ujarnya.

Produksi gula selalu kurang, impor berdatangan, dan pabrik lokal tutup? (liputan6.com/Trie yas)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya