Nomura : Dampak Lockdown Covid-19 ke Ekonomi China Mulai Mengecil

Ekonom Nomura mengatakan bahwa dampak negatif dari kebijakan Covid-19 di China terhadap ekonominya turun menjadi 19,3 persen dari total PDB negara itu.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 06 Des 2022, 13:00 WIB
Seorang pekerja yang mengenakan pakaian pelindung menunggu untuk melakukan tes COVID-19 di tempat pengujian virus corona di Beijing, Rabu (9/11/2022). Lonjakan kasus COVID-19 telah mendorong penguncian di pusat manufaktur China selatan Guangzhou, menambah keuangan tekanan yang telah mengganggu rantai pasokan global dan secara tajam memperlambat pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia itu. (Foto AP/Mark Schiefelbein)

Liputan6.com, Jakarta - Bank asal Jepang, Nomura menyebutkan bahwa lockdown untuk meredakan penyebaran Covid-19 di China tidak berdampak besar pada ekonomi negara itu untuk pertama kalinya sejak awal Oktober 2022. 

Namun, analis di Nomura memperingatkan bahwa kedepanya ekonomi China akan mengalami tantangan karena lonjakan infeksi Covid-19 di negara itu.

Dilansir dari CNBC International, Selasa (6/12/2022) Kepala Ekonom China di Nomura, yakni Ting Lu mengatakan dalam sebuah laporan per Senin (5/12) bahwa dampak negatif dari kebijakan Covid-19 di China terhadap ekonominya turun menjadi 19,3 persen dari total PDB.

Itu menandai penurunan dar 25,1 persen yang terhitung sepekan lalu. Angka 25,1 pekan lalu juga lebih tinggi dari yang terlihat selama dua bulan lockdown di Shanghai di musim semi, menurut model Nomura.

"China tampaknya tidak siap menghadapi gelombang besar infeksi Covid-19, dan mungkin harus membayar penundaannya dengan pendekatan 'hidup dengan Covid-19," kata Nomura.

“Mengakhiri kebijakan nol Covid-19 sangat menggembirakan dan seharusnya cukup positif untuk pasar, tetapi kami mengingatkan bahwa jalan menuju pembukaan kembali mungkin bertahap, menyakitkan, dan bergelombang," jelas analis Nomura.

Dalam beberapa hari terakhir, pemerintah daerah di China telah melonggarkan beberapa kebijakan tes Covid-19, memungkinkan masyarakat di kota-kota seperti Beijing dan Zhengzhou menggunakan transportasi umum tanpa harus menunjukkan bukti hasil tes negatif.

Namun, hasil tes negatif Covid-19 dalam dua atau tiga hari masih diperlukan di Beijing dan beberapa kota lainnya di China sebagai ketentuan untuk memasuki area publik seperti mal.


Sebagian Kawasan di Kota Besar China Masih Berlakukan Kebijakan Covid-19

Warga yang memakai masker melintasi persimpangan di Beijing, China, Jumat (2/12/2022). Lebih banyak kota melonggarkan pembatasan, memungkinkan pusat perbelanjaan, supermarket, dan bisnis lainnya dibuka kembali menyusul protes akhir pekan lalu di Shanghai dan daerah lain di mana beberapa orang menyerukan Presiden Xi Jinping untuk mengundurkan diri. (AP Photo/Ng Han Guan)

Kebijakan Covid-19 sangat bervariasi menurut masing-masing kota dan distrik di China.

Saat ini sudah ada banyak restoran di kota Guangzhou yang diizinkan melanjutkan kegiatan makan di tempat, sementara sebagian besar restoran di Beijing masih menawarkan pembelian makanan untuk dibawa pulang.

Sekolah di kedua kota itu sebagian besar juga masih memberlakukan sistem belajar online.

Sekitar 452,5 juta orang di China terpengaruh oleh kebijakan lockdown saat ini, meskipun turun dari 528,6 juta yang jauh lebih tinggi sepekan sebelumnya, menurut analis Nomura.


Barclays Pangkas Ramalan Ekonomi China 2023 Jadi Cuma 3,8 Persen

Seorang perempuan dan anak-anak yang memakai masker berjalan di dekat area tertutup di Beijing, China, Jumat (2/12/2022). Lebih banyak kota melonggarkan pembatasan, memungkinkan pusat perbelanjaan, supermarket, dan bisnis lainnya dibuka kembali menyusul protes akhir pekan lalu di Shanghai dan daerah lain di mana beberapa orang menyerukan Presiden Xi Jinping untuk mengundurkan diri. (AP Photo/Ng Han Guan)

Lembaga keuangan multinasional asal Inggris, Barclays memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi China tahun depan menjadi 3,8 persen, sebagian didasarkan pada ekspektasi penurunan permintaan global untuk barang-barang dari negara itu. 

Dikutip dari CNBC International, Senin (7/11/2022) Barclays kini memproyeksi pertumbuhan PDB China 3,8 persen di 2023, turun dari perkiraan sebelumnya 4,5 persen pada bulan September karena merosotnya investasi properti.

Pemotongan PDB terbaru para analis Barclays mencakup penurunan tajam investasi real estat, dari 8 persen menjadi 10 persen.

Ekonom Barclays di AS dan Eropa juga memproyeksi resesi tahun depan. Sehingga, bank tersebut sekarang memperkirakan ekspor China bakal turun 2 sampai 5 persen pada 2023, dibandingkan ekspektasi sebelumnya untuk pertumbuhan 1 persen.

"Pangsa China dari ekspor global telah menyusut tahun ini," kata para analis Barclays.

"Perusahaan asing terlihat telah mengalihkan pesanan mereka dari China ke tetangganya di Asia, termasuk Vietnam, Malaysia, Bangladesh dan India, juga untuk produksi beberapa barang padat," ungkap bank itu.

Ekspor China melonjak 29,8 persen tahun lalu dalam dolar AS, menyusul kenaikan 3,6 persen pada 2020. Namun, laju pertumbuhan melambat tahun ini.

Per September 2022, pertumbuhan ekspor year-to-date China hanya mencapai 12,5 persen.

Seperti diketahui, ekspor merupakan pendorong penting bagi ekonomi China, terutama ketika pandemi mengganggu rantai pasokan global dan menghasilkan permintaan yang kuat untuk produk kesehatan dan elektronik.

Selain ekspor, sektor real estat China dan industri terkait juga menyumbang sekitar seperempat dari PDB China.

China telah melihat kemerosotan pada pasar propertinya dalam dua tahun terakhir, karena Beijing menindak ketergantungan pengembang yang tinggi pada utang untuk pertumbuhan, sementara permintaan konsumen untuk membeli rumah menurun.


Barclays : Rasio Utang Rumah Tangga di China Melebihi AS

Pekerja dengan pakaian pelindung mendaftarkan orang untuk tes COVID-19 di tempat pengujian virus corona di Beijing, Rabu (2/11/2022). Para pekerja iPhone Apple Inc meninggalkan pabrik karena lokasinya berada dalam zona industri Kota Zhengzhou yang sedang diberlakukan lockdown setelah adanya 64 laporan kasus virus corona di kawasan tersebut. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Bahkan jika China membuka kembali perbatasannya secara penuh, analis Barclays menyebut negara itu masih berhati-hati tentang seberapa besar sektor konsumsi dan jasa dapat pulih karena meningkatnya utang rumah tangga.

Analis Barclays menemukan bahwa rasio utang rumah tangga China terhadap pendapatan yang dapat dibelanjakan dalam beberapa tahun terakhir melampaui yang terlihat di AS pada tahun-tahun menjelang krisis keuangan 2008.

"Perkiraan kasus dasar kami mengasumsikan tidak ada pengumuman stimulus besar, setidaknya sebelum Konferensi Kerja Ekonomi Pusat Desember, ketika pemerintahan yang baru dibentuk akan menetapkan prioritas kebijakannya," kata laporan Barclays.

Pada kuartal ketiga, data resmi menunjukkan ekonomi China telah tumbuh 3 persen sejauh ini. Namun angka tersebut masih di bawah target resmi 5,5 persen.

Infografis Kenali Gejalanya dan Jurus Redam Covid-19 Omicron XBB (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya