Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa Irfan Widyanto mengaku sedih karena harus terseret akibat perintah yang diberikan kepadanya untuk mengamankan DVR CCTV berujung tindak pidana dalam perkara obstruction of justice pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Kesedihan Irfan diluapkan saat hadir sebagai saksi dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir J, atas terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (6/12/2022).
Advertisement
Berawal dari Majelis Hakim yang mencecar mantan Kasubnit I Dittipidum Bareskrim Irfan mengenai perintah mantan Kaden A Ropaminal Divisi Propam Polri Agus Nurpatria untuk mengganti DVR CCTV Kompleks Rumah Dinas Ferdy Sambo.
"Hanya itu (mengganti DVR) saja yang saudara lakukan? Saudara ikut di patsus (penempatan khusus)?" tanya hakim.
"Ketika saya masuk ke dalam saya langsung masuk menemui Pak Agus di depan sambil merangkul ditunjukkan di depan CCTV di gapura," ucap Irfan.
"Singkat cerita saudara mengganti DVR gitu?" tanya hakim kembali.
"Siap, Yang Mulia," ujar Irfan.
Setelah itu, Irfan mengatakan sangat bingung jika harus terseret dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Karena dia mengaku hanya menjalankan perintah atasan yang berujung dipidanakan.
"Saya menjalankan perintah namun ternyata ada perintah tersebut disalahartikan," ujar Irfan.
"Maksudnya disalahartikan?" tanya hakim.
"Menurut saya itu perintah yang wajar dan normal namun kenapa saya yang dipidanakan," kata Irfan.
Di samping itu, Hakim juga menanyakan perihal hukuman etik yang diterima Irfan, seperti ditempatkan di penempatan khusus (Patsus). Termasuk, menanyakan perasaan Irfan pascamenjadi terdakwa kasus Yosua.
"Siap. Tidak (dipatsus), Yang Mulia," jawab Irfan.
"Bagaimana perasaan Saudara?" tanya hakim.
"Siap, sedih," jawab Irfan.
Jawab hakim, Irfan peraih penghargaan sebagai lulusan Akpol terbaik atau Adhi Makayasa hanya bisa meluapkan kekecewaannya. Pasalnya, dia merasa kariernya dalam instansi kepolisian masih panjang.
"Apa yang membuat sedih?" tanya hakim lagi.
"Karena karier saya masih panjang," jawab Irfan.
Dakwaan Obstruction Of Justice
Irfan Widyanto dijerat dalam perkara dugaan Obstruction Of Justice dengan Pasal 49 jo Pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dia disebut jaksa terlibat menuruti perintah Ferdy Sambo yang kala itu menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri untuk menghapus CCTV di tempat kejadian perkara (TKP) lokasi Brigadir J tewas.
"Dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindak apapun yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya," demikian dakwaan JPU.
Atas tindakan itu, didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 dan/atau Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 221 ayat (1) ke 2 dan 233 KUHP juncto Pasal 55 KUHP.
Advertisement
Tangis Terdakwa Arif Rachman Pecah di Depan Ferdy Sambo: Saya Hanya Bekerja
Sementara itu, terdakwa kasus obstruction of justice perkara kematian Brigadir J, Arif Rachman Arifin melepas tangis saat menjadi saksi dalam persidangan terdakwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Awalnya, majelis hakim mengulas pengerusakan barang bukti laptop dalam kasus tersebut.
"Bagaimana ceritanya?," tanya hakim di PN Jaksel, Selasa (6/12/2022).
"Karena malam Pak Ferdy sempat menelpon saya lagi," jawabnya.
"Apa yang disampaikan?," tanya hakim lagi.
"Sudah kamu kerjakan belum. Saya bilang siap sudah, padahal laptopnya masih dibawa Baiquni," jawabnya.
Setelah terdakwa Baiquni Wibowo menyerahkan laptop kepadanya, lanjut Arif, dia mengabarkan kepada Ferdy Sambo bahwa seluruh data sudah disalin dan diformat. Kemudian, dia merusak laptop tersebut meski sempat ragu dan menyimpannya sementara.
"Saudara ragu makanya tidak musnahkan? Apa yang buat saudara ragu?," tanya hakim.
"Seperti yang disampaikan oleh saudara Chuck, karena saya mendengar hal yang berbeda yang disampaikan oleh Kapolres, yang disampaikan oleh Pak FS berbeda dengan apa yang ada di CCTV," jawabnya.
Arif mengaku disanksi penempatan khusus (Patsus) pada 8 Agustus 2022 dan mengikuti sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP). Hasilnya, dia dinyatakan bersalah dan dipecat alias Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari kepolisian.
"Saat ini dijadikan terdakwa bagaimana perasaan saudara?," tanya hakim.
"Sedih Yang Mulia. Saya hanya bekerja," jawab Arif sambil menangis.
"Bagaimana?," tanya hakim.
"Hanya bekerja Yang Mulia, siap," sahutnya dengan suara bergetar.
Reporter: Bachtiarudin Alam
Sumber: Merdeka.com