Penyandang Disabilitas Mental Rentan Kena Diskriminasi di Ranah Hukum

Berhadapan dengan hukum bukan hal mudah bagi setiap orang terutama yang memiliki disabilitas mental.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 09 Des 2022, 10:00 WIB
Pasien ODGJ di Yayasan Jamrud Biru, Kota Bekasi, melakukan kegiatan senam bersama yang diadakan pihak Puskesmas Mustikasari. (Foto: Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Berhadapan dengan hukum bukan hal mudah bagi setiap orang, terutama yang memiliki disabilitas mental.

Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) atau orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) acap kali berhadapan dengan masalah yang mereka lakukan dalam kondisi jiwa yang tidak sehat.

Dalam memberikan keterangan terkait kasus yang dihadapi, orang-orang dengan disabilitas mental membutuhkan bantuan dari berbagai pihak termasuk psikiater.

Data dari berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 5 orang yang menjalani proses hukum sebenarnya mengalami masalah kesehatan jiwa. Kondisi ini berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak mereka untuk berpartisipasi penuh dan mendapatkan keadilan.

Masalah kesehatan jiwa yang ditemukan di ranah hukum pun sangat beragam. Misalnya gangguan yang menyebabkan seseorang kesulitan membedakan kenyataan dan khayalan, gangguan suasana perasaan yang menetap seperti depresi.

Ada pula gangguan mengatur perilaku seperti yang dialami orang dalam kondisi mania dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Serta perbedaan dalam cara menerima dan merespons informasi, seperti spektrum autisme dan disabilitas intelektual.

Menurut Kepala Divisi Psikiatri Forensik Dept. Psikiatri FKUI-RSCM Dr. dr. Natalia Widiasih, SpKJ(K), MPd.Ked, gangguan jiwa tidak serta-merta menghilangkan hak dan kewajiban seseorang di mata hukum. Namun, diperlukan pendekatan yang tepat secara klinis maupun legal untuk mencapai penyelesaian masalah.

“ODGJ/ODMK masih rentan mengalami diskriminasi dan tidak terpenuhi hak-haknya saat berhadapan dengan hukum,” kata Natalia dalam diskusi media Ruang Tamu Eugenia Communications Kamis (8/12/2022).

“Karena masyarakat dan penegak hukum belum sepenuhnya mengenal ragam manifestasi masalah kesehatan jiwa, apalagi banyak ODGJ/ODMK yang belum mendapatkan layanan kesehatan jiwa yang dibutuhkan,” tambahnya.


Pedoman KBAP

Kesulitan ODGJ/ODMK saat menghadapi kasus hukum ini melatarbelakangi tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) meluncurkan pedoman Kemampuan Berpikir Analisis Psikomedikolegal (KBAP) dan modul pelatihannya.

Pedoman ini merupakan sebuah inovasi untuk membantu psikiater melakukan pemeriksaan psikiatri forensik yang efektif dan efisien.

KBAP merupakan panduan yang dapat membantu tercapainya pemeriksaan kecakapan mental yang berkualitas sebagai salah satu cara untuk memenuhi hak ODGJ/ODMK dalam sistem hukum di Indonesia.

Psikiatri forensik sendiri merupakan cabang subspesialistik dari psikiatri. Tugasnya, menjawab kebutuhan sistem hukum untuk menganalisis kondisi psikologis seseorang dan memberikan penjelasan pada pihak yang berwenang.

Penjelasan dari psikiatri forensik dapat menjadi pertimbangan saat pihak berwenang mengambil keputusan di seluruh ranah hukum. Peran psikiatri forensik dalam masalah hukum mencakup pada hukum pidana, perdata dan administrasi.


Contoh Penanganan Kasus

Contohnya, pada kasus seorang ibu tunggal yang mengalami gangguan depresi sampai mendengar suara-suara halusinasi yang membuatnya membunuh ketiga orang anaknya.

Psikiater forensik akan menjelaskan bagaimana gangguan depresi yang sedemikian berat akan membuat ibu tersebut tidak bisa berpikir logis sesuai realita sehingga tidak bisa mengarahkan perilakunya.

Ini dapat membantu dalam pembuatan putusan di pengadilan terkait layanan dan dukungan kesehatan jiwa yang dibutuhkan, bukan sekedar hukuman penjara.

“Tidak semua gangguan jiwa dapat dideteksi dengan mudah karena sebenarnya hanya sedikit sekali gangguan jiwa yang memenuhi stereotip di mata awam, seperti yang berbicara sendiri, berhalusinasi, atau berperilaku kacau,” kata Natalia.

Sebaliknya, mayoritas akan terlihat seperti orang biasa tanpa ada perubahan yang mencolok bila hanya dilihat sekilas. Seperti pada gangguan depresi dan kecemasan, dua gangguan jiwa yang paling lazim ditemukan di masyarakat.

Tidak heran banyak aparat penegak hukum yang tidak menyadari saat mereka sedang berhadapan dengan ODGJ/ODMK.


Layanan Psikiatri Forensik Belum Merata

Kondisi kejiwaan juga merupakan sesuatu yang kompleks, multifaktorial, dinamis dan situasional.

 “Di lain sisi, layanan psikiatri forensik di Indonesia juga masih berada dalam proses perkembangan sehingga belum sepenuhnya merata di Indonesia,” jelas Natalia.

Jumlah konsultan psikiatri forensik masih sangat terbatas, hanya 8 orang yang masih aktif memberikan layanan psikiatri forensik. Sehingga, mayoritas pemeriksaan psikiatri forensik dilakukan oleh psikiater umum. Namun, penelitian berskala nasional menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen psikiater Indonesia memilih untuk merujuk kasus ke konsultan karena mempersepsikan kasus psikiatri forensik sebagai sesuatu yang sulit dan “berbahaya.”

Aturan yang berkaitan dengan ODGJ/ODMK yang berhadapan dengan hukum saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi pendekatan restorative justice terkini. Termasuk dalam menentukan batasan-batasan psikologis yang dimaksud dalam aturan dan juga tindak lanjut yang berbasis bukti ilmiah sehingga psikiater kerap menemukan jalan buntu dalam menangani kasus.

Kasus psikiatri forensik juga masih identik dengan tingginya risiko konflik medikolegal atau tuntutan dari pihak-pihak yang terlibat, karena memang dalam kasus hukum akan selalu ada pihak-pihak yang berseberangan.

Terlebih lagi dengan pemanfaatan media sosial masa kini, konflik medikolegal sering meluber ke ranah umum dan mengundang tekanan dari pihak-pihak eksternal.

INFOGRAFIS JOURNAL_Fakta Permasalahan Kesehatan Mental Remaja di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya