Liputan6.com, Jakarta Pasal-pasal bermasalah terkait kesehatan menjadi alasan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menyayangkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
RKUHP telah disahkan menjadi Undang-Undang melalui sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 6 Desember 2022.
Advertisement
Menurut organisasi masyarakat ini, sejak draft RKUHP versi 4 Juli 2022 keluar, CISDI sudah melakukan audiensi dan penyerahan policy brief ke Komisi III DPR RI melalui salah satu anggotanya yakni Arsul Sani.
“CISDI juga telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) ke anggota Komisi III DPR RI lainnya, yaitu Taufik Basari dari Fraksi Nasdem,” kata Chief of Research and Policy CISDI, Olivia Herlinda kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks, Kamis (8/12/2022).
Selain itu, CISDI juga ikut menitipkan pembahasan kembali pasal-pasal bermasalah dan menggelar beberapa kali audiensi dengan koalisi RKUHP nasional.
“Setelah ini, kami akan memperkuat koalisi untuk terus mendorong advokasi ke DPR dan pemerintah, selain mengawal proses transisi.”
Menurut CISDI, RKUHP tinggal menunggu tanda tangan presiden. Kalau pun presiden tidak menandatangani, RKUHP akan tetap berlaku kecuali presiden mengeluarkan instrumen lain, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU).
“Proses JR pun melihat pembelajaran lalu juga cukup sulit, namun kami tetap optimis untuk bisa terus mendorong revisi dan perubahan bersama dengan koalisi.”
Organisasi ini melihat bahwa pengesahan RKUHP terburu-buru padahal masih ada pasal yang bermasalah. Yakni pasal 408 dan 410 mengenai akses alat kontrasepsi.
4 Hal yang Disayangkan
Lebih lanjut, Olivia Herlinda menjabarkan empat hal yang disayangkan oleh CISDI yakni:
1. Menyayangkan pengesahan RKUHP melalui mekanisme dan prosedur yang sangat terburu-buru dan minim pelibatan masyarakat sipil, khususnya dalam bidang kesehatan, gender, dan Hak Asasi Manusia (HAM)
2. Mengecam DPR RI dan Kemenkumham RI yang terburu-buru mengesahkan RKUHP dengan pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mencederai nilai-nilai demokrasi
3. Mengecam DPR RI yang meloloskan pasal-pasal yang berpotensi menurunkan capaian kesehatan masyarakat
4. Mendorong seluruh elemen masyarakat mengawal proses KUHP pasca pengesahan yang implementasinya akan dilakukan dalam 3 tahun ke depan.
“Masyarakat sipil melihat Rancangan KUHP versi 30 November oleh Kementerian Hukum dan HAM masih belum secara utuh mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil, terutama terkait kesehatan, gender, dan kelompok rentan,” kata Olivia.
Advertisement
Dampak Kesehatan dan Gender Tidak Diperhitungkan
Dalam proses pembahasannya, RKUHP sejauh ini luput dari pertimbangan perspektif kesehatan masyarakat, lanjut Olivia. Sehingga dampaknya terhadap bidang kesehatan, gender, kerentanan, dan hak asasi manusia tidak diperhitungkan.
“Khususnya pada pasal terkait kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian CISDI, adanya muatan sanksi pidana pada pasal 408 dan 410 mengenai alat pencegah kehamilan akan berdampak pada terbatasnya akses anak-remaja terhadap promosi kesehatan seksual dan reproduksi,” katanya.
Hal ini juga berpotensi menurunkan capaian kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya pada anak-remaja dalam jangka panjang.
“Pengesahan RKUHP menyulitkan upaya mencapai target kesehatan seksual dan reproduksi yang sebenarnya telah direncanakan pemerintah sendiri.”
“Dengan adanya sanksi pidana, pasal ini rentan mengkriminalisasi elemen masyarakat yang selama ini menjadi relawan atau tergabung dalam komunitas edukasi kesehatan seksual dan reproduksi,” kata Olivia.
3 Hal Krusial
Di sisi lain, CEO dan Pendiri CISDI Diah Saminarsih juga mencatat ada tiga hal krusial soal RKUHP.
Pertama, pasal 410 melarang menunjukkan alat pencegah kehamilan pada anak yang merupakan salah satu bentuk promosi kesehatan seksual dan reproduksi.
Ini berpotensi menurunkan capaian kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia yang saat ini cukup rendah. Pasal ini juga menetapkan sanksi pidana bagi siapa saja yang mempertunjukkan alat pencegah kehamilan pada anak-remaja.
Hal krusial kedua yang menjadi catatan CISDI adalah pasal 408 dan 410 menyatakan hanya petugas berwenang dan relawan ditunjuk pemerintah yang boleh memberi edukasi alat pencegah kehamilan pada anak.
Ini berpotensi membuat pendekatan layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik, menghambat kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat sipil. Dan membatasi pendekatan informal untuk edukasi kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif.
Ketiga, pasal 410 yang membuat layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik berisiko membatasi informasi anak dan remaja dengan HIV terhadap edukasi seksual dan reproduksi yang komprehensif.
Advertisement