Dewan Pers Nilai Sederet UU KUHP Ancam Kebebasan Pers

Dalam UU KUHP juga masih terdapat pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi para pekerja pers termasuk wartawan. Dimana, bisa juga berpotensi mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Des 2022, 08:58 WIB
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memberikan isyarat saat rapat paripurna DPR di Jakarta, Selasa (6/12/2022). DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi Undang-Undang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Pers menilai pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) oleh DPR RI menjadi Undang-Undang (UU) KUHP dinilai bisa mengancam kebebasan dan kemerdekaan pers.

Pasalnya, UU KUHP yang diketok pada sidang paripurna DPR RI, Selasa, 6 Desember 2022 lalu. Disahkan diambil dengan mengabaikan minimnya partisipasi dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers.

"Kami menilai ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam RUU KUHP yang baru disetujui oleh Pemerintah dan DPR untuk disahkan menjadi UU KUHP itu tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers," kata Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers, Arif Zulkifli dalam keterangan tertulisnya, Kamis (8/12).

Tidak hanya itu, dalam UU KUHP juga masih terdapat pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi para pekerja pers termasuk wartawan. Dimana, bisa juga berpotensi mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

"Namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi," kata Arif.

Arif menambahkan, ketentuan-ketentuan pidana pers dalam KUHP, mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Padahal unsur penting berdemokrasi harus mencakup adanya kemerdekaan berekspresi, berpendapat, serta pers. 

"Dalam kehidupan yang demokratis, kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia hakiki," sambung dia.

Dewan Pers mencatat pasal-pasal UU KUHP yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kemerdekaan pers, kemerdekaan berpendapat, dan berekspresi, sebagai berikut: 

1. Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

 

2. Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. 

 

3. Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah. 

 

4. Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong. 

 

5. Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.

 

6. Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.

 

7. Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.

 

8. Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.

 

9. Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran.

 

10.Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.

 

11.Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

 

 

 


DPR Sahkan UU KUHP

Mural bertulis 'Menolak RKUHP Bukan Menunda' terpampang pada dinding di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta, Selasa (1/10/2019). Mural tersebut respons dari seniman Jakarta terhadap RUU KUHP yang dinilai mencederai tatanan demokrasi. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-undang dalam rapat paripurna hari ini, Selasa (6/12). Pengesahan tersebut dilakukan usai laporan dari Ketua Komisi III DPR mengenai pembahasan RKUH oleh Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul.

Rapat paripurna kali ini dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang didampingi oleh Rachmat Gobel dan Lodewijk Freidrich Paulus.

Dasco pun menanyakan kepada para anggota DPR RI yang hadir dalam rapat paripurna mengenai persetujuan RKUHP menjadi UU.

"Apakah RUU KUHP dapat disahkan jadi UU," kata Dasco

"Setuju," jawab para anggota.

Sementara, Bambang Pacul dalam laporannya menjelaskan bahwa Komisi III DPR RI bersama pemerintah telah mengakomodir masukan dari berbagai pihak. Dia menyampaikan pembahasan RUU KUHP merupakan langkah besar bangsa Indonesia dalam mereformasi hukum pidana dalam rangka hukum yang demokratif.

"RKUHP sangat amat dibutuhkan oleh masyarakat terutama mereformasi hukum skala nasional, dengan perkembangan zaman. Urgensi RUU KUHP dalam melakukan reformasi di bidang hukum sebagaimana tujuan pembangunan nasional dan mencipatkan masyarakat yang adil dan makmur serta prinsip persamaan dan HAM," kata Bambang Pacul.

 

Infografis Revisi KUHP Hidupkan Kembali Pasal Karet? (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya