Liputan6.com, Jakarta Sebagian orang dengan disabilitas mental tertentu acap kali melakukan tindakan berbahaya yang menghadapkannya pada proses hukum.
Menurut Direktur Advokasi dan Jaringan di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi SH, MH., di ranah hukum, kondisi kejiwaan seorang tersangka tindak pidana memang menjadi salah satu pertimbangan dalam melanjutkan proses pemeriksaan. Namun, kondisi itu tidak serta merta menjadikan tersangka dapat dibebaskan dari hukuman.
Advertisement
Dalam menangani kasus yang dilakukan oleh terduga penyandang gangguan kesehatan mental, perlu dilakukan penilaian lengkap kasus per kasus dan orang per orang, tidak dapat digeneralisasi.
“Aparat penegak hukum perlu melakukan pembuktian atas kondisi kejiwaan tersangka untuk dua hal. Yaitu pertama, kondisi pelaku ketika terjadi tindak pidana untuk memastikan apakah pelaku dapat mempertanggungjawabkan tindakannya atau tidak,” kata Fajri dalam diskusi media Ruang Tamu Eugenia Communications Kamis (8/12/2022).
Kedua, kondisi pada saat pemeriksaan. Ini dilakukan untuk memastikan tersangka siap diperiksa dan menentukan dukungan apa yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum. Tujuannya, agar proses pemeriksaan dapat berjalan dengan baik dan informasi yang disampaikan oleh tersangka dapat dipahami dengan baik oleh aparat penegak hukum.
“Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP sudah diatur perihal dasar pemaaf yang dapat dimaknai bahwa jika seseorang mengalami gangguan kejiwaan pada saat melakukan tindak pidana, sehingga tidak dapat bertanggung jawab atas tindakannya itu, maka tidak dipidana." Lalu pada Pasal 44 ayat (2) diatur bahwa hakim dapat memerintahkan pemberian pengobatan kepada orang tersebut.
Perlu Pemeriksaan Ahli
Untuk sampai kepada simpulan bahwa seseorang mengalami gangguan kejiwaan ketika melakukan tindak pidana, tidak dapat hanya diterka atau dinilai oleh pihak awam.
Perlu pemeriksaan ahli yang dilakukan berdasarkan prosedur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakan Hukum.
Penilaian personal oleh ahli terkait dengan kondisi kejiwaan tersangka atau terdakwa itu juga dapat dijadikan dasar untuk aparat penegak hukum memberikan dukungan layanan atau fasilitas.
Layanan dan fasilitas yang dimaksud adalah untuk memperlancar proses pemeriksaan terhadap seseorang dengan disabilitas mental. Ini sudah diatur pula dalam PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
Advertisement
Ahli yang Terlibat
Ahli yang terlibat dalam menyimpulkan kondisi kejiwaan tersangka adalah psikiatri forensik.
Psikiatri forensik merupakan cabang subspesialistik dari psikiatri. Tugasnya, menjawab kebutuhan sistem hukum untuk menganalisis kondisi psikologis seseorang dan memberikan penjelasan pada pihak yang berwenang.
Psikiatri forensik erat kaitannya dengan orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental yang berhadapan dengan hukum. Seperti orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) atau orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).
Penjelasan dari psikiatri forensik dapat menjadi pertimbangan saat pihak berwenang mengambil keputusan di seluruh ranah hukum. Peran psikiatri forensik dalam masalah hukum mencakup pada hukum pidana, perdata dan administrasi.
Contoh Penanganan Kasus
Kepala Divisi Psikiatri Forensik Dept. Psikiatri FKUI-RSCM Dr. dr. Natalia Widiasih, SpKJ(K), MPd.Ked, memberi contoh penanganan terhadap kasus kriminal yang dilakukan orang dengan gangguan mental.
“Contohnya, pada kasus seorang ibu tunggal yang mengalami gangguan depresi sampai mendengar suara-suara halusinasi yang membuatnya membunuh ketiga orang anaknya,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Psikiater forensik akan menjelaskan bagaimana gangguan depresi yang sedemikian berat akan membuat ibu tersebut tidak bisa berpikir logis sesuai realita sehingga tidak bisa mengarahkan perilakunya.
Ini dapat membantu dalam pembuatan putusan di pengadilan terkait layanan dan dukungan kesehatan jiwa yang dibutuhkan, bukan sekadar hukuman penjara.
Peran psikiatri forensik menjadi penting karena tidak semua gangguan jiwa dapat dideteksi dengan mudah. Sebagian ada yang terlihat, tapi sebagian lain tak terlihat layaknya masyarakat umum.
Advertisement