Liputan6.com, Yangon - Orang tua dari tujuh mahasiswa yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer di Myanmar sedang mengajukan banding atas hukuman tersebut. Hal tersebut disampaikan oleh Thein Shwe, ayah Hein Htet, salah seorang dari tujuh mahasiswa Universitas Dagon yang dijatuhi hukuman mati pada 30 November lalu oleh pengadilan militer tertutup di dalam penjara Insein Yangon.
“Kami tidak keberatan jika mereka mengubah hukumannya menjadi penjara seumur hidup karena yang utama adalah menjaga anak-anak kami tetap hidup. Kami telah berkonsultasi dengan pengacara untuk mengajukan banding, dan melakukan segala cara yang kami bisa,” ujarnya pada VOA.
Advertisement
Pengadilan militer memvonis ketujuh mahasiswa itu karena terlibat penembakan di Yangon pada bulan April lalu, yang menewaskan seorang mantan perwira militer. Ketujuh orang itu ditangkap tak lama setelah penembakan tersebut.
Tujuh mahasiswa itu adalah Hein Htet, Thura Maung Maung, Khant Zin Win, Zaw Lin Naing, Thiha Htet Zaw, Thet Paing Oo dan Khant Linn Maung Maung. Semuanya berusia 20-an tahun, dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (9/12/2022).
Junta militer Myanmar tidak merilis pernyataan apapun terkait hukuman mati tersebut.
Anggota keluarga ketujuh mahasiswa itu mengatakan kepada VOA bahwa mereka tidak diberitahu secara resmi oleh pihak berwenang tentang hukuman mati tersebut.
“Kami juga tidak bisa bertanya pada pihak berwenang. Kami mengetahui hukuman mati mereka dari media sosial,” ujar salah seorang saudara Thura Maung Maung.
“Kami (anggota keluarga.red) diberi tahu bahwa hukuman itu telah dikonfirmasi tetapi tidak dapat mengetahui kabar terbaru tentang kasus itu, atau kondisi mereka ketika kami pergi ke penjara Insein untuk mengantar paket perawatan pada 3 Desember lalu,” tambahnya.
Keluarga Tak Bisa Lihat Anaknya
Sejak perebakan pandemi virus corona, lapas Insein tidak mengizinkan tahanan menerima kunjungan, dan keluarga-keluarga mahasiswa ini tidak pernah melihat mereka sejak ditangkap delapan bulan lalu.
Menurut lembaga Assistance Association for Political Prisoners, pihak junta militer Myanmar telah menjatuhkan hukuman mati terhadap 138 orang, termasuk 41 orang secara in absentia, sejak kudeta pada 1 Februari 2021 lalu.
Junta militer mengeksekusi empat tahanan politik pada Juli lalu, termasuk aktivis demokrasi Ko Jimmy dan mantan anggota parlemen dari Liga Nasional Untuk Demokrasi NLD yang digulingkan, Phyo Zayar Thaw. Eksekusi mati itu merupakan hukuman mati pertama yang dilaksanakan di Myanmar dalam lebih dari 30 tahun.\
Advertisement
PBB: 7 Pelajar di Myanmar Jalani Hukuman Mati
Junta Myanmar menjatuhkan setidaknya tujuh vonis mati lagi minggu ini, sehingga total terpidana mati menjadi 139, menurut PBB.
Seorang juru bicara junta tidak menanggapi panggilan dari luar Myanmar yang meminta konfirmasi tentang hukuman mati terbaru. PBB menuduhnya menggunakan hukuman mati sebagai "alat untuk menghancurkan oposisi".
Dilansir Channel News Asia, Minggu (4/12/2022), Myanmar berada dalam kekacauan sejak pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi digulingkan dalam kudeta militer pada Februari 2021, yang mengakhiri periode singkat demokrasi di negara itu.
Setidaknya tujuh mahasiswa laki-laki dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer di balik pintu tertutup pada Rabu (30 November), Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk mengatakan dalam sebuah pernyataan.
“Dengan menggunakan hukuman mati sebagai alat politik untuk menghancurkan oposisi, militer menegaskan penghinaannya terhadap upaya ASEAN dan masyarakat internasional pada umumnya untuk mengakhiri kekerasan dan menciptakan kondisi untuk dialog politik untuk memimpin Myanmar keluar dari pelanggaran hak asasi manusia. krisis yang diciptakan oleh militer," kata Turk.
Laporan media lokal mengatakan bahwa mahasiswa yang berbasis di Yangon ditangkap pada bulan April dan dituduh terlibat dalam penembakan bank.
"Menjatuhkan hukuman mati pada mahasiswa adalah tindakan balas dendam oleh militer," kata serikat mahasiswa Universitas Dagon dalam sebuah pernyataan.
Selidiki Laporan Lain
PBB juga sedang menyelidiki laporan bahwa empat aktivis pemuda lainnya juga dijatuhi hukuman mati pada hari Kamis.
"Militer terus mengadakan proses di pengadilan rahasia yang melanggar prinsip-prinsip dasar peradilan yang adil dan bertentangan dengan jaminan inti peradilan independensi dan ketidakberpihakan," kata Turk.
Dia mengatakan bahwa sidang rahasia terkadang hanya berlangsung beberapa menit, dan mereka yang ditahan seringkali tidak memiliki akses ke pengacara atau keluarga mereka.
Advertisement