, Riyadh - Presiden China Xi Jinping tengah dalam lawatan kenegaraan ke Arab Saudi. Pada Jumat 9 Desember 2022, ia menemui pemimpin negara Arab di ibu kota Riyadh.
Mengutip DW Indonesia, Sabtu (10/12/2022), pertemuan digelar di hari ketiga kunjungan pertama Xi di Arab Saudi sejak 2016. Lawatannya itu merupakan tur luar negeri yang ketiga selama pandemi COVID-19.
Advertisement
Mereka kemudian menyepakati ragam perjanjian, mulai dari pengembangan energi hidrogen hingga perumahan, tanpa merinci lebih jelas.
Agenda pertemuan pada hari Jumat itu melibatkan enam negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan sejumlah negara Arab lain dalam KTT Arab-China yang digelar terpisah.
Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi dan Presiden Tunisia, Kais Saied, termasuk kepala negara yang sudah tiba sejak Kamis. Adapun Qatar, Lebanon, Irak dan sejumlah negara lain melengkapi undangan tuan rumah di Riyadh.
"Diversifikasi diplomasi dan ekonomi China akan bekerja sama dengan Arab Saudi dan negara-negara Arab untuk menjadikan kedua KTT sebagai sebuah pencapaian besar dalam sejarah hubungan China dan Arab atau China dan GCC,” kata Xi, Kamis 8 Desember dalam sebuah pernyataan yang disiarkan stasiun televisi pemerintah, CCTV.
Negara-negara Teluk sejatinya adalah sekutu lama Amerika Serikat. Kemesraan baru dengan China sebabnya dianggap sebagai pergeseran haluan ke Asia, antara lain demi diversifikasi ekonomi yang masih ditopang sektor energi.
China di pihak lain berusaha memperluas pengaruhnya. Beijing misalnya seringkali mengaitkan kedekatan diplomasi dengan proyek infrastruktur raksasa seperti Belt and Road Initiative, yang kini digarap di 149 negara di dunia.
Sejauh ini belum ada keterangan resmi terkait agenda pembahasan di kedua pertemuan di Riyadh. Salah satu topik yang masih mengganjal adalah perjanjian perdagangan bebas (FTA) antara China dan GCC yang sudah dibahas sejak dua dekade lalu.
Poros Baru Arab-China?
"China ingin menutup negosiasi panjang dengan sukses, karena perjanjian perdagangan bebas dengan blok ekonomi yang besar bernilai prestise bagi Beijing,” kata Robert Mogielnicki dari lembaga penelitian, Arab Gulf States Insitute, di Washington, AS.
"Situasinya tidak mudah bagi GCC, yang terlihat lebih tertarik pada perjanjian bilateral, karena mereka terlibat dalam kompetisi ekonomi regional antara sesama negara anggota,” imbuhnya.
Tercapainya FTA akan memudahkan Arab Saudi. Sebagai eksportir minyak dan perekonomian terbesar di Timur Tengah, Riyadh mencanangkan diversifikasi ekonomi melalui paket reformasi "Vision 2030” yang digulirkan Mohammed bin Salman.
Media-media pemerintah Saudi melaporkan, kedua negara menandatangani kesepakatan senilai USD 30 miliar selama kunjungan Xi.
Kendati demikian, Mogielnicki mengatakan komitmen tersebut masih harus dibuktikan. "Kalau menyangkut relasi antara China dan Timur Tengah, kita harus ingat bahwa menandatangani nota kesepakatan dan janji investasi jauh lebih mudah ketimbang mengalirkan dananya,” kata dia.
Advertisement
Ditanggapi Kritis
Lawatan Xi di Timur Tengah sendiri ditanggapi secara kritis oleh pemerintah di Washington. Rabu (7/12) kemarin, Gedung Putih memperingatkan terhadap "pengaruh yang dibangun China di seluruh dunia,” karena dianggap "tidak mendukung tatanan dunia berbasis hukum.”
Sebelumnya dilaporkan, Kunjungan Xi Jinping akan berlangsung selama tiga hari pada 7-9 November 2022.
Undangan berasal dari Raja Salman agar Xi Jinping dapat menghadiri tiga pertemuan tingkat tinggi: Saudi-Chinese Summit, the Riyadh Gulf-China Summit for Cooperation and Development, dan Riyadh Arab-China Summit for Cooperation and Development.
Dilaporkan Arab News, Rabu (7/12), ekonomi menjadi salah satu isu utama dalam kunjungan Xi Jinping. Republik Rakyat China diketahui menanam investasi besar di Kerajaan Arab Saudi.
Antara 2005-2020, Arab Saudi menerima porsi terbesar investasi China di Dunia Arab. Arab Saudi mendapatkan porsi 20,3 persen atau senilai US$ 196,9 miliar dari investasi China di kawasan tersebut.
Pada kunjungan terkini, Saudi-China akan menandatangani 20 perjanjian senilai 110 miliar riyal. Ada juga agenda harmonisasi Vision 2030 dari Arab Saudi dan Belt and Road Initiative (BRI) dari China.
Kedua negara turut bersiap meluncurkan SABIC-Fujian Petrochemical Industrial Group, sebuah joint venture senilai 22,5 miliar riyal. SABIC yang dimiliki oleh Saudi Aramco memiliki 51 persen saham.
Acara-acara pertemuan antara China-Arab Saudi akan dihadiri 30 pemimpin dan pejabat dari kedua negara dan organisasi-organisasi internasional.
Arab News juga mencatat berkembangnya hubungan budaya antara Arab Saudi dan Republik Rakyat China. Prince Mohammed bin Salman Award for Cultural Cooperation akan diluncurkan dalam kunjungan Presiden Xi.
Terkait bahasa, ada 44 universitas di China yang mengajarkan Bahasa Arab. Sejumlah universitas Saudi juga menawarkan kelas Bahasa China.
Kunjungan Pertama ke Arab Saudi Sejak 2016
Dilaporkan VOA Indonesia, lawatan ini akan mencakup pertemuan puncak bilateral yang dipimpin Raja Salman dan dihadiri putra mahkota Pangeran Mohammed bin Salman, penguasa de facto kerajaan itu, kata kantor berita resmi SPA.
Xi, pemimpin ekonomi terbesar kedua dunia, juga akan menghadiri KTT dengan para pemimpin dari Dewan Kerja Sama Teluk yang beranggotakan enam negara, dan melakukan pembicaraan yang mempertemukan para pemimpin dari kawasan lain di Timur Tengah, kata kantor berita pemerintah itu.
Kedatangan pemimpin China itu bersamaan dengan meningkatnya ketegangan antara Arab Saudi dan AS terkait berbagai isu mulai dari kebijakan energi hingga keamanan regional dan HAM.
Pukulan terbaru terhadap kemitraan yang telah terjalin puluhan tahun itu terjadi pada Oktober lalu sewaktu blok minyak OPEC+ setuju untuk mengurangi produksi hingga dua juta barel per hari, suatu langkah yang oleh Gedung Putih disebut “memihak Rusia” dalam perang di Ukraina.
Hari Minggu yang lalu, OPEC+ memilih untuk mempertahankan pemangkasan tersebut. China adalah pembeli minyak mentah terbesar Arab Saudi, dengan sekitar seperempat ekspor minyak Saudi.
Advertisement