, Melbourne - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) resmi disahkan menjadi undang-undang oleh pemerintah dan DPR. Meski respons negatif langsung mengalir karena banyaknya pasal kontroversial.
Terkait aturan tersebut, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) menyatakan sudah menambahkan informasi pengesahan KUHP ke dalam saran perjalanan bagi warganya yang hendak ke Indonesia.
Advertisement
Saran perjalanan ini dimuat dalam situs Smart Traveller yang memberikan informasi bagi warga Australia sebelum pergi ke luar negeri.
"Parlemen Indonesia telah meloloskan revisi KUHP, yang mencakup hukuman untuk kohabitasi dan seks di luar nikah," tulis DFAT di situs Smart Traveller Australia seperti dikutip dari ABC Australia, Sabtu (10/1/2022).
"Revisi ini belum akan berlaku sampai tiga tahun ke depan. Anda tunduk pada semua undang-undang dan hukum setempat, termasuk yang mungkin tampak keras menurut standar Australia. Teliti undang-undang setempat sebelum bepergian."
Meski demikian, pemerintah Australia tidak meningkatkan level risiko kunjungan ke Indonesia.
Menurut situs tersebut, kunjungan ke Indonesia masuk ke risiko level 2, dengan saran 'waspada tingkat tinggi.'
"Pada level 2, ada lebih banyak risiko dibandingkan [risiko] yang biasanya ditemukan di kota besar Australia. Kami tidak mengatakan 'jangan pergi' ke lokasi ini. Tetapi Anda harus melakukan riset dan mengambil tindakan pencegahan ekstra."
"Perhatikan baik-baik keamanan pribadi Anda dan situasi kesehatan saat ini. Pantau media untuk risiko baru dan yang sudah ada."
Perlukah Turis Asing Khawatir?
Kepala Dinas Pariwisata Badung yang mencakup kawasan wisata populer Kuta dan Nusa Dua mengatakan, turis asing tidak perlu khawatir dengan pengesahan KUHP.
"Seluruh wisatawan yang sudah ada saat ini dan calon wisatawan yang ingin berwisata ke Bali, tidak perlu merasa khawatir karena semua wisatawan akan tetap diperlakukan seperti biasa seperti yang diberlakukan sebelumnya," kata I Nyoman Rudiarta kepada Detik News.
"Tidak akan ada tindakan hukum terhadap wisatawan."Handy Heryudhitawan, General Manager Bandara Utama Bali, mengatakan penerbangan internasional, termasuk dari Australia, tetap beroperasi seperti biasa.
Dengan kedatangan orang asing ke Bali diperkirakan akan mencapai tingkat pra-pandemi sebesar 6 juta pada tahun 2025, dewan pariwisata nasional Indonesia menggambarkan hukum baru tersebut "benar-benar kontraproduktif".
Namun, Arie Ermawati, manajer Oberoi Hotel Bali, mengatakan tidak melihat akan ada masalah dari aturan baru tersebut.
"Peraturan itu hanya memperjelas dari yang kita miliki saat ini, hanya orang-orang tertentu yang berhak mengajukan pengaduan," katanya.
"Kami tidak khawatir dan tidak merasa itu akan berdampak pada bisnis kami."
Advertisement
Ada Sejumlah Batasan yang Meminimalkan Risiko
Karena pemberitaan media internasional yang terlalu fokus pada pasal perzinahan, mungkin banyak turis, termasuk dari Australia, yang menjadi takut datang ke Indonesia.
Tapi para ahli mengatakan turis tidak perlu terlalu khawatir terjerat undang-undang baru tersebut.
Dr Simon Butt, profesor dan direktur Pusat Hukum Asia dan Pasifik Universitas Sydney mengatakan larangan seks untuk pasangan yang belum menikah tidak mungkin mempengaruhi turis.
"Asalkan tidak ada pengaduan kepada polisi Indonesia," Profesor Butt memperingatkan.
"Polisi tidak dapat melakukan penyelidikan perzinahan atau hidup bersama tanpa pengaduan."
"Dan tidak sembarang orang bisa mengadu."
Sampai KUHP ini berlaku, larangan perzinahan yang sekarang ada, bukan seks pranikah, tetap berlaku.
Menurut Dr Ken Setiawan dari Asia Institute di University of Melbourne, karena pengaduan hanya bisa diajukan oleh anggota keluarga, hal itu mengurangi risiko turis.
"Ada batasan siapa yang dapat mengajukan laporan," kata Ken kepada ABC.
"Batasan itu ada. Itu mengurangi risiko orang asing dituntut."Namun, jika orang dituntut, mereka akan menghadapi hukuman satu tahun penjara atau denda maksimal 10 juta rupiah.
Hukuman yang Bisa Menjerat Turis Asing
Mereka yang datang ke Indonesia untuk berpesta juga menghadapi ancaman denda yang sama di bawah KUHP yang baru.
"Barangsiapa mabuk di tempat umum dan mengganggu ketertiban umum, atau mengancam keselamatan orang lain, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 10 juta," bunyi Pasal 316.
Selain itu, siapa pun yang memberi minuman kepada orang yang sudah mabuk juga bisa dituntut satu tahun penjara.
Siapa pun yang tertangkap dengan pornografi menghadapi hukuman penjara minimal 6 bulan, sedangkan mereka yang tertangkap berhubungan seks di depan umum akan dihukum satu tahun penjara.
Orang yang mengunjungi pura di Bali, atau tempat beribadah lainnya di Indonesia juga harus memastikan tidak mengotori tempat suci, termasuk patung dan sesejen jika di Bali.
Jika tidak, mereka berisiko dipenjara hingga satu tahun.
Banyak dari ketentuan ini adalah delik aduan, yang artinya tidak dapat ditegakkan secara aktif tanpa adanya pengaduan.
Orang Indonesia harus lebih khawatir
Namun, seberapa besar ketakutan turis dengan berlakunya KUHP baru ini, Dr Intan Paramaditha dari Macquarie University di Australia mengatakan rakyat Indonesia-lah yang seharusnya paling khawatir.
Ia mengatakan untuk mengerti efek dari KUHP ini, "kita perlu melihatnya bukan sebagai kemenangan konservatisme Islam seperti yang dipikirkan banyak orang, tetapi sebagai monster Frankenstein yang dibangun di atas berbagai kepentingan yang saling berhadapan."
"Ini adalah hasil negosiasi antara berbagai partai politik, baik sekuler maupun Islamis, dengan tujuan politik yang berbeda sehingga berisi banyak peraturan draconian, tetapi jika dibaca dengan cermat, juga memuat banyak pengecualian."
"Itu sebabnya saya pikir yang paling mengkhawatirkan bukanlah khusus tentang seks di luar nikah."
Intan menambahkan dengan pendekatan neoliberal, pemerintah Indonesia yang semakin agresif saat ini untuk merebut posisi yang lebih kuat di pasar global, pariwisata dan industri kreatif akan tetap menjadi prioritas.
"Makanya bukan pariwisata yang kita khawatirkan, tapi berkurangnya ruang berpikir kritis." Intan mencontohkan pasal larangan tentang pengetahuan tertentu yang dapat dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
"Gagasan tersebut bisa berupa apa saja, seperti gagasan kemerdekaan Papua Barat, yang bisa dimaknai berseberangan dengan persatuan bangsa dalam Pancasila."
Meski undang-undang mengizinkan diskusi ini dilakukan di universitas dan lembaga penelitian, menurut Intan tidak mudah untuk menyelenggarakan diskusi publik yang kritis sehingga pengetahuan akhirnya hanya akan dapat diakses oleh elit intelektual, sementara masyarakat dianggap tidak siap untuk ide-ide berbahaya.
"Dalam hal ini publik sebagai massa yang miskin informasi dan mudah terprovokasi seperti yang digambarkan kediktatoran Suharto dipertahankan, dan ini adalah masalah yang lebih dalam dari hukum ini."
Advertisement