Stiff Person Syndrome Seperti yang Dialami Celine Dion, Bisa Sembuh?

Penyanyi Celine Dion baru-baru ini didiagnosis dengan kelainan neurologis langka yang disebut Stiff Person syndrome yang menyebabkannya mengalami kejang otot yang parah.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 12 Des 2022, 13:00 WIB
Celine Dion umumkan dirinya kena gangguan saraf langka. (Instagram/ celinedion)

Liputan6.com, Jakarta Penyanyi Celine Dion baru-baru ini didiagnosis dengan kelainan neurologis langka yang disebut Stiff Person syndrome yang menyebabkannya mengalami kejang otot yang parah.

Dilansir dari Livescience, penyanyi ikonik itu mengumumkan hal tersebut pada 8 Desember 2022 melalui sebuah video Instagram.

"Kami sekarang tahu inilah yang menyebabkan semua kejang yang saya alami," kata Celine dalam video tersebut.

"Sayangnya, kejang ini memengaruhi setiap aspek kehidupan sehari-hari saya, terkadang menyebabkan kesulitan saat berjalan dan tidak memungkinkan saya menggunakan pita suara untuk bernyanyi seperti biasanya."

Karena gejala tersebut, penyanyi tersebut sebelumnya menunda pembukaannya pada saat pertunjukan baru di Las Vegas.

Rencananya acara itu akan dibuka pada tahun 2021, namun ditunda dan pertunjukan yang dibatalkan dalam "Courage World Tour," telah diundur ke tahun 2022 setelah terganggu oleh pandemi COVID-19 yang dimulai pada tahun 2020.

Dion kini telah mengumumkan bahwa ia akan menunda pertunjukan musim semi yang dijadwalkan dan membatalkan pertunjukan musim panasnya.

"Bagi saya yang ingin segera bertemu Anda (penggemar) lagi, saya tidak punya pilihan selain berkonsentrasi pada kesehatan saya saat ini, dan saya berharap bahwa saya segera pulih," kata Celine.

Menurut Johns Hopkins Medicine, Stiff-Person syndrome mempengaruhi sekitar 1 hingga 2 dari 1 juta orang. Kondisi ini mempengaruhi wanita dua kali lebih banyak daripada pria, dikutip dari Genetic and Rare Diseases Information Center (GARD).

 


Sekilas Tentang Stiff Person Syndrome

Stiff-Person syndrome kemungkinan disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang secara tidak sengaja menyerang sel-sel saraf di otak dan sumsum tulang belakang.

Sel-sel saraf ini biasanya akan membantu mengendalikan kontraksi otot, sehingga sel-sel saraf semakin hancur, pasien mengalami kekakuan spontan pada batang tubuh dan anggota badan, serta kejang otot yang hebat dan sporadis.

Suara keras, gerakan tiba-tiba, dan tekanan emosional dapat memicu kejang ini, yang terkadang cukup kuat untuk mematahkan tulang, menurut GARD.

Menurut Yale Medicine, salah satu reaksi autoimun yang diduga menyebabkan sindrom tersebut secara khusus menargetkan enzim yang disebut dekarboksilase asam glutamat (GAD), yang diperlukan untuk menghasilkan respons kimia yang disebut GABA.

GABA berfungsi sebagai rem untuk sel-sel saraf pengontrol otot, jadi ketika GABA terlalu sedikit, rem itu terlepas dan sel-sel dapat bergeser menjadi overdrive.

Diperkirakan 60% sampai 80% pasien dengan sindrom ini membawa antibodi terhadap GAD, sementara yang lain dengan kelainan ini mungkin membawa antibodi lain atau menunjukkan tanda autoimunitas lainnya. 

 


Berkaitan dengan Autoimun dan Diabetes Tipe 1

Antibodi GAD tertentu juga ditemukan pada penderita diabetes tipe 1, di mana sistem kekebalan menyerang sel penghasil insulin di pankreas.

Orang dengan Stiff-Person syndrome sering kali menderita diabetes tipe 1 atau kelainan autoimun lainnya, seperti vitiligo atau anemia pernisiosa.

Orang dengan jenis kanker tertentu juga memiliki risiko tinggi terkena sindrom tersebut, meskipun belum diketahui jelas alasan atau penyebabnya, dikutip dari Yale.

 


Apakah Stiff Person Syndrome Bisa Sembuh?

Tidak ada obat untuk menyembuhkan Stiff Person Syndrome. Namun penderitanya bisa melakukan perawatan untuk meredakan gejala.

Secara umum, obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Stiff Person syndrome bertindak sebagai pengganti GABA pasien yang hilang atau membantu menekan aktivitas autoimun berbahaya mereka, ujar Dr. Scott Newsome, direktur Stiff Person Syndrome Center Johns Hopkins.

Perawatan ini dapat mencakup obat penenang, pelemas otot, steroid, dan imunoterapi.

Toksin botulinum (BOTOX) juga dapat digunakan untuk mengobati kejang otot dan kekakuan, dan berbagai terapi fisik dan pekerjaan juga dapat membantu pasien.

Tingkat keparahan gejala dan tingkat penurunan bervariasi antara orang; beberapa melihat gejala mereka stabil untuk sementara waktu sementara yang lain terus memburuk, dikutip dari Cleveland Clinic. Meskipun sindrom ini dapat ditangani dengan pengobatan, namun dapat menyebabkan komplikasi yang mempersingkat harapan hidup.

Infografis 5 Gejala Sakit Kepala Akibat Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya