Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Kecam Invasi Putin ke Ukraina

Para pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini dari Ukraina, Rusia, dan Belarus menyatakan visi mereka tentang dunia yang lebih adil dalam upacara penghargaan pada Sabtu (10/12).

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Des 2022, 08:02 WIB
Ilustrasi perang Rusia Ukraina. (Unsplash/Ahmed Zalabany @zalab8)

Liputan6.com, Kyiv - Para pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini dari Ukraina, Rusia, dan Belarus menyatakan visi mereka tentang dunia yang lebih adil dalam upacara penghargaan pada Sabtu (10/12). Mereka juga mengecam perang yang dilancarkan Presiden Rusia Vladimir Putin terhadap Ukraina.

Oleksandra Matviichuk dari Pusat Kebebasan Sipil Ukraina mengecam seruan untuk kompromi politik yang akan memungkinkan Rusia mempertahankan beberapa wilayah Ukraina yang dianeksasi secara ilegal. Dia mengatakan bahwa "memperjuangkan perdamaian tidak berarti menyerah pada tekanan agresor, itu berarti melindungi orang-orang dari kekejamannya."

"Perdamaian tidak bisa dicapai oleh negara yang diserang dengan meletakan senjata," ujarnya. Suaranya bergetar dengan emosi. "Itu namanya bukan perdamaian, tapi pendudukan."

Matviichuk kembali menyerukan bahwa Putin - dan Presiden Belarus Alexander Lukashenko, yang menyediakan wilayah negaranya bagi pasukan Rusia untuk menyerang Ukraina - harus menghadapi pengadilan internasional, dikutip dari VOA Indonesia, Senin (12/12/2022).

"Kita harus membuktikan bahwa supremasi hukum dan keadilan itu ada, meski tertunda," katanya.

Matviichuk dinobatkan sebagai salah seorang pemenang Nobel Perdamaian 2022 bersama kelompok HAM Rusia Memorial, dan Ales Bialiatski, pemimpin kelompok HAM Belarus Viasna. Pada Sabtu (10/12), Hadiah Nobel lainnya dianugerahkan dalam sebuah upacara di Stockholm.


Rusia Kirim Rudal Gelombang ke-8 ke Ukraina

Anggota Divisi Lintas Udara ke-82 Angkatan Darat AS berjalan di landasan Lapangan Paus menjelang penempatan ke Polandia dari Fort Bragg, AS, 14 Februari 2022. Mereka termasuk di antara tentara AS yang dikirim untuk NATO karena khawatir Rusia akan menyerang Ukraina. (AP Photo/Nathan Posner)

Rusia kembali menembakan rudal ke Ukraina. Gangguan listrik kembali dilaporkan di Ukraina, terutama di bagian timur.

Dilaporkan BBC, Selasa (6/12/2022), pihak Ukraina berkata ada empat orang tewas dalam serangan terbaru ini. Serangan ini merupakan gelombang ke delapan dalam delapan pekan terakhir. 

Rusia berkata berhasil mengenai semua targetnya yang berjumlah 17 dalam serangan ini. Namun, Ukraina mengaku telah menangkal 60 dari 70 rudal yang ditembakkan Rusia.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berkata serangan Rusia turut mengenai persediaan listrik di Moldova. Aksi Rusia tersebut disebutnya sebagai serangan teroris.

"Ini sekali lagi membuktikan kemampuan Rusia untuk melaksanakan serangan-serangan teroris yang masif adalah ancaman yang tak hanya kepada Ukraina, tetapi ke seluruh kawasan," ujar Presiden Volodymyr Zelensky pada Senin malam.

Sebelumnya, serangan-serangan Rusia mengenai grid energi Ukraina. Jutaan orang pun kehilangan listrik dan penghangat, padahal musim dingin sedang tiba. Namun, serangan pekan ini tak separah yang sebelumnya.

Peringatan terhadap serangan Rusia ini telah beredar selama beberapa hari. Serangan terjadi beberapa jam setelah ada ledakan di dua pangkalan udara di Rusia. Pemerintah Rusia menyalahkan drones Ukraina.

Menteri Pertahanan Rusia berkata ada tiga prajurit tewas dan dua pesawat rusak ringan akibat ledakan tersebut. Pihak Ukraina belum berkomentar mengenai hal ini.

BBC mencatat serangan skala besar kepada power grid di Ukraina terjadi sejak 10 oktober. Sejak itu, sekitar setengah infrastruktur energi Ukraina telah rusak dan berdampak ke jutaan warga Ukraina.


Kanselir Jerman Olaf Scholz Bakal Terus Berunding dengan Putin hingga Rusia Mundur dari Ukraina

Menteri Keuangan Jerman Olaf Scholz berbicara dalam pertemuan partai Demokrat Sosial Hamburg di Hamburg, Jerman, Sabtu, 9 Juni 2018. (Markus Scholz / dpa via AP)

Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan pada Minggu 4 Desember 2022 merupakan sebuah kesalahan besar untuk berhenti berbicara sama sekali dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Dilansir VOA Indonesia, Senin (5/12), Scholz menyampaikan hal itu setelah dirinya dan Putin berbincang melalui sambungan telepon Jumat 2 Desember lalu untuk mendiskusikan invasi Rusia ke Ukraina yang masih berlanjut. 

"Itu sebabnya penting bagi presiden Prancis dan saya, sebagai perwakilan negara-negara G7 dan dua negara anggota NATO, untuk kembali mengupayakan dialog. Namun, tanpa ilusi," kata Scholz pada sebuah upacara penganugerahan penghargaan Hadiah Marion Doenhoff yang tahun ini diberikan kepada Irina Scherbakowa, pendiri organisasi HAM Rusia Memorial.

Scholz mengatakan dirinya membahas serangan Rusia terhadap infrastruktur energi Ukraina dan perlunya pasukan Rusia untuk mundur dari Ukraina dalam pembicaraan telepon itu.

"Saya akan terus melakukannya, berapa lama pun perbincangan itu berlangsung," tambah Scholz.

Dalam pidatonya sebelum menyerahkan hadiah itu kepada Scherbakowa, Scholz memuji perjuangan perempuan itu dan bahwa hadiah itu diberikan kepadanya untuk mewakili semua warga Rusia yang dapat membayangkan "masa depan Rusia yang berbeda, lebih baik dan lebih cerah."

Memorial juga menerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini bersama dengan pegiat hak asasi manusia asal Belarusia Ales Bialiatski dan organisasi HAM Ukraina Center for Civil Liberties.


Rusia Dilaporkan Bangun Pangkalan Militer Baru di Mariupol Ukraina

Presiden Rusia Vladimir Putin memegang teropong saat menonton latihan militer Center-2019 di lapangan tembak Donguz dekat Orenburg, Rusia, 20 September 2019. Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan bahwa dia tidak akan ragu menggunakan senjata nuklir untuk menangkal upaya Ukraina merebut kembali kendali atas wilayah yang didudukinya yang akan diserap Moskow. (Alexei Nikolsky, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP, File)

Rusia sedang mengkonsolidasikan kehadiran militernya di kota pelabuhan Mariupol Ukraina yang direbut dengan membangun pangkalan tentara besar, foto satelit yang dirilis dari perusahaan pengamatan Maxar tampaknya menunjukkan.

Kompleks baru berbentuk U ini terletak di dekat pusat kota. Di atapnya, bintang merah, putih dan biru tentara Rusia dapat dilihat, dengan huruf-huruf bertuliskan: "Untuk orang-orang Mariupol."

Maxar mengatakan bangunan itu tampaknya merupakan fasilitas militer Rusia, demikian seperti dikutip dari BBC, Minggu (4/12).

Namun BBC tidak dapat memverifikasi ini atau mengkonfirmasi untuk apa gedung baru itu digunakan.

Pasukan Moskow mengepung kota selama hampir tiga bulan awal tahun ini, dan rentetan artileri yang konstan meninggalkan sebagian besar reruntuhan.

Para pejabat Ukraina memperkirakan bulan lalu bahwa sekitar 25.000 warga sipil tewas dalam serangan itu, sementara PBB mengatakan telah mengkonfirmasi kematian 1.348 warga sipil, tetapi mengatakan jumlah korban tewas sebenarnya "kemungkinan ribuan lebih tinggi".

INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia? (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya