Liputan6.com, Jakarta Dewan Pers akan mengajukan judicial review atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terhadap pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan dan kebebasan pers ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Salah satu pilihannya memang kami akan mengajukan judicial review ke MK," kata Anggota Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro, saat menjadi pembicara dalam Bedah Modul Pedoman Peliputan Media Toleransi di Bogor, Minggu (11/12/2022).
Advertisement
Jauh hari sebelum disahkan, Dewan Pers telah melakukan pertemuan dengan beberapa fraksi di DPR dan Menkopolhukam Mahfud Md. Bahkan sudah mengajukan usulan reformulasi daftar inventarisasi masalah (DIM) RKUHP versi Dewan Pers.
"Kita juga datang ke Mahfud Md, datang ke fraksi juga. Ada 9 klaster 14 pasal supaya ada perbaikan," kata Ketua Komisi Kemitraan dan Infrastruktur Organisasi Dewan Pers periode 2022-2025 ini.
Sebab, hasil akhir reformulasi daftar inventarisasi masalah RKUHP versi Dewan Pers ditolak baik oleh eksekutif maupun legislatif.
"(Ledatangan Dewan Pers) waktu itu banyak dipuji-puji. Tapi dipuji-puji enggak penting, yang penting hasil akhir. (Tapi) hasil akhirnya ditolak semua," ungkap Atmaji.
Untuk itu, dia kembali menyatakan, Dewan Pers sangat keberatan dengan sejumlah pasal RKUHP dan akan segera mengajukan judicial review.
"Hak yang kami khawatirkan adalah akan terjadi potensi yang sangar besar atau self censorship yang berlebihan. Itu tidak bagus," ujar Atmaji.
Seperti dicontohkan dalam RKUHP, media massa dilarang untuk menyiarkan berita-berita yang belum teruji kebenarannya.
Bila berita tidak sesuai fakta, jurnalis dan media bisa dikenakan Pasal 263 dan Pasal 264.
"Ya kan sebelum dibuktikan di pengadilan semua tidak bisa diketahui kebenarannya. Wartawan atau media itu biasa menyampaikan informasi-informasi yang bisa jadi tingkat kebenarannya tidak 100 persen. Karena kebenaran di media bukan seperti di pengadilan. Itu yang harus disadari," pungkas Atmaji.
Disahkan
DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang. Pengesahan dilaksanakan dalam rapat paripurna ke-11 masa persidangan II tahun sidang 2022-2023, Selasa (6/12/2022).
Awalnya, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyampaikan laporan Komisi III terhadap pembahasan RKUHP. Selanjutnya, pimpinan sidang Sufmi Dasco memberikan kesempatan fraksi untuk menyampaikan catatan terkait RKUHP.
"Seluruh fraksi di Komisi III menyetujui di tingkat I. Namun, ada catatan dari Fraksi PKS," kata Dasco.
Namun, Fraksi PKS tidak memberikan catatan melainkan interupsi dan berujung terjadi perdebatan dan perwakilan PKS melakukan walk out.
Meski begitu, Dasco tetap melanjutkan paripurna dan meminta persetujuan kepada seluruh fraksi untuk mengesahkan RKUHP menjadi produk undang-undang.
"Apakah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dapat disahkan menjadi undang-undang?" ujar Dasco kepada peserta sidang.
"Setuju," jawab peserta rapat paripurna DPR RI.
Pimpinan sidang pun kemudian mengetuk palu tanda RKUHP tersebut resmi disahkan.
Advertisement
17 Pasal Ancam Kerja Jurnalis
Sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak DPR untuk menangguhkan pengesahannya dan memperbarui belasan pasal tersebut.
Ketua AJI Sasmito Mardim mengatakan, pihaknya bersama Dewan Pers telah mendiskusikan RKUHP bersama sejumlah pihak dan praktisi hukum. Tak hanya kelompok jurnalis yang menolak disahkannya RKUHP. Banyak lintas instansi penegak hukum yang menilai ada pasal-pasal yang multitafsir.
"AJI bersama Dewan Pers sudah menguji pasal-pasal yang baru dipublikasi oleh pemerintah dan DPR bulan lalu, itu kita uji ke aparat penegak hukum. Kita berdiskusi dengan aparat polisi, kita berdiskusi dengan jaksa, kita berdiskusi dengan Mahkamah Agung. Bahkan aparat hukum sendiri menilai pasal-pasal yang ada di RKUHP adalah pasal-pasal yang multitafsir yang akan menambah beban kerja aparat penegak hukum," ujar Sasmito saat berorasi di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin, 5 Desember 2022.
Oleh karena itu, lanjut dia, AJI bersama kelompok sipil lainnya telah membuat solusi agar RKUHP tersebut tidak bermasalah. Sasmito menegaskan solusi itu telah dikirimkan kepada DPR dan pemerintah.
Namun, hingga sehari sebelum rencana hari pengesahan, belum ada informasi yang diterima dari DPR dan pemerintah soal nasib solusi RKUHP yang dilayangkan AJI bersama kelompok sipil.
"Pemerintah dan DPR dengan mulut manisnya mengatakan akan mengakomodir kelompok sipil, ini kembali tidak dilakukan. Hari ini AJI di 40 kota menggelar aksi serempak menuntut dua hal yakni 17 pasal yang akan mengganggu kerja jurnalis dan pemerintah serta DPR menunda pengesahannya pada 6 Deember besok," kata Sasmito.
Sasmito mengatakan pembahasan RKUHP ini, tidak pernah melibatkan partisipasi kepada publik. Sehingga tidak ada ruang publik untuk memberikan masukan atau pendapat.
Yang terjadi adalah RKUHP ini hanya dilakukan sosialisasi sepihak dari pemerintah dan DPR. Sasmito menyebutkan posisi rakyat hanya diminta mengikuti keinginan pemerintah dan DPR.
Aksi menolak 17 pasal bermasalah di RKUHP di Bandung, Jawa Barat dilakukan 17 menit diam dengan menyalakan suara sirine.
"Kami juga mengajak rekan jurnalis di Bandung dan Jawa Barat, termasuk kawan-kawan pers mahasiswa untuk menyuarakan penolakan serupa," ucap Anggota DIvisi Advokasi AJI Bandung, Dikdik Ripaldi.
Dikdik meyakini pengesahan RKUHP bermasalah ini akan berdampak buruk bagi kerja jurnalis nantinya.
Jurnalis yang bertanggung jawab menyuarakan kepentingan publik dan mengawasi kinerja penguasa, berpotensi dikekang dan bahkan dikriminalisasi.
Dikdik menerangkan aksi ini merupakan ketiga digelar di Bandung dalam beberapa bulan terakhir.
"Kami melakukannya bersama kawan - kawan jejaring di Kota Bandung dan Jawa Barat," sebut Dikdik.
Minta Pihak yang Tak Setuju Gugat ke MK
Pemerintah dan DPR kompak meminta pihak-pihak yang tidak setuju dengan RKUHP yang telah disahkan, untuk menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM (MenkumHAM) Yasonna Laoly mengklaim pihaknya bersama Parlemen sudah mengakomodasi seluruh elemen masyarakat yang menilai revisi RKUHP masih bermasalah. Menurut dia, pengesahan hari ini adalah keputusan yang harus diambil dan bila ada yang berseberangan, dipersilakan menempuh jalur hukum.
"Bahwa ada yang pada akhirnya beda persepsi, iya. Tidak mungkinlah kita semua bisa menyetujui 100 persen. Belum ada Undang-Undang yang seperti itu. Kalau pada akhirnya nanti ada yang merasa tidak pas dan bahkan menyatakan bertentangan dengan konstitusi, silakan saja judicial review (JR)," ujar Yasonna saat ditemui di Istana Negara Jakarta, Selasa (6/12/2022).
Yasonna memastikan, Revisi KUHP yang sudah disahkan oleh Parlemen di Senayan kini tinggal menunggu salinannya dikirimkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk ditandatangani.
Selanjutnya pemerintah akan melakukan sosialisasi terhadap pedoman baru hukum pidana di Indonesia ini. Melalui berbagai cara nantinya akan dilakukan, mulai dari masuk ke dunia pendidikan hingga ke kelompok masyarakat.
"Ada 3 tahun untuk sosialisasi KUHP ini. Saya kira kita akan bentuk tim dari seluruh tim yang ada, dari kementerian, tim pakar kita yang ikut membahas dan ini akan dikirim ke daerah-daerah. Karena ini baru dan betul buatan anak bangsa," ujar Yasonna.
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul pun sepakat meminta masyarakat yang tidak merasa puas dengan pengesahan RKUHP untuk tidak melakukan demo. Dia menilai, bahwa RKUHP merupakan produk dari manusia sehingga, tidak akan pernah sempurna.
"Nah kalau ada yang memang merasa sangat mengganggu, kami persilakan kawan-kawan menempuh jalur hukum dan tidak perlu perlu berdemo," kata Pacul dalam konferensi pers, usai pengesahan RKUHP di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (6/12).
Pacul pun menyarankan kepada masyarakat yang tidak puas untuk menggugat RKUHP secara konstitusional ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Oleh karena itu yang belum sepakat terhadap pasal yang ada silakan mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi melalui judicial review," ujar Pacul.
Advertisement