Liputan6.com, Jakarta - Rangkaian prosesi pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono ditutup dengan acara resepsi pada malam hari di Pura Mangkunegaran, Minggu, 11 Desember 2022. Pasangan pengantin baru itu pun kembali mengganti busana dengan pakaian tradisional adat Jawa bernuansa merah.
Erina tetap mempertahankan riasan putri Solo dengan kebaya beludru berbenang emas warna merah. Sementara, Kaesang mengenakan sikepan beludru warna senada dengan kain jarik yang dikombinasikan dengan kuluk Mataram Islam. Hiasan kepala itulah yang menarik perhatian para hadirin.
Baca Juga
Advertisement
Kuluk hitam khas Raja Mataram Islam itu berhiaskan benang emas yang melambangkan status sosial penggunanya. Dikutip dari jurnal Representasi Visual Raja Yogyakarta dalam Sekat Politik Identitas (Analisis Semiotika Gambar Raja Mataram), kuluk sebagai tutup kepala dapat diresonansikan sebagai mahkota raja.
Terdapat beberapa jenis kuluk, seperti kuluk mathak dan kuluk kanigaran. Tetapi, yang dikenakan sebagai pelengkap busana Sultan berciri khas tidak disertai dengan rambut panjang yang terikat di bagian belakang. Kuluk yang dikenakan Kaesang mirip dengan model kuluk yang dikenakan Sultan Agung Hanyokrokusumo, yakni Sultan Mataram ke-3 sekaligus raja paling terkenal.
Dalam buku Kitab Terlengkap Sejarah Mataram yang ditulis Soedjipto Abimanyu, kuluk merupakan perlambang ketaatan seorang muslim. Berdasarkan catatan sejarah, Sultan Agung yang bernama kecil Raden Rangsang itu mengirim utusan ke Kesultanan Turki Ustmani sebagai pusat kekuasaan Islam terbesar di dunia pada masa itu.
Legitimasi Raja Mataram
Kapal utusan Mataram berlayar dari Jepara, singgah di Palembang hingga sampai ke Aceh. Pengiriman utusan itu bertujuan untuk memperkuat legitimasi dan pengakuan sebagai Raja Jawa di dunia Islam.
Utusan Mataram akhirnya berhasil menghadap Sultan Murad IV yang berkuasa hingga 1640. Ia menghadiahi Raden Rangsang gelar 'Sultan ‘Abdullah Muhammad Maulana Jawi Matarami' disertai bukti simbol tarbusy (tutup kepala) untuk mahkotanya, bendera, pataka, dan sebuah guci yang berisi air zam-zam. Utusan itu kembali ke Mataram dan tiba di Plered Bantul pada 1641.
Sejak itu, Raden Rangsang memiliki gelar baru Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami Susuhunan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah dan memantapkan dirinya sebagai pemimpin tertinggi agama Islam di Jawa. Akibatnya, kekuasaan wali yang saat itu dipegang Sunan Giri pun melemah dan harus tunduk pada raja.
Penutup kepala model tarbusy itu terus dikenakan oleh keturunan Sultan Agung dalam penobatan raja-raja Dinasti Mataram. Sepasang bendera berupa sejahit bagian Kiswah Ka’bah dan sejahit bagian satir makam Rasulullah menjadi pusaka kraton dan diberi nama Kyai Tunggul Wulung dan Kyai Pare Anom. Sementara, guci hingga kini berada di makam Sultan Agung dengan nama Enceh Kyai Mendung.
Advertisement
Dodotan Basahan Solo
Sebelum menggelar resepsi pada malam hari, Kaesang dan Erina menjalani prosesi ngunduh mantu yang berlangsung di Loji Gandrung pada pagi hari. Pasangan itu tampil dengan busana pengantin adat Jawa, dodotan basahan Solo.
Dikutip dari jurnal Kajian Estetika Busana Basahan Dodot Ageng Bangun Tulakdi Pernikahan Adat Pura Mangkunegaran yang ditulis Hanintia Elma Derista, dodot merupakan kain utama dari penggunaan busana basahan. Bahannya terbuat dari kain mori yang di pinggiriannya diberi prada emas dan di tengah kain terdapat kain putih berbentuk jajaran genjang.
Dikenal juga sebagai kampuh, dodot adalah sinjang yang lebarnya dua kali lebar kain jarik. Sementara, basahan dimaksudkan bahwa pengantin tidak memakai baju.
Menurut sejarah, terdapat benang merah antara busana basahan di Pura Mangkunegaran dan pakem yang ada di Keraton Kasunanan. Sri Susuhunan Pakubuwono II yang bertakhta di Kasunanan Surakarta Hadiningrat disebut yang merancang busana pengantin itu untuk menggantikan Paes Ageng yang dipakai di Keraton Yogyakarta.
Busana Adat Resmi
Busana itu akhirnya digunakan sebagai pakaian adat resmi kerajaan dalam upacara pernikahan di Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang seterusnya digunakan di Kadipaten Mangkunegaran. Perbedaan itu merupakan jawaban dari tantangan sosial politik sebuah kerajaan yang berdiri sendiri dan memerlukan kekhasan budaya sebagai penunjuk jati dirinya.
Busana pengantin Dodotan Basahan di Pura Mangkunegaran terdiri dari kain dodot sampai seluruh aksesori yang dipakai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Untuk pengantin laki-laki, busananya terdiri dari kuluk mathak, sumping, kalung ulur, keris, roncean melati, kolongan keris, gelang epek,timang, ukup, buntal, dodot alas-alasan, dan celana cinde.
Sementara, busana pernikahan dodotan basahan Solo untuk pengantin wanita terdiri dari cunduk mentul, cunduk jungkat, centhung, riasan wajah (paes, alis menjangan ranggah, laler mencok), tiba dada, bokor mengkurep, suweng, kalung, bros, gelang, dodot alas-alasan, kain cinde, slepe, buntal, dan udet. Riasan wajah Erina Gudono untuk acara tersebut merupakan hasil kreasi makeup artist Bennu Sorumba.
Advertisement